Orang yang berkurban berhak untuk mengambil sebagian kecil daging kurban sembelihannya. Hal ini dimaksudkan agar mereka yang berkurban mendapatkan kelimpahan berkah dari ibadah kurban yang sangat dianjurkan itu, sebagaimana Rasulullah SAW lakukan. Tetapi bagian mananya yang sebaiknya diambil dari hewan kurban?
Ulama berbeda pendapat perihal memakan daging kurban oleh mereka yang berkurban. Sebagian ulama mewajibkannya karena ada ayat yang memerintahkannya. Tetapi sebagian ulama lain menyatakan tidak wajib makan karena kurban adalah bagian dari syiar agama.
Ulama Mazhab Syafiโi kemudian memutuskan kesunnahan memakan sebagian kecil dari daging kurban. Pilihan ini merupakan dianjurkan untuk keluar dari dua kutub perbedaan pendapat di kalangan ulama.
ููุงูุฃูุถู ุงูุชููุตูุฏูููู ุจูุฌูู
ููุนููุง) ููุฃูููููู ุฃูุจูุนูุฏู ู
ูู ุญูุธูู ุงููููููุณู (ุฅูููุง ููููู
ูุฉู) ุฃู ููู
ุชูู (ุฃููู ููููู
ูุง ูุชุจุฑู ุงูู
ุถุญู ุจุฃููููุง) ูููุตุฏ ุจู ุงูุจูุฑูุฉ (ูุฅูู ูุณู ูู ุฐูู) ุฎุฑูุฌุง ู
ู ุฎูุงู ู
ู ุฃูุฌุจ ุงูุฃูู
Artinya, โ(Utamanya adalah menyedekahkan seluruhnya [daging kurban]) karena itu lebih menjauhkan dari nafsu keserakahan (kecuali sesuap) dua suap, (atau beberapa suap di mana orang yang berkurban mencari berkah dengan memakannya) ia berniat keberkahan dengan memakannya (karena sungguh memakannya itu disunnahkan baginya) untuk keluar dari ikhtilaf ulama yang mewajibkannya,โ (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Tausyih ala Ibni Qasim, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1417 H], halaman 272).
Rasulullah SAW sendiri memakan daging kurban sunnahnya. Meskipun ibadah kurban merupakan kewajiban baginya, Rasulullah tidak pernah menyembelih satu hewan kurban yang wajib itu.
Sebagaimana diketahui, seseorang haram memakan daging kurban wajib, seperti kurban karena nazar. Beliau menyembelih lebih dari satu hewan kurban yang mana hewan kedua dan seterusnya menjadi ibadah kurban sunnah yang boleh dimakan dagingnya.
ููุณู ุฃู ูููู ู
ุง ูุชุจุฑู ุจู ู
ู ูุจุฏ ุงูุฃุถุญูุฉ ููุงุชุจุงุน ูุฃูู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
ูุงู ูุฃูู ู
ู ูุจุฏ ุงูุฃุถุญูุฉ ุงูุฒุงุฆุฏุฉ ุนูู ุงููุงุฌุจุฉ ูุฅูู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
ูุฅู ูุงูุช ุงูุฃุถุญูุฉ ูุง ุฌุจุฉ ูู ุญูู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
ูุงู ูุฐุจุญ ุฃูุซุฑ ู
ู ุงููุงุฌุจ
Artinya, โDaging yang dijadikan tabarrukan sebaiknya adalah bagian hati hewan kurban karena meneladani Rasulullah SAW. Rasulullah SAW memakan hati hewan kurban yang tambahan dari kurban wajibnya. Pasalnya, meskipun kurban adalah wajib bagi Rasulullah, beliau SAW menyembelih lebih dari seekor hewan kurban yang wajib itu,โ (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Tausyih ala Ibni Qasim, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1417 H], halaman 272).
Ulama Syafiโiyah menganjurkan orang yang berkurban untuk mengambil bagian hati dari hewan kurbannya. Berdasarkan hadits Rasulullah, ulama Mazhab Syafiโi bertafaโul (meneladani dengan harapan) dengan memakan hati hewan kurban sebagaimana penduduk surga pertama kali menyantap hati hewan yang disediakan Allah SWT.
ูุญูู
ุฉ ูุฏุจ ุฃูู ุงููุจุฏ ุงูุชูุคู ุจุฏุฎูู ุงูุฌูุฉ ูุฃูู ุฃูู ู
ุง ููุน ุจู ุฅูุฑุงู
ุงููู ุชุนุงูู ูุฃูู ุงูุฌูุฉ ูู
ุง ูุฑุฏ ูู ุงูุญุฏูุซ ุฃู ุฃูู ุฅูุฑุงู
ู ุชุนุงูู ููู
ุจุฃูู ุฒูุงุฏุฉ ูุจุฏ ุงูุญูุช ุงูุฐู ุนููู ูุฑุงุฑ ุงูุฃุฑุถ ููู ุงููุทุนุฉ ุงูู
ุนููุฉ ูู ุงููุจุฏ
Artinya, โHikmah anjuran memakan hati hewan kurban adalah harapan (tafaโul) masuk surga karena yang pertama kali terjadi adalah hati yang dihidangkan bagi ahli surga sebagai bentuk penghormatan Allah kepada mereka. Dalam hadits tersebut bahwa penghormatan Allah pertama kali terhadap penghuni surga adalah pemberian makan lebihan hati ikan paus yang padanya tetap bumi. Lebihan itu adalah potongan daging yang tergantung di hati,โ (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Tausyih ala Ibni Qasim, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1417 H], halaman 272).
Dari pelbagai ketarangan ini, kita dapat menganjurkan orang yang berkurban untuk mengamanahkan kepada panitia kurban agar memisahkan bagian hati hewan kurban untuk diberikan kepada mereka yang berkurban.
Kami menyarankan agar hati hewan kurban itu dipastikan steril dari bakteri atau cacing hati sebelum dikonsumsi. Wallahu aโlam. (Alhafiz K)