Sirah Nabawiyah

Penjualan Alkohol di Arab Saudi dan Larangan Minuman Beralhokol pada Masa Nabi

NU Online  ·  Rabu, 28 Mei 2025 | 10:00 WIB

Penjualan Alkohol di Arab Saudi dan Larangan Minuman Beralhokol pada Masa Nabi

ilustrasi larangan minuman beralkohol. (Foto: NU Online/Canva)

Pada tahun 2026, Arab Saudi berencana melakukan langkah yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah modernnya: menjual alkohol di 600 lokasi di seluruh kerajaan. Keputusan ini, sebagaimana dilaporkan oleh Tempo, merupakan bagian dari strategi ambisius Vision 2030 yang dipimpin oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman.

 

Vision 2030 bertujuan untuk mendiversifikasi ekonomi, meningkatkan pariwisata, dan mengurangi ketergantungan pada minyak bumi. Namun, rencana ini juga memicu perdebatan sengit karena bertentangan dengan larangan alkohol yang telah lama menjadi pilar identitas Arab Saudi sebagai tempat kelahiran Islam dan penjaga dua masjid suci, Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah.

 

Banyak komentar dari warganet yang khawatir soal ini. Mungkin anggapan bahwa Islam itu Arab, memang sangat melekat di masyarakat karena adanya dua kota suci, Makkah dan Madinah. Pada artikel ini, penulis ingin menarik kembali pembaca kepada masa Nabi, di mana beliau semasa menjalankan risalah kenabian sangat bersikeras menjauhkan masyarakat dari minuman-minuman yang memabukkan.

 

Salah satu hadits yang menunjukkan sikap tegas Nabi terhadap alkohol berasal dari Abu Hurairah. Ia menceritakan bahwa ia pernah menyiapkan nabidz, minuman yang difermentasi dari kurma atau anggur, dalam sebuah wadah dari labu (dubba) untuk Nabi saat beliau sedang berpuasa. Ketika Nabi melihat nabidz itu mulai berfermentasi dan mengandung zat yang memabukkan, Nabi memerintahkannya untuk membuangnya dengan bersabda:

 

خُذْهُ فَاضْرِبْ بِهِ الْحَائِطَ؛ فَإِنَّ هَذَا شَرَابُ مَنْ لَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ

 

Artinya, "Ambillah, lalu lemparkan ke dinding! Karena ini adalah minuman orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (beriman pula) kepada Hari Akhir." (Abu Bakr Al-Bayhaqi, Al-Khilafiyyat baynal Imamayn Asy-Syafi’i wa Abi Hanifah wa Ashabih, [Kairo, Ar-Rawdah Publishing, 2015], Jilid VII, halaman 168).

 

Kisah lain yang memperkaya pemahaman kita tentang larangan ini melibatkan delegasi dari suku Abd Al-Qais. Mereka datang kepada Nabi untuk bertanya tentang wadah yang boleh digunakan untuk membuat minuman. Nabi melarang mereka menggunakan empat jenis wadah: dubba (labu), hantam (guci hijau), muzaffat (wadah yang dilapisi tar), dan naqir (batang pohon yang dilubangi). Nabi bersabda:

 

لَا تَشْرَبُوا فِي الدُّبَّاءِ، وَلَا فِي الْمُزَفَّتِ، وَلَا فِي النَّقِيرِ، وَانْتَبِذُوا فِي الْأَسْقِيَةِ

 

Artinya, "Janganlah kalian minum dari (wadah) dubba’, tidak pula dari (wadah) yang dilapisi tar, tidak pula dari naqir, tetapi rendamlah (minuman) kalian dalam kantong-kantong (kulit)."

 

Ketika delegasi itu meminta alternatif, Nabi menyarankan penggunaan kulit hewan (asqiyah) dan menyarankan untuk mencampur minuman dengan air jika mulai berfermentasi. Jika tetap menjadi memabukkan, Nabi memerintahkan untuk membuangnya, seraya bersabda: “Setiap yang memabukkan adalah haram.” (Al-Khilafiyyat baynal Imamayn Asy-Syafi’i wa Abi Hanifah wa Ashabih, Jilid VII, halaman 184).

 

Dari keterangan riwayat Al-Baihaqi di atas, terdapat larangan penggunaan beberapa jenis wadah air pada masa Nabi Muhammad SAW. Menariknya, wadah-wadah di atas terbuat dari bahan alami yang dapat mempercepat proses fermentasi, sehingga mengubah minuman dari perasan buah atau kurma menjadi mengandung alkohol dan bersifat memabukkan. Jadi, pada masa Nabi, wadah-wadah tersebut telah umum digunakan oleh masyarakat sebagai alat tradisional untuk mengubah kandungan minuman.

 

Imam An-Nawawi sendiri menjelaskan, larangan Nabi Muhammad SAW terhadap penggunaan empat wadah di atas, didasarkan pada risiko wadah-wadah ini mempercepat fermentasi, sehingga minuman menjadi memabukkan, haram, dan merusak kadar zat asli yang terkandung di dalamnya. Larangan ini bertujuan mencegah kerugian dan konsumsi minuman keras secara tidak sengaja oleh orang yang tidak tahu.

 

Hanya saja, menurut Imam An-Nawawi, Nabi mengizinkan penggunaan asqiyah, sebuah wadah air yang terbuat dari kantong kulit, karena sifatnya yang tipis, memudahkan deteksi fermentasi, bahkan seringkali pecah jika minuman menjadi memabukkan. Menurutnya juga, larangan ini bersifat sementara di masa-masa awal Islam dan kemudian dicabut (nasakh), sebagaimana hadits Buraidah yang menyatakan, “Dahulu aku melarang kalian membuat nabidz kecuali dalam asqiyah, tetapi sekarang kalian boleh membuatnya di segala wadah, asalkan tidak meminum yang memabukkan.

 

Pandangan terkait penghapusan larangan menggunakan empat wadah tersebut didukung mayoritas ulama dan dianggap paling sahih pendapatnya oleh Al-Khattabi. Pandangan ini juga menegaskan bahwa fokus larangan dalam hadits adalah pada sifat memabukkan, bukan wadahnya. Namun, beberapa ulama seperti Malik, Ahmad, dan Ishaq, serta riwayat dari Ibn Umar dan Ibn Abbas, tetap mempertahankan keengganan terhadap wadah-wadah tersebut demi kehati-hatian. (Imam Nawawi, Al-Minhaj Sharh Sahih Muslim, [Beirut, Dar Ihya’ Al-Turath Al-Arabi, 1972], Jilid I, halaman 186).

 

Sebagian pihak beranggapan bahwa larangan Nabi Muhammad SAW terhadap minuman memabukkan,yang jelas bukan sekadar air perasan buah, hanya merupakan fatwa pribadi yang ditujukan kepada individu tertentu, bukan ketentuan umum yang mengikat seluruh masyarakat. Anggapan ini didasarkan pada pandangan bahwa pada masa itu pemerintahan tidak secara tegas melarang produksi atau penjualan khamr, melainkan hanya konsumsinya. Namun, apakah anggapan tersebut benar?

 

Pertama, kita bisa melihatnya pada hadits terkait pelarangan meminum miras dan mengedarkannya yang diriwayatkan oleh Anas:

 

أن رسول الله لعن في الخمر عشرة عاصرها ومعتصرها وبائعها ومبتاعها وحاملها والمحموله إليه وشاربها وساقيها وآكل ثمنها

 

Artinya, "Bahwa Rasulullah melaknat sepuluh orang yang terlibat dalam urusan khamr: yaitu orang yang memerasnya, yang menyuruh orang lain untuk memerasnya, yang menjualnya, yang membelinya, yang membawanya, yang dibawakan kepadanya, yang meminumnya, yang menuangkannya, serta yang memakan hasil dari penjualannya dan yang membayarnya." (HR Ath-Thabrani dalam al-Mu'jamul Awsath)

 

Kedua, ‘Utsman bin Abil ‘Ash juga pernah menceritakan riwayat serupa, sebagaimana yang disampaikan oleh Hasan, bahwa seorang budak milik ‘Utsman bin Abil ‘Ash meminta kepadanya agar diberi modal untuk berdagang, dan keuntungannya akan dibagi berdua. Kemudian, ‘Utsman memberinya dua puluh ribu dirham. Lalu budak itu membeli khamr dengan uang tersebut dan membawanya ke Kota al-Abullah dengan maksud untuk dijual kembali.

 

Ketika mengetahuinya, ‘Utsman pun mendatangi budaknya, ia tidak membiarkan satu gentong pun maupun wadah lainnya dari khamr itu kecuali ia menghancurkannya. Lalu ‘Utsman berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melaknat khamr, peminumnya, yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, pembuatnya, dan yang membawanya.” (al-Mu'jamul Kabir karya Ath-Thabrani, [Mosul, Maktabatul 'Ulum wal Hikam, 1983], jilid IX, hlm. 58).

 

Keterangan dari dua riwayat di atas menunjukkan bahwa larangan Nabi SAW terhadap khamr di masa beliau tidak hanya terbatas pada meminumnya, tetapi juga mencakup peredarannya. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Rasulullah SAW, selain sebagai pembawa risalah Islam, juga berperan sebagai imam, yakni pemimpin tertinggi dalam struktur pemerintahan saat itu, meskipun tentu bukan dalam bentuk negara-bangsa sebagaimana kita kenal sekarang.

 

Larangan beliau terhadap khamr tidak ditujukan kepada individu tertentu saja, tidak pula bersifat sementara (mu’aqqat), melainkan merupakan ketetapan universal yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.

 

Kemudian terakhir, jika kita melihat di Indonesia, minuman beralkohol sendiri dibatasi oleh Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol. RUU tersebut mengatur larangan konsumsi minuman beralkohol golongan A (etanol 1%-5%), B (5%-20%), C (20%-55%), serta minuman beralkohol tradisional dan campuran. Pelaku konsumsi dapat dipidana penjara paling sedikit 3 bulan hingga 2 tahun atau denda Rp 10 juta hingga Rp 50 juta, sementara distributor dan produsen dapat dipenjara hingga 10 tahun.

 

Larangan ini tidak berlaku untuk kepentingan terbatas seperti adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat yang diizinkan peraturan perundang-undangan, dengan ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah. Konsumsi alkohol di Indonesia harus mematuhi syarat seperti usia cukup, tidak di Aceh, tidak di tempat umum, sekolah, tempat ibadah, saat bekerja atau mengemudi, serta tidak ditawarkan kepada anak di bawah umur atau dicampur dengan minuman lain.

 

Dari uraian di atas, kita melihat bahwa larangan terhadap minuman memabukkan bukanlah semata-mata persoalan individu atau sekadar fatwa moral yang bersifat opsional. Legalisasi alkohol di negeri yang selama ini dikenal sebagai pusat dunia Islam, memunculkan pertanyaan bukan hanya soal strategi ekonomi atau reformasi sosial, tetapi juga menyangkut akar identitas keagamaan dan komitmen terhadap ajaran yang diwariskan Rasulullah. Wallahu a'lam.

 

Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta