Shalawat/Wirid

Syarah ‘Shalawat Wasiat’ Mbah Kiai Umar Solo (2)

Sen, 26 Oktober 2020 | 13:15 WIB

Syarah ‘Shalawat Wasiat’ Mbah Kiai Umar Solo (2)

Kiai Umar mendorong masyarakat untuk menjalin kehidupan yang rukun dan harmonis. (Foto: istimewa)

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya yang sama-sama mengulas tentang “Shalawat Wasiat” karya KH Ahmad Umar bin Abdul Mannan (1916-1980) adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Solo, Jawa Tengah. Pada bagian pertama, dua dari tujuh bait telah diuraikan, yakni tentang pentingnya mencari ilmu secara sungguh-sungguh dan tanpa gengsi, serta mengamalkannya secara istiqamah (Red.).

 



Bait Ketiga 


Aja ngasi gegojegan dedolanan 
Rina wengi kabeh iku manut syetan 
Ora kena kanda kasep sebab tuwa
Selagine durung pecat sangka nyawa 


(Jangan sampai engkau perbanyak gurauan
Senda gurau itu tipu daya setan
Jangan beralasan terlambat karena sudah tua
Belajarlah sampai tak lagi bernyawa)


Pada bait ketiga ini, kita diingatkan bahwa senda gurau dengan diiringi tertawa terbahak-bahak tanpa mengenal waktu siang ataupun malam adalah perbuatan sia-sia dan hanya mengikuti bujuk rayu setan. Setan tentu senang dengan mereka yang suka menyia-nyiakan waktu tanpa melakukan perbuatan yang bermanfaat baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Wasiat Mbah Kiai Umar ini memiliki dasar kuat, yakni hadits Rasulullah shallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang berbunyi:


من حسن إسلام المرء: تركُه ما لا يعنيه


Artinya:“Salah satu tanda bahwa seseorang itu baik keislamannya adalah orang tersebut meninggalkan hal-hal yang tidak memberinya manfaat.” (HR at-Tirmidzi).


Selain itu, segi negatif lainnya dari gegojekan yang tak terkontrol adalah munculnya potensi konflik atau perkelahian antar santri yang berawal dari bercanda, misalnya dengan saling pukul atau ejek. Kemudian berkembang menjadi serius setelah salah satu pihak atau keduanya tersakiti secara fisik atau hatinya merasa tersinggung. Bagi Mbah Kiai Umar orang yang memulai perkelahian dan orang yang melayani perkelahian sama-sama bersalah karena keduanya menuruti bujuk rayu setan. Oleh karena itu sanksi bagi santri yang berkelahi bisa sama-sama dikeluarkan dari pondok. Hal ini pernah terjadi pada tahun 1970-an. 


Berkenaan dengan karakter di mana seseorang yang telah terlanjur tua merasa sulit untuk dapat mengubah sifat-sifatnya seperti suka bersenda gurau atau gegojekan dengan mengolok-olok atau mencemooh orang lain, bagi Mbah Kiai Umar selagine durung pecat sangka nyawa (selama hidup masih di kandung badan) tidak ada alasan untuk meninggalkan ikhtiar sebab dengan ikhtiar Allah dapat mengubah karakter seseorang dari yang buruk menjadi baik. Jadi dalam hal ini Mbah Kiai Umar mendorong kita untuk tidak menyerah dengan apa yang sudah terbiasa atau menjadi karakter buruk kita dengan cara mengubahnya secara sungguh-sungguh.


Bait Keempat


Ayo konco padha guyub lan rukunan
Aja ngasi pisah congkrah lan neng-nengan 
Guyub rukun iku marakake ruso
Pisah congkrah lan neng-nengan iku dosa


(Mari kawan hidup rukun dan toleran
Jangan sampai saling berdiam dan bermusuhan
Hidup rukun itu menguatkan kita
Saling berdiam dan bermusuhan itu dosa)


Hal yang terasa khusus pada bait keempat ini adalah Mbah Kiai Umar menggunakan kata konco (kawan) untuk mengawali wasiatnya. Artinya bait keempat ini utamanya ditujukan kepada orang-orang dewasa yang dalam realitas kehidupan sehari-hari kadang mengalami konflik karena berselisih dalam persoalan-persoalan duniawi seperti masalah warisan, rebutan pengaruh, kekuasaan dan rejeki, atau sekedar persoalan harga diri. Mbah Kiai Umar mengingatkan agar neng-nengan atau macetnya komunikasi dan silaturahim antar saudara atau teman dapat dihindari karena sebetulnya dengan tetap berkomunikasi dan bersilaturahim perselisihan dapat menemukan solusinya dengan baik, misalnya melalui dialog atau musyawarah. 


Bait keempat ini sangat relevan dengan perkembangan jaman sekarang di mana banyak orang terhinggapi hubbud dunya (cinta dunia). Penyakit batin ini kadang bisa menjadi penyebab rusaknya hubungan baik antar saudara maupun teman. Oleh karena itu upaya kita untuk tetap bersatu dan rukun demi kokohnya tali persaudaraan dan persahabatan menjadi salah satu poin penting yang ditekankan Mbah Kiai Umar pada bait keempat ini. Kegagalan atau keengganan kita dalam masalah ini menjadi catatan buruk bagi amal kita dengan dosa sebagai taruhannya. Setiap dosa pasti akan menjadi persoalan di depan Allah subhanahu wa ta’ala baik di dunia maupun di akhirat nanti.


Bait Kelima


Ing sahrene dawuh rukun iku nyata 
Ayo enggal dha nglakoni aja gela 
Aja rikuh aja isin aja wedi 
Kudu enggal dilakoni selak mati


(Hingga kini petuah rukun masih jelas
Maka mari kita amalkan segera
Jangan takut jangan malu jangan gengsi
Mumpung kita saat ini belum mati) 


Pada bait kelima ini, kita diingatkan bahwa perintah hidup rukun dan bersatu adalah benar dan nyata atau haq karena tertuang dalam Al-Qur’an, surah Ali Imran, ayat 103 yang berbunyi”


وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا


Artinya: “Berpegang teguhlah pada tali Allah dan jangan bercerai berai...” 


Berdasar pada ayat ini setiap perselisihan yang dapat membawa perpecahan hendaknya segera dapat diselesaikan dengan baik dan adil. Mbah Kiai Umar seperti menyindir orang yang lebih tua mungkin merasa rikuh atau malu untuk menjadi pihak yang memulai meminta maaf dan berdamai dengan yang lebih muda demi kerukunan. Bagi Mbah Kiai Umar sikap demikian adalah keliru karena kematian bisa datang kapan saja. Sangat disayangkan jika akhir hayat tidak diisi dengan sesuatu amal yang baik tetapi malahan dengan perselisihan atau permusuhan yang sudah pasti akan membawa penyesalan mendalam di alam sana. 


Demikian pula bagi yang muda mungkin mereka merasa takut untuk mengambil prakarsa damai demi mencapai kerukunan dengan orang yang lebih tua terutama kalau pihak yang lebih tua suka sewenang-wenang dan tak berbelas kasih kepada yang lebih muda. Bagi Mbah Kiai Umar perasaan takut seperti itu tidak perlu sebab, sekali lagi, kematian bisa datang kapan saja tanpa pandang bulu. Bisa saja kematian menghampiri terlebih dahulu kepada yang lebih muda dari pada kepada yang lebih tua. Jika ini terjadi pastilah akan menjadi penyesalan berlarut-larut di hari kemudian.


Pada kalimat terakhir dalam bait ini, yakni Kudu enggal dilakoni selak mati, Mbah Kiai Umar mengingatkan kita bahwa menyegerakan perbuatan baik seperti hidup rukun dengan semua pihak karena khawatir keburu mati merupakan hal positif. Inilah yang dalam Ilmu Tasawuf disebut dzikrul maut di mana seseorang akan cenderung tidak menunda-nunda perbuatan baik jika selalu ingat akan kematian yang datangnya bisa sewaktu-waktu. Memang kematian menjadi rahasia Allah SWT yang tak seorang pun tahu kapan saatnya tiba. (Bersambung...).


Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.