Syariah

Dialektika Jilbab dan Aurat Perempuan

Rab, 2 Januari 2019 | 09:00 WIB

Kiai Haji Quraisy Shihab adalah salah seorang mufasir tersohor yang dimiliki Indonesia abad kini. Ia adalah salah seorang alumni Al-Azhar dengan predikat summa cumlaude. Dalam tafsir, ia sudah menghasilkan sebuah karya yang diberi nama Tafsir Al-Mishbah. Tak dapat dipungkiri bahwa kitab tafsir karyanya ini sudah banyak menjadi bahan rujukan oleh para akademisi yang bergelut dalam dunia penafsiran Al-Qurân.

Banyak orang ingin mengetahui tentang pandangannya terhadap jilbab, seiring salah satu putrinya menjadi presenter ternama dalam sebuah acara talkshow di televisi. Untuk mengetahui pandangannya soal ini, ia telah menulis sebuah buku khusus yang diberi judul Jilbab. Dengan buku setebal kurang lebih 275 halaman, secara lengkap, sistematis dan bahasa yang renyah dan mudah dipahami, beliau menjelaskan pandangannya soal jilbab ini.

Salah satu ciri khas Kiai Quraish Shihab dalam memulai penulisan sebuah karya, adalah senantiasa mengadopsi berbagai pandangan ulama-ulama terdahulu dan kontemporer. Semua itu dilakukan agar para pembacanya bisa mencerna sendiri berbagai pandangan itu, dan memilih untuk hal yang paling sesuai dengan dirinya serta berlaku hati-hati dalam menjalankan agamanya.

Ia berusaha untuk tidak memberi penilaian terhadap orang lain, apalagi mengafirkan atau melabeli seseorang dengan liberal dan radikal. Berikut ini penulis sajikan sekelumit pandangannya soal jilbab.

Membahas soal jilbab, ada kaitannya dengan pembahasan soal aurat perempuan. Di dalam buku yang berjudul Jilbab ini, KH Quraisy Shihab menyampaikan bahwa para ulama terbagi menjadi dua dalam memahami soal aurat perempuan, antara lain:

1. Ulama yang berpandangan bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya, dan

2. Ulama yang mempercayai pandangan ulama pertama ini, namun dengan mengecualikan tangan dan wajah.

Terkait dengan penafsiran Surat Al-Ahzab ayat 53, ia menjelaskan bahwa terjemah Al- Qurân  yang ditulis oleh Departemen Agama telah menerjemahkan hijab sebagai tabir yang menutupi tubuh kaum perempuan.

Yang menjadi persoalan adalah, apakah khithab (perintah) penggunaan tabir itu hanya berlaku kepada istri-istri nabi saja, atau juga berlaku umum? Di sinilah sisi menariknya. 

Terhadap penafsiran Surat Al-Ahzab ayat 53 di atas, kelompok ulama pertama meyakini bahwa perintah mengenakan hijab adalah berlaku untuk semua kaum muslimah. Penafsiran mereka didasarkan pada Surat Al-Ahzab ayat 59 yang memakai lafal jalâbîbihinna, yang merupakan bentuk jamak dari lafal jilbab, yang berarti penutup tubuh yang menyerupai selimut. Selain itu, penggunaan lafal ‘alaihinna menunjukkan pengertian plural dan mengena kepada setiap muslimah.

Adapun pandangan penafsiran ulama yang kedua, adalah didasarkan pada penjelasan ayat dari Surat An-Nûr ayat 30-31. Di dalam ayat ini, ada perintah yang ditunjukkan oleh Allah SWT terhadap kaum muslimah agar mereka menundukkan pandangan.

Padahal, menurut ulama yang kedua ini, jika pakaian sudah tertutup, untuk apa diperlukan lagi upaya menundukkan pandangan? Itulah sebabnya, kelompok ulama’ yang kedua ini menolak keumuman lafal dari Surat Al-Ahzab ayat 53 dan memberlakukan sifat kekhususan khithab (perintah), yaitu hanya berlaku bagi istri-istri Baginda Nabi SAW saja sebagaimana hal itu juga berlaku untuk shalat tahajjud. Sifat kekhususan ini didasarkan pada Surat Al-Ahzâb: 32, yang berbunyi:

يٰنِسَاۤءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَاَحَدٍ مِّنَ النِّسَاۤءِ اِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِيْ فِيْ قَلْبِهٖ مَرَضٌ وَّقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوْفًاۚ 

Artinya “Wahai istri-istri Rasul, sesungguhnya keutamaan dan kedudukan kalian itu tidak seperti wanita pada umumnya. Jika kalian bertakwa, maka janganlah bersikap terlalu lembut dan terlalu lunak dalam bertutur sehingga dapat menarik perhatian orang yang hatinya kotor. Berbicaralah secara wajar dan tidak dibuat- buat.” (Surat Al-Ahzâb ayat 32).

Di dalam ayat ini, dijelaskan bahwa istri-istri nabi adalah tidak sama dengan perempuan pada umumnya. Itulah sebabnya, khithab (perintah) tentang hijab di atas, menurut ulama’ kedua, hanya berlaku untuk istri Nabi saja dan tidak berlaku umum untuk semua muslimah.

Adapun, kelompok ulama yang pertama, mereka menolak argumentasi dari ulama kedua, dengan dalih bahwa di Madinah saat itu masih banyak dijumpai perempuan non-Muslim, sehingga perlu kiranya menundukkan pandangan bagi kaum adam. Kelompok ulama’ yang pertama justru menjadikan Surat Al-Ahzâb ayat 32-33 sebagaimana Surat Al-Ahzâb ayat 59, sebagai penguat pendapat mereka bahwa selain hijab berlaku untuk semua kaum muslimah, mereka juga berpandangan bahwa semua kaum perempuan wajib tinggal di rumah dan tidak boleh keluar darinya.

Ulama kelompok pertama menambahkan adanya pengecualian yang berlaku bagi perempuan-perempuan yang sudah terhenti dari haidhnya (menopause) dan sudah tidak menghendaki untuk menikah lagi. Mereka ini boleh menanggalkan hijab asal tidak bermaksud menampakkan perhiasan, disertai anjuran agar tetap berlaku sopan.

Jadi, sampai di sini, maka di dalam buku yang berjudul Jilbab ini, KH. Quraisy Shihab telah menjelaskan bahwa ada tiga ragam hijab secara umum, yaitu: 

1. Hijab yang menutup seluruh anggota tubuh dan didukung oleh ulama’ kelompok pertama

2. Hijab yang mengecualikan menutup muka dan telapak tangan dan didukung oleh ulama’ kelompok kedua, dan

3. Hijab untuk orang tua yang sudah tidak menghendaki menikah lagi dan sudah terhenti dari haidhnya. Pendapat ini disepakati oleh kedua kelompok pertama dan kedua.

Tidak lupa KH Quraisy Shihab memberikan penekanan pada halaman 119, bahwasanya di dalam Al-Qurân, tidak ada satu ayat pun yang memberikan sebutan secara tegas tentang batas-batas aurat perempuan.

Ia juga menyebutkan bahwa beragam pandangan ulama hingga dewasa ini–mengenai jilbab–adalah didasarkan pada perbedaan penafsiran-penafsiran ayat di atas. Ia sepakat bahwa perempuan tidak boleh keluar rumah dengan mengenakan pakaian terbuka (tabarruj).

Sebenarnya, masih panjang dialektika tentang jilbab yang ia sampaikan dalam buku berjudul Jilbab ini. Sangat menarik untuk dibaca, apalagi saat ia menjelaskan tentang pendapat Madzhab Hanafi dan ulama’ Hanafiyah yang menjelaskan bahwa kedua kaki bukanlah termasuk aurat yang wajib ditutup.

Menurutnya, pendapat ini juga bisa ditemui pada disertasi Muhammad Ali Al-Hasan (Baghdad) dan Abdurrahman Faris Abu Auliyah, dua orang alumni Universitas Riyadl dan Amman. Pendapat yang senada juga dinisbatkan kepada Abu Yusuf, selaku santri dan sekaligus teman dari Imam Abu Hanifah. Bahkan menurut ia disampaikan bahwasanya, kedua tangan perempuan juga bukan termasuk aurat yang wajib ditutup.

Di bagian akhir buku ini ia menyimpulkan bahwasanya jilbab adalah persoalan khilafiyah. Salah satu yang mungkin menjadi pesan pentingnya, ketika ia menuliskan bahwa “tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir- mengkafirkan” (halaman 248).


Sebuah ringkasan akhir dari bukunya adalah ia menyampaikan kesepakatan umum ulama’ bahwasanya, hendaknya dalam menyikapi soal aurat dan pakaian perempuan, seorang perempuan haruslah memiliki sikap, yaitu:

1. Tidak boleh ber-tabarruj, yakni berpakaian terbuka. Termasuk dalam kategori tabarruj, adalah tidak berhias berlebihan, berbicara dan berjalan dengan cara yang mengundang birahi, menampakkan yang biasanya atau seharusnya tidak ditampakkan, dan lainnya.

2. Hendaknya dalam berpakaian, seorang perempuan tidak berniat mengundang perhatian laki-laki.

3. Hendaknya kaum perempuan tidak memakai pakaian transparan.

4. Tidak memakai pakaian yang menyerupai laki-laki. Maksudnya dalam hal ini adalah bahwa bukannya perempuan dilarang memakai pakaian yang bisa dibuat sebagai pakaian laki-laki, namun dalam berpakaian, hendaknya tidak diniatkan untuk menyerupai laki-laki. Wallâhu a’lam bi al-shawâb. 

Disadur dari buku karya KH Quraisy Shihab yang berjudul Jilbab, Cetakan ke-4, tahun terbit 2009, Jumlah halaman: 275


Muhammad Syamsudin
Pembina Forum Kajian Fikih Kewanitaan dan Gender–Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jatim.