Syariah

Bolehkah Belajar Shalat dari AI, Tanpa Melalui Seorang Guru?

Sel, 12 September 2023 | 16:00 WIB

Bolehkah Belajar Shalat dari AI, Tanpa Melalui Seorang Guru?

Artificial intelligence (AI) telah merambah ke berbagai bidang, termasuk pendidikan agama Islam. (Foto ilustrasi: NU Online)

Di era digital seperti saat ini, teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan telah merambah ke berbagai bidang, termasuk pendidikan agama Islam. Salah satu hal yang bisa dipelajari dengan AI adalah tata cara shalat fardhu atau sunnah.


Saat ini, sudah ada platform yang menawarkan pembelajaran shalat dengan AI. Salah satunya adalah aplikasi Chat GPT. Aplikasi ini menggunakan aplikasi chatbot AI yang menggunakan teknologi transformer untuk memprediksi probabilitas kalimat atau kata berikutnya dalam suatu percakapan ataupun perintah teks. Chat GPT ini akan mampu memandu penggunanya dalam melakukan shalat. Pengguna cukup mengetik “tata cara shalat Dzuhur” di ponsel pintar, dan aplikasi akan memberikan panduan dalam melaksanakan ibadah shalat.


Di sisi lain, ada juga aplikasi Bacaan Shalat, buatan dari Crown Banana Studio. Aplikasi ini diklaim sebagai aplikasi Islami yang sangat bermanfaat bagi umat Islam urban yang tengah belajar shalat. Aplikasi ini menyediakan tuntunan dan bacaan shalat lengkap, mulai dari niat, tata cara, hingga bacaan doa setelah shalat. Selain itu, aplikasi ini juga menyediakan daftar surat-surat pendek dari Al-Quran yang dapat dihafalkan.


Lebih lanjut, Aplikasi Bacaan Shalat memiliki tampilan yang simpel dan mudah digunakan. Tampilannya didominasi warna hijau yang terkesan sejuk dan menenangkan. Aplikasi ini juga memiliki fitur-fitur yang memudahkan pengguna untuk mencari bacaan shalat yang diinginkan.


Lalu, apakah boleh belajar shalat dari AI, tanpa melalui seorang guru?


Saat ini, harus diakui kemajuan tekhnologi tak bisa dinafikan memberikan banyak pengaruh pada kehidupan manusia. Dalam segala lini, AI menjadi andalan manusia, baik untuk pendidikan, pekerjaan, dan termasuk dalam hal ini untuk kepentingan ibadah.


Lebih dari itu, AI bisa menjadi salah satu alat bantu yang bermanfaat dalam belajar shalat. AI bisa membantu kita untuk memvisualisasi gerakan-gerakan shalat, sehingga kita bisa lebih mudah memahaminya. AI juga bisa memberikan kita feedback tentang kesalahan-kesalahan yang kita lakukan saat shalat.


Dengan demikian, jika seseorang dapat mengetahui rukun dan syarat sah shalat, dengan bantuan AI, maka hukumnya adalah boleh dan diperkenankan. Analogi yang sama, juga pernah ditanyakan kepada KH M. Sjafi’i Hadzami, dalam buku 100 Masalah Agama, jilid 3, halaman 144, tentang bagaimana hukum seorang Islam mengerjakan shalat sembahyang hanya didapat dengan membaca pelajaran buku agama Islam tanpa melalui pengajaran guru? 


Mendapatkan pertanyaan itu, KH M. Sjafi’i Hadzami, menyatakan bahwa pada dasarnya, shalat seorang muslim dihukumi sah, meskipun hanya belajar dari buku pelajaran agama dengan syarat, ia memahami syarat dan rukun shalat tersebut secara sempurna.


Namun, meskipun sah, seorang yang belajar pada AI ataupun buku pelajaran lainnya tidak mendapatkan adab yang pernah dilakukan oleh assalafusalih, yaitu belajar ilmu dari seorang guru secara musyafaah. Seorang yang hanya belajar dari bacaan dan aplikasi, tidak akan mempunyai sanad masyikhah [persandaran keguruan], sebagaimana alim ulama yang telah lalu.


Sejatinya, AI dan aplikasi lain tidak bisa menggantikan peran seorang guru. Guru yang terpercaya akan bisa memberikan kita arahan dan bimbingan yang lebih detail dan menyeluruh tentang tata cara shalat. Guru juga akan bisa memberikan kita nasihat dan motivasi agar kita bisa istikamah dalam menjalankan shalat. 


Lebih jauh lagi, jika ingin belajar shalat dengan benar, maka yang terbaik adalah dengan ber-talaqqi dari seorang guru yang terpercaya. Sebagaimana Sayyiduna Musa berpergian jauh untuk talaqqi keilmuwan kepada Nabi Khidir. Pun sebagaimana berjalan jauh [perjalanan satu bulan], sahabat Jabir bin Abbdullah untuk bertemu dengan Abdullah bin Anis, hanya untuk mengajarinya satu hadits saja. 


Hal ini sebagaimana dijelaskan juga dalam kitab Manhalul Wurrad  min Faidlil Imdad bi Syarhi Abyatil Quthbi Abdillah bin Alawi Alhaddad, halaman 102 yang ditulis oleh Habib Ahmad bin Abi Bakar bin Sumaith Al Hadrami, bahwa seyogianya ilmu-ilmu agama diambil dari seorang guru yang sempurna penelahaannya. Pasalnya, jika belajar tanpa guru, maka akan sedikit hasilnya. Habib Ahmad berkata;


فقد افهم تعبير الناظم نفع الله به بقوله و خذ من علوم الدين الخ أن الاخذ من شيخ له تمام الاطلاع مما يتعين على طالب العلم و اما مجرد المطالعة بغير شيخ اتكالا على الفهم فقليلة الجدوى اذ لابد ان تغرض عليه مشكلات لا تتضح له الا ان حلها شيخ.


Artinya; "Sesungguhnya telah memberi paham oleh keterangan penyair bahwa “Ambillah ilmu agama dari seorang guru yang memiliki pengetahuan luas”. Hal ini karena seorang guru yang memiliki pengetahuan luas akan dapat menjelaskan ilmu agama dengan baik dan benar. Ia akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan penuntut ilmu dengan memuaskan. Selain itu, seorang guru juga akan dapat membimbing penuntut ilmu dalam memahami ilmu agama secara mendalam."


Sementara itu, membaca buku [muthalaah] tanpa bimbingan guru, dengan mengandalkan pemahaman sendiri, tidaklah banyak manfaatnya. Hal ini karena penuntut ilmu akan menemui banyak masalah yang tidak dapat ia pecahkan sendiri. Masalah-masalah tersebut dapat berupa masalah pemahaman, masalah penerapan, atau masalah lain yang terkait dengan ilmu agama. Seorang guru yang memiliki pengetahuan luas akan dapat membantu penuntut ilmu dalam memecahkan masalah-masalah tersebut.


Demikian juga Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah, halaman 348 menyatakan bahwa pertemuan langsung dengan guru adalah suatu hal yang penting dalam proses pengajaran. (ilmu) yang diperoleh melalui cara kedua, yaitu pertemuan langsung dengan guru, lebih melekat dan menancap. Hal ini dikarenakan pertemuan langsung dengan guru memungkinkan terjadinya interaksi yang lebih intensif antara guru dan murid yang dapat membantu murid memahami pengetahuan dengan baik dan benar. 


ولقاء المشيخة مزيد كمال في التعليم والسبب في ذلك أن البشر يأخذون معارفهم وأخلاقهم وما ينتحلونه به من المذاهب والفضائل: تارة علماً وتعليماً وإلقاءً، وتارة محاكاة وتلقيناً بالمباشرة. إلا أن حصول الملكات عن المباشرة والتلقين أشد استحكاماً وأقوى رسوخاً


Artinya; "Pertemuan dengan ulama [guru] merupakan penyempurnaan dalam pendidikan. Hal ini karena manusia memperoleh pengetahuan, akhlak, dan ajaran serta keutamaan yang mereka yakini: terkadang dengan belajar, mengajar, dan menyampaikan, dan terkadang dengan meniru dan menerima secara langsung. Namun, perolehan sifat-sifat melalui pengalaman langsung dan pengajaran lebih kokoh dan lebih kuat."


Zainuddin Lubis, pegiat kajian tafsir, tinggal di Ciputat