Sirah Nabawiyah

Mengenal Ragam Fokus Kajian Sirah Nabawiyah (2-Habis)

Sel, 11 Januari 2022 | 19:45 WIB

Mengenal Ragam Fokus Kajian Sirah Nabawiyah (2-Habis)

Ilustrasi kitab-kitab. (Foto: Attahawi)

Secara lebih spesifik, kajian sirah nabawiyah dibagi menjadi empat, yaitu asy-syamail al-muhammadiyah, dala'il an-nubuwah, al-khashaish al-muhammadiyah, dan al-maghazi. Pada dua bagian pertama, sudah penulis jelaskan dalam pembahasan sebelumnya. Pada tulisan kali ini, penulis akan jelaskan dua bagian yang terakhir sebagaimana diuraikan Muhammad Anur Bakri dalam kitab Mashadir Talqi as-Sirah an-Nabawiyah.

 


Al-Khashaish al-Muhammadiyah

Kitab sirah nabawiyah dalam kategori al-khasahaish al-muhammadiyah menjelaskan tentang kekhususan-kekhususan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad saw, baik pada hal-hal yang tidak dimiliki oleh nabi-nabi yang lain atau umatnya Islam.


Ada banyak sekali hal-hal yang Nabi Muhammad miliki, sementara nabi-nabi yang lain tidak memilikinya, seperti statusnya sebagai nabi terakhir. Sehingga jika ada orang yang mengaku sebagai seorang nabi setelah Nabi Muhammad, maka jelas dia nabi palsu. Nabi Muhammad juga merupakan pemilik syafa’atul ‘udzma, yaitu syafaat yang bisa menyelamatkan umat-umatnya kelak di hari akhir. Syafaat ini hanya dimiliki olehnya.


Selain itu, Nabi Muhammad juga diutus untuk seluruh umat manusia, bahkan dari bangsa jin sekalipun. Lain halnya dengan nabi-nabi lain yang hanya diutus pada umatnya saja. Dalam Al-Qur’an sendiri sudah ditegaskan,


وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ  


Artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam,” (QS. Al-Ambiya [21]: 107)


Hal-hal yang dikhususkan untuk Nabi Muhammad dari umatnya juga ada banyak sekali. Sebenarnya, adanya kekhususan ini merupakan keistimewaan bagi umatnya. Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan,


خص الله تعالى رسوله من أحكام الشريعة بمعان لم يشاركه فيها أحد في باب الفرض والتحريم والتحليل، مزية على الأمة، وهبة له، ومرتبة خص بها؛ ففرضت عليه أشياء ما فرضت على غيره، وحرمت عليه أشياء لم تحرم عليهم، وحللت له أشياء لم تحلل لهم؛ منها متفق عليه، ومنها مختلف فيه


Artinya: “Allah swt memberikan beberapa kekhususan bagi rasul-Nya (yang tidak dimiliki oleh umatnya) dalam beberapa hukum syariat, baik  terkait kewjiban, hal-hal yang halal dan haram baginya. Demikian kerena sebagai keistimewaan bagi umatnya. Ada hal-hal yang diharamkan atau dihalalkan bagi Nabi, tapi di sisi lain tidak diberlakukan bagi umatnya. Baik yang sudah disepakati ulama, atau masih diperselisihkan.” (al-Qurtubi, Al-Jâmi’ li Aḫkâmil Qur’ân, juz XIV, h. 187)


Untuk menyebutkan beberapa contoh, shalat tahajud bagi umat Islam adalah sunah, tapi khusus bagi Nabi Muhammad hukumnya wajib. Umat Islam juga boleh menerima zakat, tapi bagi Nabi hukumnya haram. Umat Islam haram puasa wishal (menyambung puasa terus menerus dengan tanpa sahur dan berbuka), tapi Nabi boleh melakukannya. Umat Islam hanya dibatasi maksimal memiliki empat istri, tapi Nabi boleh lebih dari itu. 


Ulama yang pertama kali menulis kitab dengan fokus ini adalah Imam Syafi’i dengan pembahasan yang cukup ringkas dalam dua kitabnya yang berjudul Ahkam al-Qur’an dan Kitab an-Nikah. Setelah Syafi’i, berikutnya muncul banyak ulama yang menulis secara khusus pembahasan al-khashaish al-muhammadiyah. 


Al-Maghazi wa as-Siyar

Kajian sirah nabawiyah dengan fokus al-maghazi wa as-siyar membahas mengenai sejarah peperangan yang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. Perhatian terhadap kajian ini sudah ada sejak masa awal, yaitu ketika putra-putra para sahabat bertanya tentang andil orang tua mereka dalam jihad mengangkat senjata bersama Nabi. Tentu, anak-anak ini merasa bangga karena orang tuanya dulu pernah terlibat dalam misi agung ini.


Pada mulanya, riwayat yang berkaitan dengan peperangan ini muncul dalam majelis-majelis tertentu saja, yaitu ketika beberapa orang menanyakan kepada orang-orang yang kompeten dan sudah terkenal kuat hafalannya. Pertanyaan yang muncul seperti kronologi terjadinya perang, jumlah sahabat yang mati syahid berikut nama-namanya, dan lain sebagainya.


Para sahabat dinilai memiliki wawasan yang luas terkait riwayat-riwayat kajian ini, terlebih mereka juga termasuk pelaku sejarah yang mengalami sendiri bagaimana peperangan demi peperangan terjadi. Sahabat-sahabat yang menjadi pelopor dalam hal ini seperti Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Al-Barra bin ‘Azib, Sahl bin Abi Hatsmah, dan Sa’id bin Sa’d bin ‘Ubadah al-Khazraji.


Para sejarawan mencatat setidaknya 64 peperangan terjadi saat itu. Dari semua peperangan, 26 di antaranya Rasulullah terlibat langsung di medan perang, sementara 38 yang lain Rasulullah mengutus sahabat untuk menjadi panglima perang. Peperangan yang melibatkan Rasulullah langsung dinamakan ghazwah, sementara yang beliau tidak terlibat langsung dinamakan sariyyah.


Penting dicatat, meski secara penamaan kata al-maghazi berarti peperangan, tapi ulama-ulama yang menulis kitab dengan judul al-maghazi tidak hanya membahas peperangan, tetapi juga sejarah Nabi Muhammad secara umum. Seperti yang dilakukan Aban bin Utsman, ‘Urwah bin Zubair, Syurahbil bin Sa’ad, Wahab bin Munabih, Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri, Abdullah bin Abi Bakar bin Muhammad bin Umar bin Hazm al-Anshari, dan sebagainya.       


Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta