Sirah Nabawiyah

Benarkah Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari Mantan Ulama Mu’tazilah?

Jum, 12 Maret 2021 | 05:00 WIB

Benarkah Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari Mantan Ulama Mu’tazilah?

Menurut Dr Jamal Farouq ad-Daqqaq, secara akal ada tiga pertanyaan besar untuk melemahkan tuduhan bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari pernah menjadi pembesar ulama sekte Mu'tazilah

Selama ini terdapat sebuah pertanyaan besar di hati umat Islam khususnya penganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah, “Benarkah Imam Abu Hasan al-Asy’ari selaku pembesar mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah pernah menjadi bagian dari golongan ulama Mu’tazilah?”

 

Dalam hal ini, Dr Jamal Farouq ad-Daqqad selaku dekan fakultas dakwah Universitas al-Azhar yang juga salah satu ulama negara Mesir yang getol membela paham Aswaja menolak hal ini. Dalam salah satu kajian Aswaja yang digelar di kota Kairo, Jamal Farouq menyatakan keraguannya atas beberapa sumber sejarah yang menyatakan bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari pernah menjadi ulama sekte Mu'tazilah selama 40 tahun.

 

Dr. Jamal Farouq ad-Daqqaq menyebutkan secara logika akal ada tiga pertanyaan besar untuk melemahkan tuduhan bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari pernah menjadi pembesar ulama sekte Mu'tazilah, yaitu:

 

Pertama, seandainya kita membenarkan bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari pernah menjadi ulama yang mengajarkan paham Mu'tazilah selama 40 tahun di kota Bashrah bersama ayah tiri beliau yang bernama Syekh Ali al-Juba’i, maka di sini kita harus bertanya “Siapakah ulama Mu'tazilah yang pernah belajar ajaran Mu'tazilah di bawah asuhan Imam Abu Hasan al-Asy’ari?”

 

Sejarah menyebutkan bahwa kota Bashrah adalah salah satu pusat kajian keilmuan umat Islam di masa lalu. Sehingga, sangat aneh bila tidak ada satu pun ulama sekte Mu'tazilah di kota Bashrah yang menyebut Imam Abu Hasan al-Asy’ari sebagai guru mereka dalam memahami paham Mu'tazilah. Setidaknya, seandainya Imam Abu Hasan al-Asy’ari pernah menjadi guru besar sekte Mu'tazilah niscaya akan ada beberapa ulama Mu'tazilah yang mengakui Imam Abu Hasan al-Asy’ari sebagai guru sekte Mu'tazilah dalam karya tulis mereka. Bahkan, sangat mungkin para ulama Mu'tazilah memuji Imam Abu Hasan al-Asy’ari dalam karya-karya mereka sebagai guru besar sekte Mu'tazilah.

 

Pada kenyataannya, tidak ada satu pun ulama Mu'tazilah yang menyatakan pernah belajar ajaran Mu'tazilah kepada Imam Abu Hasan al-Asy’ari.

 

 

Kedua, seandainya kita membenarkan bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari pernah menjadi ulama yang membela paham Mu'tazilah, maka di sini kita harus bertanya, “Adakah buah pemikiran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dalam paham Mu'tazilah yang diabadikan dalam khazanah pemikiran sekte Mu'tazilah?”

 

Sejarah menyebutkan bahwa setiap pemikiran para ulama besar di masa lalu pasti terekam dalam karya tulis. Setidaknya setiap pemikiran seorang ulama besar akan dinukil oleh murid-muridnya ataupun sejawatnya dalam karya tulis mereka. Di sisi lain, sangat mungkin seorang ulama akan mengabadikan pemikirannya dalam wujud karya tulis dan hal ini tentu dapat dilacak oleh sejarah. Sebagaimana kita tahu Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i pernah menuliskan pendapat lama beliau (qaul qadim) dalam kitab ar-Risalah. Dan meskipun pendapat lama ini beliau tinggalkan tetap saja sejarah dapat melacak pendapat lama yang beliau tinggalkan karena ada sumber tulisan murid-murid imam Syafi’i yang merekam hal tersebut.

 

Pada kenyataannya, Imam Abu Hasan al-Asy’ari tidak memiliki satupun buah pemikiran dalam sekte Mu'tazilah yang terekam sejarah. Sehingga, sungguh aneh seandainya Imam Abu Hasan al-Asy’ari diyakini pernah menjadi pembesar ulama Mu'tazilah tanpa satu pun buah karya pemikiran ataupun pendapat yang dinukil oleh para ulama Mu'tazilah yang sezaman dengan beliau.

 

Ketiga, seandainya Imam Abu Hasan al-Asy’ari pernah menjadi pembesar ulama Mu'tazilah niscaya rekam jejak beliau akan tercatat dalam kitab kumpulan biografi ulama Mu'tazilah. Kita tahu bahwa dalam kitab kumpulan biografi seperti kitab Thabaqat al-Mu’tazilah karya Ahmad bin Yahya bin al-Murtadhq di sana banyak tercatat biografi para ulama Mu'tazilah di masa lalu.

 

Kita melihat tokoh yang sezaman dengan Imam Abu Hasan al-Asy’ari seperti Ibnu Rawandi (w. 936 M), mantan ulama Mu'tazilah yang beralih menjadi ateis sekalipun juga tercatat pemikiran dan rekam hidupnya dalam kitab-kitab ulama Mu'tazilah. Maka sungguh aneh bila Imam Abu Hasan al-Asy’ari, seorang tokoh Aswaja yang disebutkan pernah menjadi ulama besar sekte Mu'tazilah tidak pernah sekali pun terekam dalam kitab-kitab kumpulan biografi ulama Mu'tazilah.

 

Walhasil, Dr Jamal Farouq ad-Daqqad menegaskan bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari adalah salah satu ulama Aswaja yang murni dan tidak sedikit pun tercemari oleh pemikiran Mu'tazilah. Hal ini dibuktikan dengan masa kecil Imam Abu Hasan al-Asy’ari yang diasuh langsung oleh Syekh Zakaria as-Saji, seorang ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah.

 

Adanya Imam Abu Hasan al-Asy’ari bersinggungan dengan pemikiran sekte Mu'tazilah adalah karena Imam Abu Hasan al-Asy’ari tumbuh bersama Syekh Ali al-Juba’i, seorang ulama Mu'tazilah yang menikahi ibunya setelah wafat ayah beliau. Akan tetapi hal ini tidak sedikit pun mengubah kecondongan beliau terhadap paham Ahlussunnah wal Jama’ah.

 

Hal ini terbukti dengan beberapa kali Imam Abu Hasan al-Asy’ari mendebat pemikiran Syekh Ali al-Juba’i selaku ayah tiri beliau sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Ibnu Asakir dalam kitab Tabyiin Kadziib al-Muftari:

 

ولا شك أن دين أبي الحسن رحمه الله متين وتبرأه من مذهب المعتزلة ظاهر مبين ومناظرته لشيخه الجبائي مشهورة واستظهاراته عليه في الجدل مذكورة

 

“Dan tidak diragukan bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari memiliki agama yang kuat. Terlepasnya beliau dari paham Mu'tazilah sudah sangat jelas. Perdebatannya dengan gurunya yaitu Syekh Ali al-Juba’i sangat masyhur. Serta penolakannya terhadap pemikiran Syekh Ali al-Juba’i dalam banyak perdebatan disebut dalam sejarah” (Ibnu Asakir, Tabyiin Kadziib al-Muftari, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1999, h. 381)

 

Di sisi lain, Syekh Ibnu Asakir juga memberikan penegasan bahwa latar belakang kehidupan Imam Abu Hasan al-Asy’ari yang pernah hidup bersama Syekh Ali al-Juba’i justru menjadi bekal beliau dalam mematahkan seluruh argumentasi sekte Mu'tazilah di kemudian hari.

 

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo