Sirah Nabawiyah

Nabi Muhammad dan Persoalan Rumah Tangga Sahabatnya

Sab, 4 Januari 2020 | 18:40 WIB

Nabi Muhammad dan Persoalan Rumah Tangga Sahabatnya

Ilustrasi. (NU Online/Suwitno)

Para sahabatnya selalu mengadukan segala persoalan yang dihadapinya kepada Nabi Muhammad. Baik itu persoalan yang berkaitan dengan keagamaan, kemasyarakatan, dan bahkan keluarga, termasuk urusan perceraian. Mereka melakukan itu karena menganggap Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang diutus untuk membimbing umat manusia sesuai dengan syariat Allah. Nabi sendiri menerima para sahabat yang mengadu dengan saksama. Ia mendengarkan, memeriksa persoalannya, dan mencarikan solusinya. 

Dalam Sejarah Madinah (Nizar Abazhah, 2017) dan Biografi Intelektual-Spiritual Muhammad (Tariq Ramadan, 2015), suatu ketika ada beberapa sahabat perempuan yang mendatangi Nabi Muhammad. Mereka mengadu kepadanya terkait urusan rumah tangga, yakni mereka ingin meminta cerai dari suaminya karena sudah tidak lagi cinta. Di antara sahabat perempuan yang pernah melakukan itu adalah Jamilah binti Ubay bin Salul, Habibah binti Sahl al-Asariyah, dan Barirah (mantan budak Sayyidah Aisyah).

Kepada Jamilah binti Ubay, Nabi Muhammad bertanya perihal apa yang dia tidak suka dari suaminya, Tsabit bin Qais. Bagi Jamilah, agama Tsabit bin Qais sangat baik dan dia masalah dengan itu. Namun alasan dia meminta cerai dari suaminya adalah karena dia  tidak mau terus bersalah karena ketidaksetiaan. Dalam artian, dirinya tidak bisa menghargai hak-haknya sebagai suami atau mengkhianatinya lewat pikiran dan perilakunya. Riwayat lain menyebutkan bahwa Jamilah tidak lagi suka karena wajah suaminya, Tsabit bin Qais, yang jelek.  

Nabi kemudian bertanya apakah Jamilah bersedia mengembalikan sebidang kebun yang diterimanya sebagai mahar. Iya, jawab Jamilah tanpa ragu. Setelah menimang banyak hal, Nabi Muhammad menyadari kalau keduanya tidak akan bisa hidup tenang. Biduk rumah tangga mereka tidak bisa diselamatkan. Akhirnya, Nabi Muhammad meminta Tsabit bin Qais untuk menerima perceraian. 

Hal yang sama juga dialami Barirah, budak Sayyidah Aisyah. Ketika itu, Barirah dinikahi seorang budak juga, yaitu Mughits. Di satu sisi, Mughits sangat mencintai Barirah. Sementara di sisi lain, Barirah tidak mencintai suaminya itu. Rumah tangga mereka bertahan hingga pada suatu saat Sayyidah Aisyah memerdekakan Barirah. Karena merasa sekarang sudah menjadi manusia merdeka, Barirah bebas dalam menentukan pilihan hidupnya, termasuk tidak lagi meneruskan rumah tangganya dengan Mughits.

Keputusan Barirah itu membuat Mughits merana. Ia terus mengikuti Barirah, siapa tahu Barirah berubah hati dan mau hidup bersamanya lagi. Tidak hanya itu, Mughits juga meminta Nabi Muhammad untuk membujuk Barirah agar mau kembali kepadanya. Nabi kemudian bertanya apakah Barirah bersedia hidup bersama lagi dengan ayah dari anak-anaknya.

“Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkan sesuatu yang wajib bagiku?” tanya balik Barirah. Nabi menjawab bahwa dirinya hanya berusaha menolong Mughits, untuk menyelamatkan bahtera rumah tangganya. 

“Aku tidak membutuhkannya (Mughits) lagi,” kata Barirah kepada Nabi.
 
Pada saat lainnya, Nabi Muhammad juga pernah menerima seorang wanita yang mengeluh karena orang tuanya menikahkannya tanpa meminta pendapatnya. Sebetulnya wanita tersebut ridha dengan keputusan orang tuanya tersebut, namun dia ingin menyampaikan bahwa pernikahan bukan lah keputusan orang tua saja, tapi juga anak perempuan yang dinikahkan. Menurut wanita tersebut, orang tua tidak bisa bertindak seperti itu tanpa izin dari anak perempuan mereka. Maka kemudian, dalam sebuah riwayat Nabi Muhammad menunda sebuah kontrak pernikahan yang dilaksanakan tanpa izin si anak perempuan. 

“Janda lebih berhak bagi dirinya ketimbang walinya, dan perawan memberikan izin untuk dirinya, dengan cara diam,” kata Nabi Muhammad dalam sebuah hadits, terkait dengan hak perempuan dalam hal pernikahan. 

Penulis: Muchlishon Rochmat
Editor: Fathoni Ahmad