Abdullah dan Aminah: Tonggak Kelahiran Rahmat Semesta
NU Online · Sabtu, 7 Juni 2025 | 07:00 WIB
Muhaimin Yasin
Kolomnis
Abdullah bin Abdul Muthalib dan Aminah binti Wahb adalah dua jiwa mulia yang dipilih Allah SWT sebagai perantara kelahiran Rasulullah SAW, sang pembawa rahmat bagi semesta. Kisah cinta mereka bukanlah sekadar roman biasa, melainkan babak awal dari takdir ilahi yang mengubah sejarah umat manusia.
Abdullah, putra kesayangan Abdul Muthalib, pemimpin Quraisy yang disegani, tumbuh di tengah klan Bani Hasyim, sebuah keluarga terhormat di Makkah. Ia dikenal sebagai pemuda yang menjunjung nilai-nilai kebajikan, berparas menawan, dan berakhlak luhur, mencerminkan kemuliaan leluhurnya.
Sementara itu, Aminah, putri dari klan Bani Zuhrah yang juga terpandang, dibesarkan dalam lingkungan yang kaya akan nilai moral dan spiritual. Kelembutan hati dan kebijaksanaannya menjadikannya sosok wanita yang penuh keberkahan.
Pertemuan antara Abdullah dan Aminah bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari rencana Allah yang Maha Sempurna. Dari ikatan suci mereka, Allah menitipkan amanah teragung: Muhammad SAW, Nabi terakhir yang akan membawa cahaya petunjuk bagi seluruh alam. Kisah perjalanan cinta mereka, yang termaktub dalam at-Thabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’d, menggambarkan bagaimana dua insan mulia ini dipertemukan dan menjalin ikatan pernikahan yang menjadi tonggak sejarah umat manusia (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1990, jilid I, hlm. 76-77).
Takdir Cahaya Kenabian: Pernikahan Abdullah dan Aminah
Kisah ini bermula ketika Abdul Muthalib, pemimpin Quraisy yang disegani, mengunjungi kediaman Wuhaib bin Abd Manaf dari klan Bani Zuhrah, ditemani putranya, Abdullah bin Abdul Muthalib. Di sana, Aminah binti Wahb, putri Wuhaib yang dikenal akan kelembutan dan kemuliaan akhlaknya.
Tanpa berlama-lama, Abdul Muthalib meminang Aminah untuk Abdullah, dan di hari yang sama, pernikahan suci mereka pun terlaksana. Pada momen yang serentak, Abdul Muthalib juga meminang Halah binti Wuhaib untuk dirinya sendiri. Dari pernikahan Abdul Muthalib dan Halah, lahirlah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman sekaligus saudara sepersusuan Nabi Muhammad SAW.
Sesuai tradisi Makkah saat itu, Abdullah menetap selama tiga hari di kediaman keluarga Aminah setelah pernikahan, sebagai wujud penghormatan kepada pihak mempelai wanita. Dalam masa ini, benih takdir ilahi mulai terbentuk. Dari pernikahan Abdullah dan Aminah, Allah SWT menitipkan cahaya kenabian yang kelak menjadi Rasulullah SAW, pembawa rahmat bagi seluruh alam.
Namun, ketampanan dan pesona Abdullah, yang bersumber dari cahaya kenabian yang ada padanya, menarik perhatian dua wanita lain: Qutailah binti Naufal dan Fatimah binti Murr dari klan Khats’am. Dalam sebuah riwayat, ketika Abdullah berpapasan dengan Qutailah, wanita itu terpikat oleh pesonanya dan berusaha merayunya, bahkan memegang pakaiannya dengan erat. Dengan tegas, Abdullah menolak dan segera kembali ke pelukan Aminah, istrinya. Pada malam itu, dari kebersamaan mereka, Aminah mengandung janin Rasulullah SAW.
Dalam riwayat lain, Fatimah binti Murr, wanita terhormat yang masyhur akan kecantikannya, juga terpukau oleh cahaya yang memancar dari wajah Abdullah. Ia menawarkan dirinya dengan imbalan seratus unta, namun Abdullah dengan penuh integritas menolak, seraya berkata, “Yang haram lebih baik kutinggalkan meski itu berarti kematian, dan yang halal harus jelas. Apa maksudmu dengan ucapan itu?” Ia lalu kembali kepada Aminah, memegang teguh kesucian pernikahannya.
Keelokan wajah Abdullah yang memikat Qutailah dan Fatimah bukanlah semata ketampanan fisik, melainkan pancaran cahaya kenabian yang Allah titipkan dalam dirinya. Dalam lanjutan kisah, setelah bersatu dengan Aminah dan cahaya kenabian berpindah kepada janin Rasulullah SAW, Abdullah kembali bertemu Qutailah. Ia bertanya, “Apakah kau masih merasakan ketertarikan seperti sebelumnya?” Qutailah menjawab, “Tidak, karena cahaya yang dulu bersinar di wajahmu kini telah hilang.”
Hal serupa terjadi dengan Fatimah binti Murr. Ketika bertemu kembali, ia tidak lagi merasakan pesona yang sama. Saat Abdullah menceritakan pertemuan itu kepada Aminah, Fatimah menjelaskan, “Demi Allah, aku bukan wanita murahan. Aku hanya melihat cahaya kenabian di wajahmu dan berharap itu berpindah kepadaku.” Namun, cahaya itu telah Allah tetapkan untuk Rasulullah SAW melalui rahim Aminah.
Kisah ini, sebagaimana termaktub dalam at-Thabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’d jilid 1, hlm. 76-77, menunjukkan perbedaan pendapat ulama mengenai identitas wanita yang terpikat oleh Abdullah. Sebagian menyebut Qutailah binti Naufal, sementara lainnya menyebut Fatimah binti Murr. Namun, inti kisah ini tetap satu: keagungan takdir ilahi yang menjaga kesucian pernikahan Abdullah dan Aminah, sebagai wadah lahirnya Nabi Muhammad SAW, rahmat bagi seluruh alam.
Kisah cinta Abdullah dan Aminah adalah lukisan takdir ilahi yang mempertemukan dua jiwa mulia dari keluarga terhormat, dipilih Allah SWT untuk menjadi perantara kelahiran Rasulullah SAW. Pernikahan mereka, yang dirajut melalui inisiatif Abdul Muthalib, bukan kebetulan, melainkan bagian dari rencana sempurna Sang Maha Pencipta.
Dari mereka, kita belajar bahwa Allah mempersiapkan tugas agung melalui sosok-sosok yang menjunjung moral dan kesucian. Keteguhan Abdullah menolak godaan dan keterbukaannya kepada Aminah mencerminkan teladan rumah tangga yang penuh kesetiaan, keadilan, dan cinta. Wallahu a’lam bisshawab.
Ustadz Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Pegiat Kajian Keislaman.
Terpopuler
1
Panduan Shalat Idul Adha: dari Niat, Bacaan di Antara Takbir, hingga Salam
2
Takbiran Idul Adha 1446 H Disunnahkan pada 5-9 Juni 2025, Berikut Lafal Lengkapnya
3
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
4
Khutbah Idul Adha: Mencari Keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Diri Manusia
5
Terkait Polemik Nasab, PBNU Minta Nahdliyin Bersikap Bijak dan Kedepankan Adab
6
Khutbah Jumat: Meraih Hikmah Kurban di Hari Raya Idul Adha
Terkini
Lihat Semua