Sirah Nabawiyah

Jawaban Muhammad Muda saat Diminta Bersumpah atas Nama Berhala

Sab, 9 November 2019 | 03:30 WIB

Jawaban Muhammad Muda saat Diminta Bersumpah atas Nama Berhala

Ilustrasi Nabi Muhammad. (NU Online)

Oleh kaum Quraisy pada zaman pra-Islam, Muhammad muda mendapat julukan Al-Amin, orang yang dapat dipercaya, artinya manusia yang sangat jujur hingga mendapat predikat terhormat di antara kaumnya. Muhammad memulainya dari sendiri dan berdampak pada kebaikan untuk orang lain dan orang-orang di sekitarnya.

Muhammad muda (12 tahun) kerap mengikuti pamannya Abdul Muthalib untuk berdagang. Bahkan kadang-kadang ia ikut berdagang hingga ke negeri jauh seperti Syam (Suriah). Diceritakan dalam Sirah Nabawiyah, tidak seperti pedagang pada umumnya, dalam berdagang Muhammad dikenal sangat jujur, tidak pernah menipu baik pembeli maupun majikannya.

Muhammad juga tidak pernah mengurangi timbangan atau pun takaran. Muhammad juga tidak pernah memberikan janji-janji yang berlebihan, apalagi bersumpah palsu. Semua transaksi dilakukan atas dasar sukarela, diiringi dengan ijab kabul. Muhammad pernah tidak  melakukan  sumpah untuk menyakinkan  apa yang dikatakannya, termasuk  menggunakan nama Tuhan.

KH Nasaruddin Umar dalam Khutbah-khutbah Imam Besar (2018) mengungkapkan, pernah suatu ketika Muhammad berselisih paham dengan salah seorang pembeli. Saat itu Muhammad menjual dagangan di Syam, ia bersitegang dengan salah satu pembelinya  terkait  kondisi  barang yang  dipilih oleh pembeli tersebut. Calon pembeli berkata kepada Muhammad, “Bersumpahlah demi Lata dan Uzza!” Muhammad menjawab, “Aku tidak pernah bersumpah atas nama Lata dan Uzza  sebelumnya.”

Kejujuran Muhammad kala itu cukup sebagai prinsip kuat yang dipegang secara mandiri tanpa melibatkan Tuhan sekali pun. Karena baginya, orang akan melihat dan merasakan sendiri terhadap kejujuran yang dipegangnya selama berdagang.

Prinsip Muhammad muda ini bertolak belakang dengan fenomena keagamaan simbolik di zaman sekarang. Agama hanya dijadikan simbol, bukan diwujudkan dalam akhlak mulia sehari-hari. Memahami agama secara hitam-putih dengan menawarkan murahnya surga. Bahkan, Allah SWT dibawa-bawa dalam aktivitas duniawi seperti politik praktis demi kepentingan kelompoknya.

Nabi Muhammad pernah menegaskan ‘ibda’ bi nafsik (mulailah dari diri sendiri). Dalam Al-Qur’an juga ada penegasan, kafa bi nafsik al-yauma hasiba (cukuplah dirimu sendiri sebagai penghisab, penentu terhadapmu).

Dari penegasan Nabi Muhammad dan wahyu Allah SWT tersebut menggambarkan bahwa pada akhirnya diri pribadi manusia yang lebih tahu, apakah sesungguhnya diri pribadi manusia menjadi faktor terjadinya sebuah konflik dikarenakan kebohongan yang kita sebarkan. Apalagi di era digital seperti sekarang di mana informasi mudah kita dapat, mudah kita buat, dan mudah kita sebarkan sendiri.

Sama halnya seperti ibadah yang berangkat dari individu, sikap jujur dan kejujuran harus berangkat dari individu. Jujur ini sudah tentu berdampak pada kehidupan secara luas, karena ke mana pun melangkah, apapun yang terucap, dan bagaimana pun berperilaku, penting bagi manusia menjunjung tinggi kejujuran.

Muhammad mempunyai latar belakang keluarga terhormat dan sosok yang sarat keistimewaaan. Hal ini bisa dibaca lewat karakter pribadi Muhammad dan makna yang terdapat pada beberapa anggota keluarganya. Muhammad Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an (2000) menjelaskan, ulama lain meyakini bahwa pemilihan hal-hal tertentu berkaitan dengan Muhammad bukanlah kebetulan. Misalnya bulan lahir, hijrah, dan wafatnya pada bulan Rabi'ul Awal (musim bunga).

Nama beliau Muhammad (yang terpuji), ayahnya Abdullah (hamba Allah), ibunya Aminah (yang memberi rasa aman), kakeknya yang bergelar Abdul Muththalib bernama Syaibah (orang tua yang bijaksana), sedangkan yang membantu ibunya melahirkan bernama Asy-Syifa' (yang sempurna  dan  sehat), serta yang menyusukannya adalah Halimah As-Sa'diyah (yang lapang dada dan mujur).

Muhammad juga memiliki kelebihan untuk meredam pertikaian antar-suku (kampung). Atas karakternya ini, beberapa kali Muhammad muda dipercayai memberikan keputusan-keputusan krusial menyangkut kepentingan bersama.

Salah satu contoh paling populer tentang keberhasilan Nabi Muhmammad SAW menyelesaikan sengketa di antara kaumnya sebelum Beliau dimusuhi karena menyebarkan ajaran Islam adalah ketika terjadi peristiwa renovasi Ka’bah.

Saat itu, masyarakat Makkah merenovasi Ka’bah setelah musibah banjir yang menenggelamkan kota, termasuk bangunan Ka’bah. Kondisi ini memanggil mengundang orang-orang Quraisy harus membangun Ka’bah kembali demi menjaga kehormatan dan kesucian situs peninggalan leluhur mereka, Ibrahim AS yang tetap dijaga kelestariannya.

Menurut riwayat yang paling shahih, ketika itu Nabi Muhammad berusia 35 tahun. Aktif terlibat dalam pembangunan dari awal hingga akhir. Pada awalnya, mereka bersatu-padu, saling bahu-membahu di antara mereka. Namun ketika pembangunan memasuki tahap akhir, yakni prosesi peletakan Hajar Aswad.

Mereka mulai berselisih pendapat, siapakah tokoh di antara mereka yang layak mendapatkan kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad sebagai tanda peresmian penyelesaian renovasi dan mulai dapat digunakan kembali.

Banyak pendapat bermunculan dan saling simpang siur. Masing-masing ingin mengedepankan pemimpin kelompoknya sendiri. Hingga akhirnya Muhammad, suami Khadijah ini mengajukan usul, ”Siapa pun yang besok pagi datang paling awal ke tempat pembangunan (renovasi), maka dialah yang berhak atas kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad.”

Masyarakat pun menyetujui usul Muhammad yang sudah dikenal amat jujur dan berakhlak mulia ini. Mereka yakin keputusan itu adalah jalan terbaik bagi sesama.

Keesokan harinya, ternyata yang datang paling pagi, paling awal adalah Muhammad sendiri, maka dialah yang berhak meletakkan hajar aswad sebagai tanda peresmian Ka’bah kembali. Namun rupanya Muhammad bukanlah seorang yang egois. Ia kemudian membentangkan sorbannya menaruh hajar aswad di atasnya dan mengajak beberapa tokoh lain untuk turut serta meletakkan hajar aswad bersama-sama.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon