Shalawat/Wirid

Syarah ‘Shalawat Wasiat’ Mbah Kiai Umar Solo (3- habis)

Sel, 27 Oktober 2020 | 13:30 WIB

Syarah ‘Shalawat Wasiat’ Mbah Kiai Umar Solo (3- habis)

KH Ahmad Umar bin Abdul Mannan (kanan) bersalaman dengan KH Ali Maksum dari Krapyak, Yogyakarta. (Foto; Istimewa)

Syarah ‘Shalawat Wasiat’ kali ini merupakan bagian terakhir dari tulisan sebelumnya, yakni bagian pertama dan kedua. Bait-bait keenam dan ketujuh dari shalawat karya KH Ahmad Umar bin Abdul Mannan (1916-1980), pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Solo, Jawa Tengah, ini melanjutkan imbauan moral bait-bait sebelumnya yang menyeru tentang pentingnya ilmu, kerukunan, toleransi, dan akhlak.

 



Bait Keenam


Mula ayo bebarengan sekolaho 
Mesti pinter dadi bocah kang utama 
Budhi pekertine becik sarta tata
Woh-wohane bakal bekti marang wong tuwa


(Ayo belajar di sekolah semua
Agar pandai jadi anak yang berguna
Budi pekertinya luhur dan mulia
Serta berbakti kepada orang tua)


Untuk dapat melaksanakan apa yang menjadi wasiat Mbah Kiai Umar diatas diperlukan sebuah ikhtiar yang disebut belajar atau thalabul ilmi. Mbah Kiai Umar menekankan belajar itu melalui sekolah atau madrasah tanpa meninggalkan pembelajaran informal atau non formal. Mbah Kiai Umar memang tidak alergi terhadap pendidikan formal yang memberikan ijazah. Maka bisa dimengerti di Pondok Pesantren Al-Muayyad berdiri madrasah dan sekolah formal seperti Madrasah Aliyah (MA), Madrasah Diniyah Awaliyah/Wushto (MDA/W) yang dulu bernama Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang seluruhnya memiliki sistem manajemen dan kurikukulm yang jelas. 


Dengan belajar di sekolah atau madrasah diharapkan seseorang dapat menjadi anak yang tidak saja pandai secara kognitif (alim) tetapi juga memiliki ketrampilan (skill) sehingga menjadi anak yang utama. Disebut utama karena ia memiliki keunggulan-keunggulan tertentu seperti akhlak yang baik (shalih), tertib dan taat terhadap aturan-aturan yang berlaku dan memiliki ketrampilan yang dapat memberikan manfaat kepada diri sendiri maupun pihak-pihak di masyarakat yang membutuhkan.


Jika seorang anak memiliki semua hal tersebut di atas, sudah tentu ia akan menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua. Tidak ada prestasi melebihi berbakti kepada mereka. Sepandai apapun seorang anak, jika ia tidak berbakti kepada kedua orang tua, sia-sialah ilmu dan hidupnya. Mbah Kiai Umar sebagai guru menyadari betul perlunya berwasiat agar para santri berbakti kapada kedua orang tua karena hukumnya wajib berdasarkan wasiat Allah di dalam Al-Qur’an, Surat Al-‘Ankabut, Ayat 8 sebagai berikut:


وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا


Artinya: “Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya.”


Selain itu, terdapat perintah berbakti kepada kedua orang tua melalui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud sebagai berikut:


سألت النبي ﷺ أي العمل أحب إلى الله تعالى؟ قال: الصلاة على وقتها، وقال: قلت: ثم أي؟ قال: بر الوالدين، قلت: ثم أي؟ قال: الجهاد في سبيل. متفق عليه


Artinya: “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”, “Amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Rasul menjawab, “Shalat pada (awal) waktunya.” “Kemudian apa lagi?” Nabi Menjawab lagi, “Berbakti kepada kedua orang tua.”Aku bertanya kembali.” “Kemudian apa lagi?” “Kemudian jihad fi Sabilillah.” (Muttafaqun ‘Alaih)


Baik Al-Qur’an maupun hadits menyebut kedua orang tua dengan kata “walidain” yang maksudnya ibu dan bapak. Kata ini merupakan derivasi dari kata “walada” yang berarti “melahirkan”. Jadi memang kewajiban anak untuk berbakti kepada kedua orang tua terkait erat dengan kelahirannya ke dunia ini melalui mereka dengan segala kewajiban atau tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka baik secara syar’i maupun sosial. Kegagalan anak untuk berbakti kepada kedua orang tua menjadikannya anak durhaka dan berdosa besar. 


Dalam Shalawat Wasiat ini khususnya di bait keenam, keikhlasan Mbah Kiai Umar sebagai guru tampak sangat jelas karena beliau tidak menyebutkan secara eksplisit satu pun kata “guru”. Frase wong tuwa (orang tua) dalam bait ini mungkin dapat ditafsirkan termasuk para guru dan orang-orang senior lainnya. Namun tidak disebutkannya secara khusus kata “guru” dalam bubungannya dengan berbakti, menurut hemat penulis, menunjukkan sikap hati-hati beliau. Beliau tidak ingin terjebak dalam pamrih atau sikap yang berlebihan sebagai seorang guru. Sikap demikian tentu tidak terlepas dari kepribadian beliau yang tulus ikhlas, muru’ah dan tawadhu’.


Memang nasihat agar santri atau murid berbuat baik kepada guru lebih afdol disampaikan oleh para orang tua dan/atau oleh guru lainnya yang tidak memiliki kepentingan secara langsung sebagaimana nasihat yang tertuang dalam dialog antara anak dan orang tua dalam lirik lagu ciptaan Ibu Sud berjudul “Pergi Belajar” berikut ini:


Oh ibu dan ayah selamat pagi
Kupergi sekolah sampai kan nanti


Selamat belajar nak penuh semangat
Rajinlah selalu tentu kau dapat
Hormati gurumu sayangi teman
Itulah tandanya kau murid budiman


Pada baris kelima dalam lagu di atas diatas terdapat nasihat seorang murid hendaknya menghormati guru. Dalam hal ini kata yang digunakan adalah “hormat” yang dalam kitab Ta’limul Muta’allim digunakanlah kata “hurmat”, “ta’dzim” atau “tauqir”, dan bukan “birr” (berbakti). Kata “hormat” dan “berbakti” atau “taat” tentu memiliki makna yang berbeda. Dikatakan bahwa berlaku “hormat” itu lebih baik dari pada “menaati” sebagaimana disebutkan dalam Bab fi ta’dzimil ‘ilmi waahlihi dengan argumentasi sebagai berikut: 


الحرمة خير من الطاعة، ألا ترى أن الإنسان لا يكفر بالمعصية، وإنما يكفر باستخفافها، وبترك الحرمة.


Artinya: “Bersikap hormat itu lebih baik dari pada taat; tidaklah anda telah tahu, manusia tidak menjadi kafir karena maksiatnya, tapi ia menjadi kafir lantaran meremehkan dan tidak menghormati.” (lihat Burhanul Islam Az-Zarnuzi, Ta’lim al-Muta’allim Thariq at-Ta’allum [Khartoum: Ad-Dar as-Sudaniyah lil Kutub, 2004], cet. I, hal. 25). 
” 

Ketika guru berwasiat agar murid-muridnya berbakti kepada kedua orang tua dan sebaliknya mereka berwasiat agar anak-anaknya berlaku hormat kepada para guru tentu ini merupakan sinergi yang sangat baik dalam rangka membentuk seorang anak yang berbudi pekerti luhur. Sinergi seperti ini memang sangat diperlukan karena bagaimanapun para guru juga memiliki anak-anak sendiri yang harus berbakti kepada mereka. Sementara para orang tua juga memiliki anak-anak sendiri yang harus berlaku hormat kepada para guru.
 

Bait Ketujuh


Ing sahrene dawuh rukun iku cetha
Ayo enggal dha nglakoni aja gela
Ayo sekolah nyang madrasah Al-Qur’an
Padha ngaji Qur’an ana Mangkuyudan


(Hingga kini petuah rukun itu jelas
Maka mari kita jalankan segera
Ayo belajar di madrasah Al-Qur’an 
Yuk mengaji Al- Qur’an di Mangkuyudan)


Pada bait terakhir ini, Mbah Kiai Umar sekali lagi mengingatkan kewajiban kita untuk hidup secara rukun dengan semua pihak. Untuk itu Mbah Kiai Umar mendorong agar upaya-upaya rekonsiliasi setelah terjadi perselisihan segera dapat dilaksanakan agar tidak ada penyesalan yang sia-sia di kemudian hari. Selanjutnya Mbah Kiai Umar mengajak agar kita senantiasa belajar atau mengirim anak-anak untuk bersekolah di madrasah yang mengajarkan Al-Qur’an sebagaimana di Mangkuyudan. 


Dalam kalimat terakhir pada bait ketujuh ini secara eksplisit dan ekslusif Mbah Kiai Umar mengajak agar masyarakat belajar mengaji Al-Qur’an di Mangkuyudan tanpa menyebutkan nama Pondok Pesantren Al-Muayyad. Memang pada awalnya pondok ini lebih dikenal dengan nama Pondok Mangkuyudan karena pesantren ini dahulu beralamat di Jalan Mangkuyudan No. 58 yang sekarang diubah menjadi Jalan KH Samanhudi No. 64. Kampung Mangkuyudan sendiri terletak di sebelah timur pondok berbatasan dengan Jalan Sidoasih Timur. Lokasi Pondok Pesantren Al-Muayyad sendiri adalah di kampung Todipan RT 02 RW 06 Kelurahan Purwosari Kecamatan Laweyan Surakarta. 


Secara inklusif Pondok Mangkuyudan dapat dimaknai sebagai pesantren, madarsah, sekolah atau bahkan komunitas yang memiliki genealogi keilmuan dengan Pondok Pesantren Al-Muayyad di Mangkuyudan. Dengan kata lain komunitas atau lembaga-lembaga pendidikan yang berada di luar Mangkuyudan tetapi memiliki guru ngaji Al-Qur’an yang sanadnya sampai kepada Mbah Kiai Umar hingga Rasulullah SAW dapat disebut “Pondok Mangkuyudan”. Jika makna ini diterima maka sesunguhnya terdapat banyak “Pondok Mangkuyudan” yang telah tersebar di berbagai daerah yang didirikan oleh para alumni. 


Dengan demikian para alumni tetap bisa menyampaikan Shalawat Wasiat Mbah Kiai Umar ini kepada para santri dan komunitasnya tanpa harus membuang atau mengubah kata “Mangkuyudan” hanya untuk menyesuaikan dengan nama lembaga pendidikan atau daerahnya. Harus diakui keberadaan pesantren-pesantren alumni merupakan keberhasilan sekaligus amal jariyah Mbah Kiai Umar sebagai guru Al-Qur’an karena santri-santri beliau mampu berkembang dengan mengembangkan pendidikan Al-Qur’an di daerah masing-masing. Biasanya pesantren alumni memilki lagu murottal yang tetap dipertahankan sama dengan apa yang diajarkan Mbah Kiai Umar di Mangkuyudan. 


Sebagai penutup dapat dikemukakan disini bahwa Shalawat Wasiat Mbah Kiai Umar telah menjadi salah satu karya beliau yang terpenting. Shalawat yang berisi nasihat-nasihat bijak ini telah menginspirasi banyak orang. Shalawat ini tidak hanya dilantunkan di Mangkuyudan oleh para santri tetapi juga di “Mangkuyudan-mangkuyudan” yang lain. Di internet teks Shalawat Wasiat ini dapat diakses di beberapa website seperti NU Online. Dalam bentuk video dapat disaksikan lewat You Tube. Dalam bentuk hard copy juga dapat ditemukan berupa buku-buku kecil sebagaimana telah diterbitkan oleh Penerbit Mangkuyudan Pustaka Mediatama yang beralamat di Jakarta Pusat. Cetakan pertama diterbitkan pada tahun 2003. Hingga kini telah mencapai cetakan kedelapan. 


Dalam bentuk prasasti syi’iran ini juga dapat dijumpai di depan Masjid Al-Muayyad Mangkuyudan Solo yang dibuat pada tahun 2012 oleh para alumni MA Al-Muayyad Angkatan 1985. Grup Rebana Ayyada Solo sering melantunkan syi’ir-syi’ir karya Mbah Kiai Umar terutama Shalawat Wasiat. Semua upaya dalam rangka men-syiar-kan Shalawat Wasiat Mbah Kiai Umar ini tidak lepas dari peran penting Mbah Nyai Fathonah Rofi’i yang dengan hati-hati menjaganya agar tidak hilang atau rusak tak terbaca hingga akhirnya dapat sampai kepada kita semua. Tinggal masalahnya sekarang adalah bagaimana kita dapat mengamalkan wasiat Mbah Kiai Umar ini secara konsekuen dan konsisten (istiqamah) sebagaimana telah beliau contohkan dalam perilaku sehari-hari semasa hidupnya. (Habis...).


Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.