Syariah

Berapa Durasi Minimal Menginap di Mina saat Haji?

Kam, 30 Juni 2022 | 17:00 WIB

Berapa Durasi Minimal Menginap di Mina saat Haji?

Berapa Durasi Minimal Menginap di Mina saat Haji? (Foto ilustrasi: NU Online/Achmad Mukafi Niam)

Sebelum ritual melempar tiga jumrah di masing-masing hari Tasyriq, jamaah haji terlebih dahulu menjalankan aktivitas manasik lain di malam harinya, yaitu menginap (mabit) di Mina. Kegiatan ini dilakukan selama tiga malam, mulai malam 11, 12, sampai 13 Dzulhijjah bagi jamaah haji yang tidak melakukan nafar awal, yaitu meninggalkan Mina pada tanggal 12 Dzulhijjah sebelum tenggelamnya matahari di hari tersebut. Namun bagi jamaah haji yang menghendaki nafar awal, cukup menginap di Mina pada malam tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah, tidak wajib menginap di malam 13 Dzulhijjah sebagaimana gugur kewajiban melontar jumrah di siang harinya.

 

Menginap di Mina menurut pendapat yang disahihkan oleh al-Imam al-Nawawi dan mayoritas ulama Syafi’iyyah yang lain masuk kategori wajib haji yang berkonsekuensi membayar dam (denda) bila ditinggalkan. Lalu berapa durasi minimal mabit (menginap) di Mina?

 

Durasi minimal menginap di Mina adalah mu‘dham al-lail (sebagian besar waktu malam) terhitung mulai terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Misalnya kalkulasi waktu malam hari di Mina adalah 10 jam, maka menginap di Mina cukup 8 atau 9 jam. Tidak disyaratkan datang tepat setelah maghrib, namun boleh selepas Isya’ dengan catatan dapat menginap di sebagian besar waktu malam di Mina.

 

Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi mengatakan:

 

وثَالِثُهَا مَبِيْتٌ بِمِنَى لَيَالِيَ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ الثَّلَاثَةِ وَالْوَاجِبُ فِيهِ مُعْظَمُ اللَّيْلِ –إلى أن قال- وَمَحَلُّ وُجُوْبِ مَبِيْتِ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ إِِنْ لَمْ يَنْفِرْ النَّفَرَ الْأَوَّلَ وَإِلَّا سَقَطَ عَنْهُ مَبِيْتُ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ كَمَا سَقَطَ عَنْهُ رَمْيُ يَوْمِهَا

 

“Kewajiban haji yang ketiga adalah menginap di Mina pada tiga malam hari Tasyriq. Yang wajib di dalamnya adalah sebagian besar malam. Kewajiban menginap di malam ketiga bila jamaah haji tidak melakukan nafar awal. Jika tidak demikian, maka gugur baginya kewajiban menginap di malam ketiga sebagaimana gugur kewajiban melontar jumrah di hari tersebut. (Syekh Muhammad Nawawi Bin Umar al-Jawi, Nihayah al-Zain, hal.210).

 

Bahkan menurut pendapat yang di-tarjih (diunggulkan) oleh Syekh Athiyyah al-Ujhuri sebagaimana dikutip Syekh Sulaiman al-Jamal, mabit di Mina cukup dengan durasi yang melebihi separuh dari kalkulasi total waktu malam, meski dengan selisih waktu yang sangat sebentar. Misalnya malam hari di Mina adalah 10 jam, maka sudah dianggap cukup bermalam di Mina selama 5 jam lebih 1 menit, sebab durasi menginap telah melampaui separuh malam.

 

Tarjih Syekh Athiyyah ini bermula dari dua kemungkinan pemahaman perihal maksud spesifik dari “mu‘dham al-lail” (sebagian besar malam) sebagai standar minimal durasi mabit di Mina. Menurut ihtimal (kemungkinan) yang pertama, disebut mu‘dham al-lail cukup dengan menginap dengan durasi separuh malam lebih sedikit. Menurut Ihtimal kedua, tidak cukup melebihkan sedikit dari separuh malam, melainkan harus mencapai durasi menginap yang menurut penilaian ‘urf (keumuman) disebut sebagian besar waktu malam. Ihtimal pertama ditegaskan oleh Syekh Athiyyah sebagai pendapat yang mu’tamad (dibuat pegangan).

 

Syekh Sulaiman al-Jamal berkata:

 

 (قَوْلُهُ مُعْظَمِ لَيْلٍ) هَذَا يَتَحَقَّقُ بِمَا زَادَ عَلَى النِّصْفِ وَلَوْ بِلَحْظَةٍ وَيَحْتَمِلُ أَنَّ الْمُرَادَ مَا يُسَمَّى مُعْظَمًا عُرْفًا فَلَا يَكْفِي ذَلِكَ اهـ. ع ش وَالْأَوَّلُ هُوَ الْمُعْتَمَدُ اهـ. شَيْخُنَا.

 

“Ucapan sang pengarang sebagian besar malam; hal ini dapat terealisasi dengan durasi yang melebihi atas durasi separuhnya. Kemungkinan lain yang dimaksud adalah durasi yang menurut keumuman disebut sebagian besar malam, maka durasi tambahan yang sebentar itu tidak mencukupi. Demikian keterangan Syekh Ali Syibromalisi. Dan kemungkinan pertama adalah pendapat yang dibuat pegangan. Demikian keterangan guru kami (Syekh Athiyyah al-Ujhuri)”. (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ‘ala Fath al-Wahhab, juz.2, hal.470).

 

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan. Kami selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran. Semoga bermanfaat.

 

Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Wakil Ketua LBM PWNU Jawa Barat dan Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.