Sirah Nabawiyah

Musyawarah Nabi Ibrahim dan Ismail

Senin, 19 Juli 2021 | 21:30 WIB

Musyawarah Nabi Ibrahim dan Ismail

Ilustrasi. (Foto: NU Online)

Umat Muslim di seluruh dunia tidak hanya dihadapkan pada rukun Islam kelima yaitu menunaikan ibadah haji, tetapi juga dapat memetik ibadah penuh hikmah seperti puasa di bulan Dzulhijjah, puasa sunnah tarwiyah dan Arafah, serta memperingati hari besar kedua umat Islam, Idul Adha. 

 

Idul Adha juga familiar dengan sebutan Hari Raya Kurban, di mana umat Islam dalam momen tersebut ramai-ramai memberikan hewan kurban seperti kambing, kerbau, maupun sapi sebagaimana syariat Nabi Ibrahim as dan Ismail as. Ibrahim adalah orang yang sangat patuh kepada Allah. Contohnya ketika Allah menyuruh Ibrahim untuk menyembelih anaknya, tanpa ragu-ragu langsung dilaksanakan kemudian dipangggilnya Ismail untuk bermusyawarah. 


Dari musyawarah itu Ismail setuju dirinya dijadikan kurban oleh ayahnya (QS as-Shaffat: 107), ketika Ismail 'dieksekusi' oleh ayahnya, Ismail sabar dan pasrah kepada Allah. Nabi Ibrahim yakin tidak akan ada sebuah perintah dari Allah tanpa jaminan dari Allah. Buktinya benar bahwa sembelihan Ibrahim diganti dengan sembelihan kambing yang sangat besar, inilah cikal bakal adanya syariat kurban. Oleh karena itu marilah kita berkurban semoga Allah akan menggantinya dengan rezeki yang lebih besar.


Tuntunan kurban juga terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Kautsar ayat 2 yang menyatakan, Fashalli lirabbika wan har, “Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).

 


Makna kurban dalam ayat tersebut mempunyai beberapa dimensi karena muaranya adalah takwa kepada Allah. Untuk mencapai derajat tersebut, manusia tidak mungkin hanya bermodal keshalehan vertikal kepada Tuhannya, melainkan mampu menumbuhkan keshalehan sosial kepada sesama manusia sebagai basis kekhalifahan di muka bumi. Dimensi yang dimaksud yaitu dimensi sosial dan spiritual.


Aspek sosial dalam ibadah kurban jelas terlihat ketika seorang hamba berbagi kebahagiaan terutama dengan masyarakat kurang mampu untuk dapat menikmati daging kurban, baik berupa sapi maupun kambing. Dimensi ini akan menyadarkan individu bahwa kepedulian terhadap sesama manusia mempunyai peran yang sangat penting untuk menumbuhkan keshalehan sosial pada diri pribadi maupun orang lain. Jadi dampak ibadah kurban bukan satu arah, melainkan saling timbal balik memunculkan kebaikan.


Tentu sempit jika kepedulian kepada sesama manusia dimaknai melalui kurban. Ibadah kurban hanya salah satu amal shaleh yang dianjurkan oleh Allah untuk mengambil pelajaran berharga dari historisitas luar biasa Nabi Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar. Ketiga orang mulia ini bahkan menjadi penuntun umat Muslim dalam menjalankan tahap-tahapan ibadah haji selama ini. 

 


Sebagaimana diketahui, rukun haji seperti Sa’i dan lempar jumrah berasal dari riwayat sejarah Nabi Ibrahim dan Siti Hajar. Namun, hendaknya dipahami secara substantif meskipun terwujud dalam bentuk simbol-simbol dalam ibadah haji.


Dalam momen Idul Adha ini, Nabi Ibrahim dan keluarganya merupakan teladan penghambaan terbaik manusia kepada Tuhannya. Sebab itu, ibadah haji dan kurban tidak hanya sebatas ritual saja, tetapi bagaimana menjadikan peristiwa Nabi Ibrahim dan hal-hal yang melingkupinya dijadikan instrumen berharga untuk menghamba kepada Allah, bukan justru menghamba pada ritual-ritual tersebut.

 

Sehingga tak jarang ditemui orang yang berkali-kali menunaikan ibadah haji, tetapi justru tetangga sekitarnya mengalami kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Begitu juga dengan kurban, ibadah yang seharusnya mampu menjadi sebuah kebaikan alam bawah sadar manusia agar kepedulian terhadap sesama terus dipupuk di hari-hari berikutnya.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon