Sirah Nabawiyah

Rasulullah Amat Menginginkan Keimanan dan Keselamatan Umatnya

Sen, 4 November 2019 | 04:00 WIB

Rasulullah Amat Menginginkan Keimanan dan Keselamatan Umatnya

Ilustrasi Nabi Muhammad SAW. (NU Online)

Allah SWT menegaskan kedudukan kekasihnya, Muhammad SAW dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 128. Telah datang Rasul, utusan yang berasal dari manusia, bukan dari makhluk lain. Utusan Allah dari golongan manusia menunjukkan bahwa Muhammad bukanlah manusia sembarangan. Beliau adalah manusia pilihan luar biasa yang tetap dekat umatnya. Saking dekatnya, sebelum menghembuskan nafas terkahir, yang diingat Nabi hanyalah umatnya.

Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan dalam buku Secercah Tinta (2012) menjelaskan penjabaran QS At-Taubah ayat 128 tersebut. Menurutnya, ayat tersebut menegaskan pula keberhasilan dakwah Nabi Muhammad yang terus menginginkan kebaikan terhadap umatnya:

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ 

Artinya: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS At-Taubah: 128)

Pertama, azizun ‘alaih ma’anittum (berat terasa olehnya penderitaanmu). Karena sepanjang hayatnya, terutama yang dipikirkan oleh Nabi Muhammad adalah umatnya. Ia sama sekali tidak menginginkan umatnya menderita di hari kemudian.

Bahkan, beberapa riwayat menyebutkan ketika Malaikat Izrail mendatangi Nabi Muhammad untuk mencabut nyawanya, tentu saja perintah Allah tersebut terasa berat bagi Izrail untuk mencabut manusia yang paling dicintai Allah SWT. Di dalam obrolan sebelum mencabut nyawa Sang Nabi, Izrail memberikan kabar gembira tentang kesempurnaan dan kenikmatan surga bagi Rasulullah SAW.

Bukan malah bergembira, Nabi Muhammad justru teramat sedih dan menderita sehingga membuat Izrail bertanya-tanya. Nabi Muhammad berkata, “Lalu, bagaimana dengan umatku?” Pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa Nabi tidak akan pernah membiarkan umatnya menderita meski merekalah yang membuat sengsara dirinya sendiri. Kondisi ini membuat berat terasa oleh Nabi Muhammad atas penderitaan umatnya.

Kedua, harishun ‘alaikum (sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu). Ini merupakan ungkapan cinta, kasih sayang sekaligus harapan Nabi Muhammad SAW kepada umatnya.

Ketiga, bil mu’minina raufur rahim (amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin). Beliau memiliki rasa kasih sayang teramat mendalam pada kaum beriman.

Akhlak mulia, cinta, dan kasih sayang yang mewujud dalam penjelasan ayat di atas merupakan pondasi dakwah Nabi dengan mengedepankan akhlakul karimah karena tersimpan harapan besar Nabi kepada umatnya.

Keberhasilan seorang dai dan daiyah atau mubaligh dan mubalighah bergantung pada seberapa besar rasa azizun ‘alaih ma’anittum dalam dirinya. Karena hal itulah dasar pertama untuk mengajak orang lain atau umat manusia ke jalan Allah SWT. Harapan para pendakwah juga ada dalam prinsip harishun ‘alaikum tanpa memaksakan kehendak sehingga sifat bil mu’minina raufur rahim harus terus dikedepankan.

Akhir Risalah

“Wahai manusia sekalian, perhatikanlah kata-kataku ini! Aku tidak tahu, kalau-kalau sesudah tahun ini, dalam keadaan seperti ini, aku tidak akan bertemu lagi dengan kamu sekalian.”

Kalimat itu disabdakan Nabi Muhammad saat berkhutbah dalam pelaksanaan haji wada' atau haji perpisahan pada tahun ke-10 Hijriah.

Setelah menyampaikan beberapa hal, di hadapan sekitar 144 ribu manusia—para penulis sejarah lain seperti dikutip Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (2006) menyebut 90 ribu sampai 114 ribu—beliau menegaskan, “Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan tidak ada umat setelah kalian.”

Tak lama sesudah itu, turunlah firman Allah yang berbunyi, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagimu.” (QS al-Maidah: 3).

Mendengar Nabi membacakan ayat tersebut, Abu Bakar menangis. Ia merasa bahwa risalah Nabi sudah selesai dan sudah dekat pula saatnya Nabi hendak menghadap Allah. Begitu pula dengan Umar bin Khattab, air matanya tak bisa dibendung. Saat seseorang bertanya kepada Umar kenapa ia menangis, Umar menjawab, “Sesungguhnya sesuatu yang telah sempurna, berikutnya akan berkurang.”

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon