Mengenal Sayyid Idris II: Penggagas Kebangkitan Dinasti Idrisiyah di Maroko
Ahad, 3 November 2024 | 23:30 WIB
Sunnatullah
Kontributor
Di antara kisah para pemimpin-pemimpin Islam yang membawa perubahan besar, terdapat di antara mereka yang tidak hanya mewarisi takhta, tetapi juga mewarisi visi besar bagi bangsanya.
Salah satu tokoh itu adalah Sayyid Idris II, penerus Dinasti Idrisiyah di kawasan Maghribi atau yang kini kita kenal sebagai Maroko. Meski tak setenar beberapa pemimpin Muslim lainnya, Idris II memiliki peran vital dalam mengukuhkan fondasi Islam di Afrika Utara. Kisahnya tidak hanya sekadar tentang seorang pewaris takhta, tetapi juga tentang pengabdian dan upaya membangun peradaban Islam di bumi Maghribi.
Idris II terlahir di tengah situasi penuh tantangan. Ayahnya, Idris I, adalah pendiri Dinasti Idrisiyah yang memulai penyebaran Islam di Maghribi. Namun, perjuangan Idris I tidaklah mulus.
Pada tahun 177 H, ia wafat secara tragis setelah diracun oleh utusan Khalifah Abbasiyah yang merasa terancam oleh pengaruh yang mulai meluas di Afrika Utara. Saat Idris I wafat, Idris II masih dalam kandungan.
Kehilangan ayah saat masih di dalam kandungan menjadikan Idris II sebagai simbol harapan baru bagi para pengikut ayahnya, yang setia berjuang demi menegakkan Islam di Maghribi.
Penjelasan di atas sebagaimana dikemukakan oleh sejarawan terkemuka abad ketujuh Hijriah, Syekh Syihabuddin Ahmad bin Yahya al-Ummari (wafat 749 H), dalam kitabnya, Masalikul Abshar fi Mamalikil Amshar Jilid I (Beirut, Darul Kutub Ilmiah, t.t.: 203), ia mengatakan:
إِدْرِيْسُ الثَّانِي، أَي ثَانِي مُلُوْكِ الْادَارِسَةِ، مَاتَ أَبُوْهُ وَهُوَ جَنِيْنٌ
Artinya, “Idris II, yaitu raja kedua Dinasti al-Idrisiyah, ayahnya wafat ketika ia sedang dalam kandungan.”
Ibunya, Kanzah bintu Manzhur, adalah seorang wanita tegar dan berani. Ia berasal dari suku Berber, yang memiliki pengaruh besar di wilayah tersebut. Meski ditinggalkan oleh suaminya, ia tetap berjuang membesarkan putranya dengan penuh kasih sayang dan pendidikan Islam yang kuat.
Ia menjadi pilar penting dalam kehidupan putranya yang kelak akan menjadi penggagas kebangkitan dinasti Islam di Maroko itu, ia tidak hanya sebagai ibu, tetapi juga sebagai sosok yang menginspirasi dalam keberanian dan keimanan putranya. Keterangan ini sebagaimana disebutkan oleh Abul Abbas an-Nashiri dalam al-Istiqsha li Akhbari Duwalil Maghribil Aqsha Jilid I (Maroko, Darul Kitab, t.t.: 216).
Pada tahun 186 H, Idris II dinobatkan sebagai pemimpin Dinasti Idrisiah di usia yang sangat muda, yaitu 9 tahun. Saat itu, ia belum sepenuhnya memahami tanggung jawab besar yang harus dijalankannya.
Namun, para penasihat dan keluarga dari suku Berber di sekitarnya berperan sebagai penuntun, menjaga, dan melindunginya hingga dewasa. Di usia yang begitu muda, ia telah dihadapkan pada realitas politik yang keras. Ia menyaksikan berbagai pergulatan antara suku-suku dan pihak-pihak yang berusaha menguasai wilayah Maghribi.
Namun, Idris II adalah sosok yang cepat belajar. Dalam usia yang begitu muda, ia berhasil menguasai ilmu agama dan keterampilan kepemimpinan yang luar biasa. Bimbingan para ulama dan dukungan dari suku Berber menjadi fondasi penting dalam membentuk kepribadian dan kepemimpinannya.
Pada tahun 192 H, saat berusia 15 tahun, ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya sebagai pemimpin yang tegas dan bijaksana. Dengan kecerdasan dan keberaniannya, ia berhasil merangkul berbagai suku Berber untuk bersatu di bawah Dinasti Idrisiyah.
Setelah semua itu berhasil ia kuasai dengan sempurna, Idris II memiliki target lain yang tidak hanya tentang kekuasaan politik, namun tentang membangun membangun pusat peradaban Islam yang kuat di Maghribi. Pada tahun 192 H, ia memutuskan untuk mendirikan kota Fez yang berada di tepi sungai. Kota ini yang kelak akan menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan di Maroko.
Ia menyadari pentingnya pendidikan dan keilmuan dalam membangun masyarakat Islam yang kukuh. Maka, ia mengundang para ulama dan cendekiawan dari berbagai penjuru untuk datang ke Fez dan menjadikan kota tersebut sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Penjelasan di atas sebagaimana dicatat oleh Khairuddin az-Zirikli dalam al-A’lam Jilid I (Darul Basyair al-Islamiah, t.t.: 278), seorang sejarawan terkemuka kontemporer berkebangsaan Lebanon. Dalam kitabnya ia mengatakan:
إِدْرِيْسُ بْنُ إِدْرِيْس: ثَانِي مُلُوْكِ الْادَارِسَةِ فِي الْمَغْرِب، وَبَاني مَدِيْنَةَ فَاس
Artinya, “Idris bin Idris, penguasa kedua Dinasti al-Idrisiyah di Maroko, dan pendiri kota Fes.”
Dalam beberapa tahun saja, Fez tumbuh menjadi kota yang ramai dan banyak dikunjungi. Idris II kemudian membangun masjid-masjid, madrasah, dan berbagai fasilitas publik yang menunjang kehidupan masyarakat.
Ia juga mendirikan pasar-pasar yang menarik pedagang dari berbagai wilayah. Fez menjadi kota yang tidak hanya dikenal di Afrika Utara, tetapi juga di seluruh dunia Islam sebagai pusat ilmu pengetahuan dan perdagangan yang makmur.
Seiring berjalannya waktu, Fez menjadi titik temu para ilmuan, ulama, pedagang dan pengrajin dari berbagai penjuru dunia, hingga pada akhirnya, Fez tidak hanya sekadar sebuah kota, namun ia menjelma menjadi pusat peradaban Islam yang menarik minat para cendekiawan dan pedagang dari jauh dan dekat. Di sinilah mereka bisa belajar, berbicara, menulis, dan mengembangkan ide-ide tanpa takut diskriminasi, serta mencari nafkah dengan mudah.
Selain itu, Idris II memiliki visi besar untuk menyebarkan Islam ke seluruh wilayah Afrika Utara. Ia menyadari bahwa banyak suku di Maghribi yang belum menerima Islam, dan ia bertekad untuk mengenalkan agama ini dengan pendekatan yang damai dan penuh hikmah. Ia menghormati tradisi dan budaya lokal dari suku-suku Berber, dan ia menggunakan pendekatan yang bijaksana dalam menyebarkan ajaran Islam.
Ia mengirimkan para dai dan ulama ke berbagai wilayah untuk mengajarkan Islam dengan cara yang baik dan santun. Ia tidak pernah memaksakan agama, tetapi lebih mengedepankan dialog dan persahabatan.
Pendekatan ini berhasil mendapatkan hati masyarakat Berber yang perlahan-lahan menerima Islam sebagai bagian dari identitas mereka. Ia membuktikan bahwa Islam bisa menyatu dengan kebudayaan lokal, dan ia berhasil menciptakan masyarakat yang harmonis di bawah naungan Islam.
Dakwah Islam yang dilakukan olehnya, sebagaimana tercermin dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Artinya, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka menggunakan cara yang baik.” (QS An-Nahl, [16]: 125).
Di bawah kepemimpinan Idris II, Dinasti Idrisiah tumbuh semakin kuat. Ia tidak hanya memperluas wilayah kekuasaannya, tetapi juga membangun fondasi yang kukuh bagi generasi-generasi berikutnya.
Kota Fez yang ia dirikan menjadi simbol dari kebangkitan Islam di Maghribi, tempat di mana ilmu pengetahuan, agama, dan kebudayaan berkembang pesat. Di sini pula, ilmu dan iman bersatu dalam mencari kebenaran dan keadilan, tempat mewariskan sebuah turats yang masih relevan hingga saat ini.
Fez, kota yang ia dirikan dengan penuh visi, terus tumbuh menjadi mercusuar peradaban Islam di barat. Bukan hanya sebagai pusat perdagangan yang menghubungkan para saudagar dari seluruh penjuru dunia, tetapi juga sebagai poros ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang menjadi kiblat para penuntut ilmu. Seiring berjalannya waktu, Fez tidak hanya menjadi tempat tinggal, namun juga tempat tumbuhnya cita-cita dan harapan umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Kehidupan di Fez berdenyut dalam irama ilmu dan iman. Masjid-masjid megah berdiri dengan kukuh, mengajak setiap jiwa untuk menimba hikmah dari para ulama yang datang dari berbagai negeri.
Di kota ini, cahaya pengetahuan berpadu dengan gemilangnya dakwah Islam, menyinari hati dan pikiran masyarakat yang dahaga akan ilmu pengetahuan. Pasar-pasar berfungsi lebih dari sekadar tempat transaksi, ia juga menjadi ruang pertemuan budaya, tempat di mana pedagang-pedagang Arab, Berber, Andalusia, dan Afrika bertukar gagasan, memperkaya peradaban Islam dengan ragam kebudayaan dan kearifan.
Warisan Sayyid Idris II melampaui zamannya. Fez terus tumbuh menjadi simbol kebangkitan Islam di Maghribi, sebuah kota yang menyatukan iman dan ilmu, menciptakan masyarakat yang harmonis dalam persatuan dan keberagaman.
Hingga kini, Fez tetap menjadi inspirasi bagi dunia Islam, menjadi bukti bahwa peradaban yang dibangun dengan hikmah dan keilmuan akan mampu bertahan melampaui masa, terus relevan sebagai teladan bagi generasi yang mencari pencerahan dan kebenaran. Wallahu a'lam.
Sunnatullah, Peserta program Kepenulisan Turots Ilmiah (KTI) Maroko, Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementrian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Maroko selama tiga bulan, 2024.
Terpopuler
1
Ustadz Maulana di PBNU: Saya Terharu dan Berasa Pulang ke Rumah
2
Kick Off Harlah Ke-102 NU Digelar di Surabaya
3
Pelantikan JATMAN 2025-2030 Digelar di Jakarta, Sehari Sebelum Puncak Harlah Ke-102 NU
4
Khutbah Jumat: Mari Menanam Amal di Bulan Rajab
5
Respons Gus Yahya soal Wacana Pendanaan Makan Bergizi Gratis Melalui Zakat
6
Puluhan Alumni Ma’had Aly Lolos Seleksi CPNS 2024
Terkini
Lihat Semua