Syariah

7 Etika Calon Jamaah Haji menurut Imam Al-Ghazali

Sel, 16 Mei 2023 | 13:00 WIB

7 Etika Calon Jamaah Haji menurut Imam Al-Ghazali

Ilustrasi: Haji (freepik).

Calon jamaah haji manapun tentu menginginkan derajat haji mabrur. Sementara tiada balasan mabrur kecuali surga. Menurut Imam Al-Ghazali setidaknya ada 10 adab yang harus diperhatikan oleh jamaah calon haji yang menginginkan derajat tersebut. Namun tujuh (7) yang relevan dikemukakan di sini, yaitu sebagai berikut: 

 

Pertama, berawal dari cita-cita dan tujuan mulia menunaikan ibadah haji. Tujuan dan cita-citanya harus fokus kepada Allah. Hatinya harus tenang dan diarahkan untuk selalu berdzikir mengingat Allah, serta mengagungkan syiar-syiar-Nya. Tangan dan pikirannya harus bebas dari apa pun yang mengganggu hati dan memecah konsentrasi cita-citanya. Kemudian, biaya yang dipakainya juga harus bersumber dari usaha yang baik dan halal. (Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, [Beirut: Darul-Ma’rifah], juz I, halaman 262).  

 

Ibnu ‘Umar pernah menyatakan, “Di antara ciri orang yang mulia adalah orang yang paling baik perjalanan ibadah hajinya; dan di antara ibadah haji seseorang yang paling utama adalah yang paling tulus niatnya, paling bersih biayanya, dan paling baik keyakinannya.”  

 

Peringatan Imam Al-Ghazali ini cukup beralasan mengingat Rasulullah saw. pernah bersabda: 

 

إِذَا كَانَ آخِرُ الزَّمَانِ خَرَجَ النَّاسُ إِلَى الْحَجِّ أَرْبَعَةُ أَصْنَافٍ سَلَاطِيْنُهُمْ لِلنُّزْهَةِ وَأَغْنِيَاؤُهُمْ لِلتِّجَارَةِ وَفُقَرَاؤُهُمْ لِلْمَسْأَلَةِ وَقُرَّاؤُهُمْ لِلسُّمْعَةِ

 

Artinya, “Pada akhir zaman, orang-orang keluar untuk haji empat golongan: para penguasa untuk bersenang-senang, para hartawan untuk berdagang, orang-orang fakir untuk meminta-minta, dan para qari untuk memperdengarkan bacan.” (HR Al-Khatib).   

 

Dengan kata lain, seorang jamaah calon haji yang berangkat ke Tanah Suci harus berusaha semaksimal mungkin menjauhkan tujuan-tujuan duniawai demi meraih keutamaan ibadah haji dan derajat haji yang istimewa. Kendati dirinya bertugas menjalankan ibadah haji orang lain, maka niatkan membantu dan memudahkan sesama muslim menggugurkan kewajibannya. Jika harus mengambil upah, ambillah upah itu sebatas untuk memungkinkan dirinya menjalankan kebutuhan ibadah haji.  

 

Kaitan dengan wasiat untuk dihajikan, syariat memandangnya sebagai hal yang istimewa sebagaimana yang pernah disampaikan Rasulullah saw: 

 

يُدْخِلُ اللهُ سُبْحَانَهُ بِالحَجَّةِ الْوَاحِدَةِ ثَلَاثَةً اَلْجَنَّةَ اَلْمُوَصِّي بِهَا وَالْمُنْفِذُ لَهَا وَمَنْ حَجَّ بِهَا عَنْ أَخِيْهِ

 

Artinya, “Allah akan memasukkan tiga golongan ke surga dengan sekali haji: orang yang meninggalkan wasiat untuk dihajikan, orang yang menjalankan wasiat itu, dan orang yang berhaji untuk saudaranya,” (HR Al-Baihaqi).   

 

Kedua, mempersiapkan bekal secukupnya dan memperbaiki hati dalam memberikan dan membelanjakannya tanpa disertai kekikiran dan sikap berlebihan. Pergunakanlah perbekalan secara sederhana. Namun, hindari pula perilaku bersenang-senang dan makan makanan yang enak-enak atau bermewah-mewahan dalam berpakaian. Sementara banyak memberi dan berbagai rezeki, menurut Al-Ghazali, tidak termasuk sikap berlebihan. 

 

Menurutnya, menggunakan bekal untuk perjalanan haji sama dengan menginfakkannya di jalan Allah. Sementara satu dirham yang diinfakkan di jalan Allah dibalas dengan tujuh ratus dirham.  

 

Ketiga, meninggalkan ar-rafats, al-fusuq dan al-jadal, sebagaimana yang dibicarakan Al-Qur’an. Kata al-rafats merupakan kata umum yang mencakup segala perkataan sia-sia, keji, dan kotor. Termasuk di dalamnya perbuatan bersenda gurau atau membicarakan hubungan suami-istri. Sementara membicarakan hubungan suami-istri merupakan perbuatan yang dilarang karena mendorong kepada hal terlarang. Perkara yang memicu kepada hal yang dilarang adalah dilarang. 

 

Sementara kata al-fusuq merupakan kata umum yang mencakup semua keadaan yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Kemudian, al-jadal adalah berlebihan dalam permusuhan dan pertengkaran dengan hal-hal yang dapat menyebabkan kedengkian dan perpecahan, serta meruntuhkan budi pekerti yang baik. Sufyan As-Tsauri menuturkan, “Siapa saja yang melakukan ar-rafats, maka rusaklah hajinya.” Pantas jika Rasulullah saw. menjadikan tutur kata yang baik dan berbagi makanan sebagai kriteria haji yang mabrur

 

Sementara dalam sabda Rasulullah saw. disebutkan, tiada balasan haji yang mabrur kecuali surga.

 

اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةَ 
 

Artinya, “Haji mabrur itu tidak ada balasan untuknya selain surga.”  

 

Walhasil, sepantasnya jamaah calon haji untuk mengurangi pembicaraan yang tidak penting, senda gurau, apalagi pertentangan dengan sesama jamaah. Justru selama di perjalanan menuju Baitullah, hendaknya merendahkan diri di hadapan mereka, dan menunjukkan perangai yang baik. 

 

Keempat, sebaiknya menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki jika mampu melakukannya. Sebab, menjelang wafat, Abdullah ibn ‘Abbâs pernah berpesan kepada putranya, “Wahai anak-anakku, tunaikanlah haji dengan berjalan kaki. Karena orang yang berhaji dengan berjalan kaki, setiap langkahnya dihitung sebagai tujuh ratus kebaikan dari kebaikan Tanah Haram.” 

 

Namun, bagi jamaah calon haji asal Indonesia sepertinya hal ini tidak mungkin. Hanya saja masih bisa diusahakan di Tanah Suci saat menunaikan rangkaian manasik atau pulang-pergi dari Mekah ke tempat wukuf, terutama lagi saat ke Mina. Dan jika hendak ditambahkan, sunat pula berjalan setelah berihram. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa hal itu merupakan salah satu cara menyempurnakan ibadah haji. 

 

Kendati demikian, naik kendaraan saat menunaikan ibadah haji bukan pula termasuk hal yang tercela. Terlebih ada ulama yang mengatakan, “Naik kendaraan adalah lebih utama, karena di dalamnya ada nafkah dan biaya. Selain itu, naik kendaraan juga menjauhkan diri dari kelelahan, meminimalisir gangguan di perjalanan, lebih dekat kepada keselamatan, dan mendekatkan pada kesempurnaan ibadah haji.” 

 

Dua pendapat ini sama sekali tidak bertentangan. Siapa saja mudah berjalan kaki, maka lakukanlah dengan berjalan kaki dan itu adalah hal yang utama. Namun ketika tidak sanggup, dan bila dilaksanakan akan mengakibatkan resiko buruk, membatasi kesempatan amal ibadah, maka naik kendaraan adalah lebih baik. 

 

Kelima, berpenampilan sederhana dan tidak banyak mengenakan perhiasan. Jauh dari kesan bermewah-mewahan dan memperlihatkan jabatan atau kekayaan, sehingga tidak tercatat sebagai orang yang sombong dan berlebihan. Tampillah sebagai golongan lemah, miskin-papa, dan butuh terhadap rahmat dan ampunan Allah. Rasulullah saw. telah memerintahkan agar jamaah calon haji senantiasa berpenampilan sederhana dan menyembunyikan kekayaan, serta melarang untuk bersenang-senang dan bermewah-mewahan. Demikian seagaimana hadis riwayat ath-Thabrani. 

 

Meski demikian, bukan berarti mereka boleh mengenakan pakaian compang-camping atau kotor. Sebab, Al-Quran sendiri memerintah mereka memersihkan diri: 
 

ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ

 

Artinya, “Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran,” (QS Al-Hajj: 29). 

 

Calon jamaah haji tetap berpenampilan layaknya akan menghadap Allah. Mereka tetap harus menjaga kebersihan dan kerapihan diri dengan cara mencukur rambut, memotong kumis, dan memotong kuku. 

 

Keenam, mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih hewan dam meskipun tidak wajib bagi dirinya. Usahakanlah agar hewan yang dikurbankan adalah hewan yang gemuk dan mulus. Makanlah sebagian dagingnya jika kurban itu sunat, namun jangan memakannya apabila kurbannya wajib. Allah swt. telah berfirman, “Demikianlah perintah Allah. Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati,” (QS Al-Hajj: 32). 

 

Namun, yang diniatkan dalam kurban adalah membersihkan sifat-sifat kehewanan yang ada dalam diri, menjauhkan sifat kikir, meraih kesucian jiwa, serta memperindahnya dengan sifat-sifat terpuji. Lagi pula yang sampai pada Allah dalam berkuran bukan dagingnya, melainkan ketakwaannya, sebagimana firman-Nya, “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepadaNya adalah ketakwaan kamu,” (QS Al-Hajj: 37). 

 

Keutamaannya juga luar biasa, sebagaimana sabda Rasulullah saw: 

 

مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ إِهْرَاقِهِ دَماً وَأَنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُوْنِهَا وَأَظْلَافِهَا وَإِنَّ الدَّمَ يَقَعُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ بِالْأَرْضِ فَطِيْبُوا بِهَا نَفْسًا 

 

Artinya, “Tidak ada amal keturunan Adam yang paling disukai Allah pada hari raya kurban selain meneteskan darah hewan kurban. Sebab pada hari Kiamat, hewan itu akan datang dengan tanduk dan kukunya. Darahnya akan jatuh diterima Allah pada suatu tempat sebelum jatuh di tanah. Maka baik-baiklah kalian dengan berkurban,” (HR. at-Tirmidzi).     

 

Ketujuh, senantiasa berbaik sangka pada Allah atas apa yang telah dilakukan dan diinfakkan. Begitu pula dengan kepayahan, kerugian, bahkan mungkin musibah yang telah menimpa, baik yang menimpa harta maupun badan. Ingatlah bahwa musibah adalah salah satu tanda diterima ibadah haji. Musibah saat haji sama dengan nafkah yang dikeluarkan di jalan Allah. Satu dirham sebanding dengan tujuh ratus dirham karena beratnya ujian di jalan jihad. (Al-Ghazali, I/265).   

 

Karena itu, dia berhak atas pahala dari kepayahan dan kerugian yang dialaminya. Pahalanya tidak akan hilang sedikit pun di sisi Allah. Namun, ada pula yang menambahkan, di antara tanda diterimanya ibadah haji adalah ditinggalkannya kemaksiatan yang dahulu biasa diperbuatnya. Saudara-saudaranya yang tidak baik diganti dengan saudara-saudara yang saleh. Tempat-tempat kelalaiannya diganti dengan majelis dzikir dan kesadaran. Wallahu a’lam.

 

Ustadz M Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.