Syariah

Fiqih Wanita: Darah Haid dan Dasar Istiqra’

Sel, 29 Agustus 2023 | 16:00 WIB

Fiqih Wanita: Darah Haid dan Dasar Istiqra’

Fiqih Wanita: Darah Haid dan Dasar Istiqra’. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Salah satu persoalan yang rumit bagi wanita adalah persoalan tentang haid/menstruasi. Wanita yang sedang menstruasi harus benar-benar berhati-hati dalam menentukan darahnya, sebab bisa jadi darah yang keluar tidak berupa haid, namun istihadhah ataupun sebaliknya. Dua darah inilah yang paling sering keluar dari kemaluan wanita.


Ketika sedang haid, wanita tidak diperkenankan untuk mengerjakan ibadah-ibadah yang diperbolehkan bagi wanita yang tidak haid, seperti shalat, puasa, menyentuh dan membawa Al-Qur’an, thawaf, termasuk juga berhubungan badan dengan suami. Sedangkan wanita yang sedang istihadhah hukumnya sama seperti wanita pada umumnya. Ia tetap diwajibkan shalat, puasa, boleh menyentuh, membawa, dan membaca Al-Qur’an, dan lainnya.


Berkaitan dengan hal ini, Allah swt melarang semua manusia untuk menjauhi (tidak berinteraksi) wanita yang sedang haid hingga mereka bersuci dari hadats besarnya tersebut. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:


وَيَسْأَلونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذىً فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ


Artinya, “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu, jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” (QS Al-Baqarah [2]: 222).


Oleh karena itu, para ulama menciptakan sebuah rumusan yang sangat detail dan rinci perihal ketentuan haid, mulai dari ketentuan darah, masa, dan sifat-sifatnya. Misalnya, ulama kalangan mazhab Syafi’iyah merumuskan bahwa paling sedikitnya darah haid adalah 24 jam atau satu hari satu malam jika darah keluar terus-menerus. Umumnya adalah 6 hingga 7 hari, dan paling banyaknya yaitu 15 hari.


Rumusan-rumusan para ulama perihal waktu dan masa haid tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Imam ar-Rafi’i (wafat 623 H) dalam salah satu karyanya, berasal dari hasil observasi (istiqra’) para ulama kepada wanita-wanita di masa itu tentang kebiasaan haidnya. Para ulama berkelana untuk bertanya perihal kebiasaan wanita yang mengalami pendarahan, dengan tujuan untuk menarik sebuah konklusi hukum yang universal tentang darah haid.


Setelah melakukan observasi tentang kebiasaan wanita selama mengalami pendarahan, maka muncullah rumusan haid sebagaimana yang telah diterapkan dan ditetapkan hingga saat ini. Nah, ini kemudian dikenal dengan istilah istiqra’,


ومستند هذه التقديرات الوجود المعلوم بالاستقراء يعني ما ذكرنا ان المتبع في سن الحيض والاقل والاكثر ما وجد من عادات النساء بعد البحث الشافي فاعتمدنا ذلك واتبعناه


Artinya, “Adapun landasan ketentuan ini (ketentuan masa haid) yaitu berdasarkan keberadaan yang sudah diketahui dengan cara observasi. Maksudnya, apa yang telah dijelaskan (tentang mamsa haid) bahwa yang diikuti dalam menentukan masa haid, mulai dari paling sedikit hingga paling banyaknya, itu adalah apa yang telah ditemukan dari kebiasaan-kebiasaan wanita setelah pembahasan yang pasti, kemudian (kebiasaan itu) kami jadikan pedoman dan kami ikuti.” (Imam ar-Rafi’i, Fathul Aziz bi Syarhil Wajiz, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz II, halaman 414).


Dengan rumusan ini, para ulama mazhab Syafi’iyah kemudian menyimpulkan bahwa jika ada wanita yang mengalami pendarahan kurang dari 24 jam, atau lebih banyak dari 15 hari, maka sudah dipastikan bahwa darah tersebut bukanlah darah haid, akan tetapi istihadhah, sehingga semua kewajiban ibadahnya harus tetap ia lakukan.


Imam Abdurrahman Jalaluddin as-Suyuthi (wafat 911 H) dalam salah satu karyanya menjelaskan bahwa rumusan ulama mazhab Syafi’iyah perihal metodologi penentuan masa, waktu, umur wanita haid yang berdasarkan istiqra’ di atas adalah berlandaskan salah satu kaidah fiqih, bahwa adah (kebiasaan) bisa dijadikan patokan dalam menentukan suatu hukum (al-‘adah muhakkamah).


Kaidah fiqih tentang kebolehan menjadikan adat sebagai pijakan hukum di atas, berdasarkan salah satu perkataan Ibnu Mas’ud, bahwa apa saja yang dinilai baik oleh umat Islam, maka Allah juga menilainya sebagai kebaikan,


مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ


Artinya, “Apa saja yang dinilai baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah juga bernilai baik.” (Imam as-Suyuthi, al-Asybah wan Nazhair, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1990], juz I, halaman 128).


Demikian penjelasan perihal darah haid dan dasar istiqra’ dalam menentukan darah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.