Syariah

Hukum Shalat ketika Darah Istihadhah Tembus Pembalut

Sel, 1 November 2022 | 13:00 WIB

Hukum Shalat ketika Darah Istihadhah Tembus Pembalut

Perempuan istihadhah dapat mengikuti ketentuan khusus perihal tata cara shalat

Wanita yang sedang istihadhah tetap diwajibkan shalat sebagaimana wanita suci pada umumnya. Sebab, status darah tersebut hanyalah darah penyakit yang tidak menggugurkan kewajiban shalat. Praktiknya, dengan cara membersihkan kemaluannya, kemudian menyumbat dan membalut kemaluannya, setelah itu wudhu dan shalat. Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian agar shalat yang notabenenya ibadah kepada Allah swt selalu dilaksanakan dalam keadaan suci dan terhindar dari najis.


Kendati demikian, dalam beberapa keadaan kerap kali ditemukan darah tetap tembus keluar setelah upaya penyumbatan dan pembalutan itu ia lakukan, tentu hal ini menjadi penyebab bingung baginya yang hendak mengerjakan shalat. Sebab, di satu sisi ia dituntut untuk mempercepat shalatnya, sementara di sisi yang lain ada najis dalam dirinya. Lantas, apakah status darah istihadhah yang tembus keluar seperti dalam kejadian ini? Mari kita bahas.


Syekh Ahmad bin Muhammad bin Ali atau yang lebih masyhur dengan nama Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya menjelaskan bahwa darah istihadhah yang keluar setelah kemaluan wanita ditutup dan dibalut hukumnya tidak berbahaya. Artinya, ia tidak perlu membersihkan ulang, tidak pula harus menutup dan membalutnya kembali. Imam Ibnu Hajar mengatakan:


وَلَا يَضُرُّ خُرُوجُ دَمٍ بَعْدَ الْعَصْبِ إلَّا إنْ كَانَ لِتَقْصِيرٍ فِي الشَّدِّ


Artinya, “Tidak berbahaya keluarnya darah setelah menyumbat (kemaluan), kecuali karena sembrono dalam menutupnya.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Mesir, Maktabah at-Tijariyah Kubra: 1983], juz I, halaman 395).


Pendapat senada juga disampaikan oleh Syekh Sulaiman al-Bujairami al-Mishri dalam kitab Hasiyah al-Bujairami ‘alal Khatib, Syekh Zakaria al-Anshari dalam kitab Fathul Wahhab, Syekh Sulaiman al-Jamal dalam kitab Hasiyah al-Jamal, dan beberapa ulama lainnya, yang mengatakan bahwa darah yang tembus keluar setelah adanya upaya penyumbatan tidak berbahaya, dan wanita istihadhah boleh langsung wudhu untuk shalat, dengan syarat tembusnya darah tersebut tidak karena sembrono dalam menyumbatnya,


وَلَوْ خَرَجَ الدَّمُ بَعْدَ الْعَصَبِ لِكَثْرَتِهِ لَمْ يَضُرَّ أَوْ لِتَقْصِيرِهَا فِيهِ ضَرَّ


Artinya, “Jika darah (istihadhah) keluar setelah menyumbat (kemaluan) karena banyaknya (darah), maka tidak berbahaya. Atau, jika keluarnya karena sembrono maka berbahaya.” (Syekh Bujairami, Hasiyah al-Bujairami ‘alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], juz III, halaman 216. Syekh Zakarian al-Anshari, Fathul Wahab, I/50. Sulaiman al-Jamal, Futuhah al-Wahab, I/243).


Sementara itu, para ulama berbeda pendapat perihal status ma’fu (dimaafkan) dan tidaknya darah istihadhah. Imam Ibnu Hajar al-Maki dan Ibnu ar-Rif’ah mengatakan bahwa darah istihadhah hukumnya ma’fu, baik sedikit atau banyak. Sedangkan Imam Ramli al-Mishri dam Imam an-Nasya’i mengatakan ma’fu jika darahnya sedikit dan tidak ma’fu jika darahnya banyak.


Namun demikian, yang dimaksud ma’fu dalam pembahasan ini adalah hanya untuk shalat yang sedang ia hadapi saja, selebihnya ia wajib mengulangi basuhan dan membersihkan atau memperbaharui pembalutnya kembali.


Contoh: wanita istihadhah hendak mengerjakan shalat Zhuhur, kemudian ia membersihkan dan menyumbat kemaluannya, namun setelah itu darahnya masih keluar, maka darah yang keluar ini hukumnya ma’fu hanya untuk shalat Dzuhur saja, sedangkan untuk shalat Ashar, Maghrib, Isya dan seterusnya, ia wajib untuk membersihkannya kembali. Syekh Sulaiman al-Jamal dalam kitabnya mengatakan:


وَقَوْلُهُ بِالنِّسْبَةِ لِتِلْكَ الصَّلَاةِ خَاصَّةً، وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِلصَّلَاةِ الْآتِيَةِ فَيَجِبُ غَسْلُهُ وَغَسْلُ الْعِصَابَةِ أَوْ تَجْدِيدُهَا بِحَسَبِ الْإِمْكَانِ


Artinya, “Perkataan mushannif (perihal darah istihadhah yang dima’fu) hanya untuk shalat yang akan dihadapinya saja, sedangkan untuk shalat setelahnya, maka ia wajib untuk membasuh kemaluannya, membasuh pembalut atau memperbaharuinya sesuai kemampuannya.” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Futuhat al-Wahab bi Taudhihi Syarhi Minhaj at-Thullab, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz I, halaman 242).


Simpulan, darah istihadhah yang keluar setelah wanita berusaha untuk menyumbatnya tidaklah berpengaruh apa-apa. Ia boleh langsung wudhu kemudian shalat. Sedangkan status ma’fu dan tidaknya darah istihadhah masih memiliki perbedaan pendapat, jika sedikit, maka para ulama sepakat mengatakan ma’fu, dan jika banyak maka ma’fu menurut Ibnu Hajar al-Maki, dan tidak ma’fu menurut Imam Ramli al-Mishri. Wallahu a’lam.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur