Syariah

Dalil Hadits Harus Disampaikan Sesuai Tingkat Pemahaman Pendengarnya

Sen, 27 Mei 2024 | 09:45 WIB

Dalil Hadits Harus Disampaikan Sesuai Tingkat Pemahaman Pendengarnya

Hadits. (Foto: Istimewa)

Suatu kewajaran apabila seorang ustadz, dai, maupun mubalig mengutip hadits Rasulullah saw ketika ceramah, baik dalam forum ilmiah, khutbah Jumat, hingga acara dalam perayaan hari besar Islam. Hadits-hadits yang dikutip pun ada kalanya disampaikan secara tekstual, ada pula yang makna dan pemahamannya saja.


Secara fungsi, hadits Nabi saw yang dikutip dan disampaikan oleh para mubalig kurang lebih bertujuan memperkuat pesan-pesan yang disampaikan dengan landasan yang kokoh dan otoritatif yaitu Nabi saw, atau juga untuk menyebarkan ajaran dan teladan dari Nabi saw.


Hadits yang digunakan sebagaimana fungsi di atas merupakan cerminan dari niat baik seorang mubalig. Hanya saja, niat baik tentu harus difasilitasi dengan kebenaran dan fakta yang valid. Artinya, hadits-hadits Nabi saw yang disampaikan harus hadits yang terverifikasi shahih, atau hasan, atau minimal dha’if jika memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh para ulama ahli hadits.


Selain itu, menyampaikan hadits juga perlu dilakukan pada tempatnya dan sesuai dengan kondisi pendengarnya. Jangan sampai seorang mubalig menyampaikan hadits-hadits Nabi saw di tengah masyarakat awam, kemudian hadits tersebut disalahpahami serta dimaknai dengan tidak seharusnya.


Jauh-jauh hari, Al-Bukhari dalam Shahih-nya menuliskan satu bab yang membahas terkait perlunya ketepatan dalam menyampaikan hadits, sehingga audiensi atau pendengar dapat memahaminya dengan baik dan tepat, serta tidak menyalahgunakan atau gagal dalam memahami makna hadits.


Bab tersebut adalah “Bab man khashsha bil ‘ilm qawman duna qawmin karahiyyata alla yafhamu,” artinya “Bab tentang menginformasikan ilmu kepada orang tertentu saja, khawatir terjadi ketidakpahaman.” Pada awal bab tersebut, Al-Bukhari mengutip perkataan ‘Ali bin Thalib ra:

 

حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ، اللَّهُ وَرَسُولُهُ

 

Artinya: “Sampaikan hadits kepada orang-orang sesuai dengan tingkat pemahaman mereka. Apakah kalian suka jika Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (HR Al-Bukhari).


Mushtafa al-Bugha dalam catatan kaki kitab Shahih al-Bukhari menjelaskan lebih lanjut maksud perkataan ‘Ali di atas. Menurutnya, maksud ‘Ali bin Abi Thalib adalah hendaknya setiap orang berbicara terkait persoalan agama sesuai dengan tingkatannya, sebab boleh jadi obrolan yang tidak pada tempat dan tingkatannya akan memicu pengingkaran terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, [Beirut: Dar Thawqun Najah, 1442 H], jilid I, hal. 127).


Selanjutnya, masih dalam bab yang sama Al-Bukhari juga melampirkan sebuah riwayat, suatu hari Rasulullah saw memanggil Mu’adz bin Jabal sebanyak tiga kali, dan Mu’adz pun memenuhi panggilan tersebut.


Siapa pun yang mengucap dua Kalimah Syahadat: ‘Tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah niscaya dirinya selamat dari api neraka.” Ucap Rasulullah saw kepada Mu’adz.


Bolehkah aku memberitahukan informasi ini kepada orang-orang?” Tanya Mu’adz.


Kalau kamu beritahukan orang-orang, niscaya mereka akan bersandar pada itu saja [keimanan kepada Allah dan Rasul-nya tanpa beramal].” Jawab Rasulullah saw.


Meskipun Rasulullah saw menjawab agar informasi tersebut tidak disebarkan kepada khalayak umum, di akhir hayatnya Mu’adz memberitakan kabar tersebut kepada orang-orang, sebab merasa khawatir menjadi bagian orang-orang yang menyembunyikan ilmu. (Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, jilid I, hal. 128).


Ibnu Rajab al-Hanbali merespons hadits di atas, yaitu para ulama menyimpulkan terdapat larangan menyebar kabar gembira (tabsyir) sebagaimana disebut dalam hadits di atas kepada masyarakat umum secara sembarangan. Boleh jadi efeknya malah membuat kaum Muslim yang awam menjadi malas beribadah dan beramal, sebab seolah-olah mereka telah dijamin masuk surga. Padahal dalam hadits yang mutawatir, sebagian orang yang beriman namun bermaksiat tetap mendapat siksa.


Adapun Mu’adz diberi kabar demikian oleh Rasulullah saw sebab dirinya merupakan orang yang giat beramal sekaligus memiliki iman yang kuat, hingga nyaris tidak mungkin Mu’adz menjadi bagian dari orang yang menyepelekan amal dan ibadah, alih-alih bergantung pada keimanan saja. (Ibnu Hajar al-‘Asqallani, Fathul Bari syarh Shahih al-Bukhari, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001], jilid XI, hal. 348).


Pada riwayat yang serupa, Muslim bin al-Hajjaj, penulis Shahih Muslim, pernah menyampaikan suatu kisah bahwa Abu Hurairah diperintahkan Nabi saw untuk menyampaikan hadits tersebut pada orang-orang. Tatkala kabar tersebut sampai kepada Umar, ia langsung memarahi Abu Hurairah karena khawatir kaum Muslim menjadi pemalas sebab bergantung pada iman saja.


"Umar pun mencoba mengonfirmasi kembali kepada Rasulullah dan mengingatkan bisa jadi sabdanya disalahgunakan oleh orang-orang untuk bergantung pada iman saja tanpa beramal. Hanya saja, jawaban Nabi saw kala itu menepis kekhawatiran Umar." (Muslim, Shahih Muslim, [Beirut: Darul Jayl, 1334 H, jilid I, hal. 44).


Di masa selanjutnya, sebagaimana dikutip oleh al-Qasimi dalam Qawa’idut Tahdits dari Asyhur Masyahiril Islam, Abu ‘Ubaydah bin al-Jarrah, seorang sahabat yang memiliki pemahaman agama yang mendalam, pernah mendapatkan riwayat berupa kabar gembira yang tidak dimiliki kecuali oleh sebagian sahabat saja, yaitu “Siapa pun yang meninggal dan tidak menyekutukan Allah maka akan masuk surga.”


Hadits tersebut enggan disampaikan olehnya kepada khalayak umum, sebab khawatir disalahpahami dan disalahgunakan. Hanya saja, Abu Ubaydah merupakan seorang prajurit, suatu hari dirinya bersama orang-orang Muslim terkepung dalam suatu wilayah di masa perang menghadapi Romawi.


Kaum Muslim saat itu digambarkan oleh Abu Ubaydah cenderung kurang motivasi dalam berperang. Konon, mereka takut dengan kematian dan kehidupan setelah mati. Akhirnya Abu Ubaydah memotivasi mereka dengan hadits tersebut sehingga semangat kaum Muslim seketika bangkit dan berkobar.


Peperangan tersebut dimenangkan oleh kaum Muslim. Hadits itu pun mulai diriwayatkan oleh mereka yang mendengarnya di peperangan. Efeknya beberapa orang bergantung hanya pada keimanan saja.


Tampak sedikit penyesalan dari Abu Ubaydah, hingga ia bersorak kepada kaum Muslim agar tetap beramal dan berusaha sebanyak mungkin untuk mendapatkan surga Allah dan jangan bersandar pada keyakinan bahwa pada akhirnya pun mereka akan masuk surga hanya dengan modal iman saja. (Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawa’idut Tahdits, [Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2004], hal. 292).


Para ahli hadits memandang paparan di atas sebagai bentuk perlunya menyampaikan hadits pada tempatnya. Selain itu, kesesuaian tingkat pemahaman ketika mengajarkan dan menyampaikan hadits-hadits Nabi saw dinilai penting. Terlebih bagi para mubalig dan penceramah yang rata-rata pendengarnya adalah orang awam.


Hadits-hadits yang bersifat keutamaan amal (fadha’ilul a’mal) dan kabar gembira (tabsyir) memang baik untuk disebarkan ke khalayak umum guna menyemangati mereka dalam menjalani kehidupan. Hanya saja, hadits-hadits pembanding juga diperlukan dalam hal ini.


Sebagaimana yang dicontohkan oleh para sahabat dan para ulama terdahulu, praktik di atas bertujuan agar pesan-pesan mulia dari Rasulullah saw dapat dipahami dengan baik dan diaplikasikan secara tepat dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam.


Amien Nurhakim, Penulis Keislaman NU Online dan Dosen Universitas PTIQ Jakarta