Sirah Nabawiyah

Masyarakat dan Politisasi Agama pada Masa Bani Umayyah

Jum, 29 Mei 2020 | 13:00 WIB

Masyarakat dan Politisasi Agama pada Masa Bani Umayyah

(Ilustrasi: Stanford News)

Masyarakat datang dari rumah untuk menghadiri shalat Jumat dan shalat idul fitri di masjid atau di tanah terbuka. Mereka umumnya ingin beribadah shalat dua rakaat dan mendengarkan khutbah yang dapat membentuk ketakwaan. Ini berlaku sejak dahulu, 14 abad lalu.

Perjalanan umat Islam kadang tercederai oleh mereka yang menumpangkan kepentingan pribadi maupun kelompoknya melalui mimbar-mimbar keagamaan. Mereka melakukan politisasi agama melalui khutbah Jumat, khutbah idul fitri, dan forum keagamaan lainnya di mana masyarakat sedang berkumpul. Mereka melontarkan ujaran kebencian dan caci maki terhadap lawan politik mereka.

Hal ini tidak hanya terjadi sebagai gejala baru beberapa tahun belakangan ini di Indonesia, tetapi juga terjadi sejak masa-masa awal pemerintahan Bani Umayah. Tentu saja penyebutan kembali politisasi agama sebagai kekonyolan dan kebodohan di masa lalu bukan dimaksudkan untuk membenarkan politisasi agama belakangan ini, tetapi peringatan agar kita tidak mengulangi catatan hitam sejarah umat Islam.

Sebut saja Muawiyah bin Abu Sufyan, pendiri Dinasti Bani Umayyah. Ia wafat pada usia 78 tahun (602-680 M). Ia berkuasa pada 661-680 M. Ia meminta para khatib untuk menyelipkan caci maki dan ujaran kebencian terhadap lawan politiknya, pribadi Sayyidina Ali RA, di dalam khutbah mereka.

“Orang pertama yang membuat tradisi caci maki di mimbar adalah Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia membuat regulasi yang mengharuskan (imam dan khatib) untuk mencaci maki Imam Ali bin Abi Thalib di setiap kali shalat pada seluruh wilayah kekuasaannya. Kebijakan ini diikuti oleh penguasa Bani Umayyah selanjutnya,” (Lihat Abbud As-Syalji, Mausu‘atul Adzab, [Beirut, Ad-Darul Arabiyyah lil Mausu‘at: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 17).

Politisasi agama melalui caci maki dan ujaran kebencian pada mimbar agama juga masuk ke dalam shalat dan khutbah idul fitri. Khutbah idul fitri yang sebenarnya tidak wajib untuk didengarkan (meski sangat disunnahkan) juga dimanipulasi untuk kepentingan politik.

Khutbah idul fitri disampaikan setelah shalat dua rakaat di mana orang yang ingin mendengarkan dapat bertahan dan orang yang tidak ingin mendengarkan boleh meninggalkan tempat shalatnya. Tetapi untuk menahan masyarakat dan memaksa mereka mendengarkan caci maki dan ujaran kebencian terhadap lawan politik, Gubernur Madinah di Masa Muawiyah bin Abu Sufyan, Marwan bin Al-Hakam (623/626-685 M), membuat peraturan yang menempatkan khutbah shalat idul fitri sebelum shalat dua rakaat sebagaimana rangkaian pelaksanaan shalat Jumat.

“Orang yang pertama mendahulukan khutbah daripada shalat idul fitri adalah Marwan bin Al-Hakam, gubernur Madinah, dengan pertimbangan (illat) masyarakat segera pergi meninggalkan tempat shalat karena enggan mendengarkan khutbah yang berisi caci maki dan ujaran kebencian terhadap mereka yang tidak semestinya,” (Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], juz II, halaman 96).

Khutbah Jumat dan juga khutbah idul fitri yang berisi caci maki dan ujaran kebencian ini tetap berlangsung sepeninggal Muawiyah dan Marwan bin Al-Hakam. Putusan ini juga belum dicabut sampai Khalifah Umar bin Abdul Aziz (cucu Marwan bin Al-Hakam) berkuasa. Khalifah Umar bin Abdul-Aziz (682-720 M) yang terkenal zuhud dan bijaksana ini membuat regulasi baru. Ia memilih untuk mengakhiri khutbah yang berisi ujaran kedengkian terhadap klan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ia berkuasa pada 717 M hingga wafat pada 720 M. 

“Ketika Sayyidina Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah, ia mencabut regulasi tersebut. Khalifah Bani Umayyah yang saleh ini kemudian memerintahkan agar khatib mengisi sesi caci maki dengan bacaan Surat An-Nahl ayat 90,” (Lihat Abbud As-Syalji, Mausu‘atul Adzab: juz I/17).

Khalifah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan memutus tradisi caci maki dalam khutbah Jumat dan khutbah Idul Fitri yang berlangsung selama kurang lebih 50 tahun di masa Dinasti Bani Umayyah. Sejak Khalifah Umar bin Abdul Aziz mencabut putusan tersebut, para khatib Jumat dan khatib idul fitri hingga saat ini hampir selalu membaca Surat An-Nahl ayat 90.

Namun demikian, nafsu gila kekuasaan baik para politisi maupun masyarakat partisan pendukung menuntut para khatib untuk melakukan politisasi agama melalui khutbah Jumat dan khutbah idul fitri. Nafsu kekuasaan menuntun para khatib dan masyarakat untuk kembali melakukan kedunguan dan kebodohan yang telah lalu yang hanya membuat friksi yang sangat tidak perlu di tengah umat Islam. Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan)