Syariah

Efisiensi di Tengah Ancaman Resesi dalam Perspektif Fiqih Maqashid

Kam, 27 Agustus 2020 | 16:00 WIB

Efisiensi di Tengah Ancaman Resesi dalam Perspektif Fiqih Maqashid

Ketidaktepatan pengelolaan anggaran, sehingga keluar dari mandat utama yang digariskan oleh qanun asasi, adalah sebuah pemborosan.

Maksud dari sumber daya dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan segala sesuatu yang mendukung pada terjadinya aktifitas produksi dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia, sebagai upaya mewujudkan terjadinya maslahah hajiyah (kemaslahatan primer) di tengah resesi ekonomi. Artinya, kondisi yang melatarbelakangi tulisan ini adalah bukan kondisi normal, melainkan kondisi yang dihimpit oleh faktor dlarurat li al-hajat (darurat kebutuhan) sebab resesi.

 

Resesi merupakan kondisi di mana pendapatan negara (GDP) berlangsung minus selama dua kuartal berturut-turut. Satu kuartal adalah tiga bulan, sehingga dua kuartal, adalah sama artinya dengan enam bulan. Kondisi minus menandakan antara kebutuhan belanja adalah lebih besar dari pendapatan.

 

Sebagai perimbangan dari kondisi darurat akibat resesi ini, sudah pasti mutlak diperlukan langkah penghematan / efisiensi terhadap sumber daya anggaran yang ada.

 

Sebagai gambaran dari kebutuhan efisiensi ini, misalnya masyarakat yang sebelumnya mendapatkan omzet penjualan dagangannya sebanyak 100%, namun dalam situasi new normal mereka dipaksa untuk menerima kenyataan pendapatannya turun hingga tersisa 50%. Secara tidak langsung, kondisi pendapatan meminta pedagang tersebut untuk mengetatkan ikat pinggangnya sehingga kebutuhan konsumsi dan belanja rumah tangga dapat dihemat. Yang penting “kebutuhan dasar”  rumah tangga tercukupi. Segala kebutuhan yang bersifat tambahan semata, berupa mewujudkan maslahah tahsiniyah (tersier), harus dikoreksi ulang dan disesuaikan.

 

Hal yang sama, juga berlaku pada negara dan rumah tangganya. Segala pengeluaran yang sebelumnya tidak memenuhi unsur mendorong pada terwujudnya maslahah hajiyah bagi warga negara, dan keluar dari kesan amanat dasar qanun asasi (UUD), menjadi mutlak untuk direview kembali. Misalnya, kebijakan penaikan gaji pegawai negeri dan aparatur negara, pemberlakuan gaji ke-13, kebijakan subsidi BBM, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, serta berbagai macam subsidi lainnya.

 

Semua ini menjadi mutlak membutuhkan usaha me-review kembali, mengingat secara teoritis yang dinamakan sebagai subsidi adalah bila pemberi subsidi tidak sedang dalam kondisi darurat pemasukan dan pengeluaran. Ibarat pepatah “lebih besar pasak daripada tiang,” kewajiban yang harus dipenuhi lebih besar dari hak yang didapatkan.

 

Dalam konteks pemikiran al-Mawardi, sudah barang tentu, bahwa kewajiban negara yang dimaksud di sini, adalah berkaitan dengan tugasnya dalam melaksanakan hirasatu al-din (penjagaan agama) dan melaksanakan himayah siyasati al-dunya (penjagaan politik duniawi). Sementara “hak negara” yang dimaksud adalah kesetimbangan posisi neraca pemasukan (income) dan pengeluaran (ekspenditur) untuk senantiasa dalam kondisi surplus, atau lebih tinggi dari nilai normal, sehingga nama baik (kewibawaan) aparatur negara juga terjaga.

 

Melazimkan subsidi kepada sektor yang tidak semestinya menerima, adalah sama artinya dengan membebani negara (pada umumnya) dan aparat negara (secara khusus) pada tugas yang di luar tanggung jawab dasarnya sebagai pelaksana undang-undang (qanun asasi). Amanat dasar undang-undang inilah yang seharusnya menjadi konsentrasi mereka seiring mandat mewujudkan kemaslahatan. Sebagaimana hal ini disinggung dalam sebuah qaidah fiqhiyah yang menyatakan:

 

تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة

 

“Manajemen pemimpin terhadap yang dipimpin adalah berorientasi pada mandat mewujudkan maslahah.”

 

Pertanyaannya, bagaimana cara mengenali maslahah tersebut, sementara negara terancam resesi? Ini adalah pokok permasalahannya.

 

Seorang pemimpin bekerja dan bertindak senantiasa mengacu pada akad dasar pengangkatannya. Dalam konteks ini, dasar pengangkatan itu merupakan ibarat kata baiat yang disampaikan lewat sumpah jabatan. Dalam konteks Indonesia, sumpah jabatan seorang pemimpin adalah selain mengatasnamakan Allah SWT (baca: agama), mereka juga dibaiat untuk melaksanakan hasil kesepakatan bersama sebagaimana tertuang dalam Dasar Negara Indonesia, yakni Pancasila dan UUD 1945.

 

Dasar negara Pancasila dan UUD 1945 ini merupakan acuan utama mengenali kemaslahatan setelah agama yang dianut oleh Sang Pemimpin. Kemaslahatan yang berbasis qanun asasi dan wajib dilaksanakan oleh pemimpin semacam ini, dapat kita kategorikan sebagai maslahah mursalah, yaitu hikmah kemaslahatan diangkatnya pemimpin bagi Indonesia.

 

Maslahah mursalah bagi seorang pemimpin dibagi menjadi tiga, yaitu 1) maslahah yang sifatnya mu’tabarah, 2) maslahah yang sifatnya ‘Ammah, dan 3) maslahah khasshah. Di luar ketiga konsep kemaslahatan ini, maka termasuk maslahah yang sifatnya mulgha (maslahah yang bisa diabaikan).

 

Maslahah mu’tabarah merupakan maslahah yang memiliki landasan kuat dari dalil nash dan ijma’, serta qiyas. Dalam konteks negara, maslahah mu’tabarah ini bisa diketahui dari sisi agama, kultur dan budaya masyarakat. Misalnya, menjaga kerukunan, dan sejenisnya.

 

Maslahah ‘ammah merupakan maslahah yang menyangkut kepentingan umum masyarakat. Misalnya, dalam teks Pembukaan UUD 1945, disampaikan sejumlah poin utama tujuan bernegara, seperti kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia, menjaga perdamaian abadi, dan keadilan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya. Termasuk poin penting maslahah ‘ammah dalam konteks Indonesia adalah menjalankan sila-sila Pancasila secara murni dan konsekuen.

 

Maslahah khasshah, merupakan maslahah yang ada dalam pengertian khusus, sehingga mutlak diperhatikan sebab tidak mungkin diabaikan. Misalnya, dalam konteks qanun asasi Indonesia adalah negara menjamin pelaksanaan kehidupan beragama dan kepercayaan masyarakatnya, kekayaan alam dan segala isinya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, dan sejenisnya.

 

Dengan adanya maslahah yang bersifat khusus ini, mensyaratkan negara untuk menyediakan sebuah sistem manajemen khusus untuk mengurusinya, yang kemudian direalisasikan dalam bentuk kementerian-kementerian, kepala daerah, kepala kecamatan, kantor-kantor dinas dan sejenisnya. Ruang operasionalnya adalah menangani wilayah khusus itu yang tidak bisa ditangani oleh orang per orang, melainkan harus melalui sebuah rangkaian sistem manajerial.

 

Tujuan dari sistem manajerial, sudah pasti adalah efisiensi pengelolaan. Jika tidak efisien, sehingga keluar jalur dari amanat yang tertera dalam Undang-Undang dan menghasilkan income yang lebih kecil dari pengeluaran negara, mengindikasikan telah terjadi inefesiensi (pemborosan anggaran) dalam mewujudkan maslahah khusus ini.

 

Maslahah mulgha adalah maslahah yang bisa diabaikan disebabkan tidak tersurat atau tersirat dalam nash atau qanun asasi, sehingga sama sekali tidak memiliki dasar cantolan kuat. Andaikata ada dasar cantolan, namun manfaatnya tidak seimbang dengan risiko kerugian (dlarar) yang ditimbulkan, atau bahkan justru memberatkan pihak aparat yang melaksanakan sehingga timbul masyaqah (kesulitan). Dan ini tidak dikehendaki oleh syariat Islam. Misalnya, kebijakan subsidi.

 

Jika kita telusuri dalam ranah fiqih, “subsidi” merupakan cabang dari tolong menolong (ta’awun), hibah, shadaqah, qardl (utang-piutang) atau bahkan khidmah.  Kelima hal ini, dalam konteks fiqih, adalah masuk akad jaizah (boleh) sehingga bukan merupakan akad yang berbasis kelaziman (mengikat). Menempatkan kelimanya sebagai akad kelaziman, justru memiliki  efek negatif yang tidak mendidik terhadap pihak yang diberi pertolongan, sedekah, hibah, pinjaman, dan sejenisnya.

 

Mengapa? Sebab, pertolongan yang dilazimkan akan memiliki efek domino berupa ketergantungan. Itu sebabnya, di dalam syariat, diperkenalkan adanya akad qiradl, gadai (rahn), musaqah, muzara’ah, mukhabarah, yang masing-masing tujuan dasarnya (secara adab) adalah pendidikan bagi pihak yang dibantu sehingga hilang sifat ketergantungan. Ini semua adalah bergerak dalam ruang yang pada prinsipnya (pokok).

 

Oleh karena itu, subsidi adalah termasuk maslahah yang sifatnya bisa menjadi mulgha, sebab ketiadaan tertuang secara manthuq (makna literal) dalam qanun asasi, melainkan ia tertuang dalam makna mafhum (tersirat). Subsidi hanya akan menjadi maslahah khasshah, manakala hal itu disalurkan pada pihak yang diamanatkan dalam Undang-Undang. Misalnya, subsidi pendidikan untuk anak terlantar, dan sejenisnya.

 

Inilah maksud dari efisiensi sumber daya dalam tema tulisan ini. Alhasil, efisiensi sumber daya itu adalah bermakna sebagai pengelolaan sumber daya sehingga tepat sasaran. Ketepatan penyaluran menjadikan anggaran itu menjadi berhasil guna dan bernilai guna. Ketidaktepatan pengelolaannya, sehingga keluar dari mandat utama yang digariskan oleh qanun asasi, adalah sebuah pemborosan. Dalam seloroh santri, la yamutu wa la yahya, tidak bermutu banyak biaya. Hematlah, bro!!

 

Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur; Peneliti Bidang Ekonomi Syariah di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur