Syariah

Hak Waris Anak di Luar Nikah: Status Nasab, Aturan Fiqih, dan Peluang Mendapat Harta Ayah Menurut Islam dan Hukum

NU Online  ·  Selasa, 13 Mei 2025 | 13:00 WIB

Hak Waris Anak di Luar Nikah: Status Nasab, Aturan Fiqih, dan Peluang Mendapat Harta Ayah Menurut Islam dan Hukum

Hak waris anak di luar nikah

Di balik tangis pertama anak buah cinta kedua orang tuanya, tersimpan harapan masa depan, hak yang harus dijaga dan amanah dari Sang Pencipta. Anak, bagaimanapun kehadirannya di dunia adalah amanah dan karunia dari Yang Maha Kuasa. Ia lahir bukan membawa dosa, melainkan takdir yang telah digariskan oleh Sang Pencipta.
 

Namun, tidak semua anak menyambut dunia dengan status yang diterima masyarakat. Anak yang lahir di luar ikatan pernikahan seringkali menghadapi stigma, bahkan hingga urusan yang sangat prinsipil dalam Islam yakni hak waris.
 

Pertanyaannya kemudian, bagaimana kedudukan mereka dalam hukum waris? Apakah mereka memiliki hak atas harta peninggalan ayahnya? Ataukah status "di luar nikah" menghalangi mereka dari apa yang secara manusiawi tampak sebagai hak yang wajar diterimanya? 
 

Maksud Anak di Luar Nikah

Anak di luar nikah menurut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 tetap memiliki hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Putusan MK tersebut dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya pada Jumat (17/2) di Ruang Sidang Pleno MK.
 

Keputusan MK tersebut merupakan perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 43 ayat (1). Keputusan MK ini menuai pro kontra di masyarakat, akademisi dan ormas. Mereka yang tidak setuju menilai bahwa keputusan MK tersebut telah mengubah syari’at Islam, melanggar ajaran Islam, dan mengubah tatanan kehidupan umat Islam yang selama ini berlaku, yakni tentang status anak di luar nikah status nasabnya sama dengan anak dalam pernikahan yang sah, yaitu kepada laki-laki yang menikahi ibunya.
 

Anak di Luar Nikah Menurut NU

Sebagai respon atas permasalahan ini PBNU membahasnya dalam forum Munas Alim Ulama NU di Lombok pada akhir tahun 2017. 
 

Munas Alim Ulama NU dalam rumusan hukum fiqih mengenai masalah ini memerinci hukumnya: 

  1. Jika perempuan yang hamil itu dinikahi secara syar’i yakni dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syarat dan rukunnya, maka berlaku hukum nasab, wali, waris, dan nafkah.
  2. Jika perempuan yang hamil itu tidak dinikahi secara syar’i, maka ada tafsil (rinci):(1) Jika anak (janin) tersebut lahir pada saat ibunya belum dinikahi siapapun, maka anak itu bernasab kepada ibunya saja;

    (2) jika anak tersebut lahir setelah ibunya dinikahi baik oleh ayah biologisnya atau orang lain, di sini ada tafsil: (a) jika (janin) lahir lebih dari 6 bulan (dari akad nikah), maka nasab anak itu jatuh kepada suami ibunya; tetapi (b) jika lahir kurang dari 6 bulan (akad nikah), maka anak itu tidak bisa bernasab kepada suami ibunya. 


Jawaban tersebut didasarkan pada penjelasan Imam Al-Mawardi dalam Al-Hawi Al-Kabir, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 1994], juz VIII, halaman 162.
 

Singkatnya, dalam pandangan fiqih mazhab Syafi’i, anak yang dilahirkan kurang dari enam bulan sejak akad nikah, meskipun ayah biologisnya adalah laki-laki yang menikahi ibunya, nasab anak tersebut secara syar'i tidak dapat dinisbatkan kepadanya, melainkan hanya kepada sang ibu. 
 

Konsekuensi dari ketidakabsahan penetapan nasab anak di luar nikah kepada ayah biologisnya adalah anak tersebut tidak berhak menerima warisan dari pihak ayah maupun kerabat ayah. Namun, ia tetap memiliki hak waris dari ibunya dan kerabat dari jalur ibu, karena hubungan nasab dengan ibunya diakui dan tidak diragukan. Berikut ini keterangan selengkapnya:
 

الْبَابُ السَّابِعُ: فِي مِيرَاثِ وَلَدِ الزِّنَا) وَوَلَدِ الْمُلَاعَنَةِ (وَالْمَجُوسِ وَلَدُ الزِّنَا لَا يُسْتَلْحَقُ) فَلَوْ اُسْتُلْحِقَ لَمْ يَلْحَقْ (بِخِلَافِ الْوَلَدِ الْمُلَاعَنِ عَلَيْهِ) يُسْتَلْحَقُ فَيَلْحَقُ (وَإِنْ كَانَ) ثَمَّ (تَوْأَمَانِ وَلَوْ مِنْ الْمُلَاعَنَةِ لَمْ يَتَوَارَثَا) الْمُرَادُ لَا تَوَارُثَ بَيْنَهُمَا وَلَا بَيْنَ كُلٍّ مِنْهُمَا وَبَيْنَ الزَّانِي وَالنَّافِي وَكُلِّ مَنْ أَدْلَى بِهِمَا لِانْقِطَاعِ النَّسَبِ بَيْنَهُمَا (إلَّا بِقَرَابَةِ الْأُمِّ) فَيَتَوَارَثَانِ وَيَرِثُ كُلٌّ مِنْهُمَا الْأُمَّ وَبِالْعَكْسِ بِقَرَابَتِهِمَا لِثُبُوتِ النَّسَبِ مِنْهَا (وَلَا عَصَبَةَ لَهُ) أَيْ لِكُلٍّ مِنْ وَلَدِ الزِّنَا وَوَلَدِ الْمُلَاعَنَةِ لِانْقِطَاعِ نَسَبِهِ مِنْ الْأَبِ
 

Artinya, “Bab Ketujuh: Tentang Warisan Anak Zina, Anak Li‘ān, dan Anak Majusi. Anak zina tidak dapat dinasabkan (diakui nasabnya) kepada ayahnya. Jika pun ada upaya untuk menasabkan, nasab tersebut tidak sah.

Beda halnya dengan anak hasil li‘an, ia tetap dapat dinasabkan kembali kepada ayahnya jika terdapat pengakuan yang sah.
 

Jika terdapat dua anak kembar, bahkan jika keduanya hasil dari li‘an, maka keduanya tidak saling mewarisi.
 

Yang dimaksud di sini adalah tidak ada pewarisan antara keduanya, dan tidak pula antara masing-masing dari mereka dengan laki-laki yang berzina atau yang menafikan, maupun dengan siapa saja yang menisbatkan nasab melalui jalur ayah, karena hubungan nasab mereka telah terputus.
 

Kecuali melalui hubungan kekerabatan dari ibu, maka mereka dapat saling mewarisi, juga dapat mewarisi dari ibunya dan sebaliknya, karena nasab dari jalur ibu adalah sah dan diakui.
 

Ia tidak mendapat waris ‘ashabah, yakni baik anak zina maupun anak hasil li‘an, karena nasab mereka dari pihak ayah terputus.” (Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, [Beirut, Dar Kutub Islami], juz III, halaman 20).
 

Syekh Wahbah Az-Zuhaili (wafat 2015) menyatakan bahwa ketentuan anak hasil zina tidak dapat menerima warisan dari ayahnya adalah pendapat ijma ulama.  
 

وكل من ولد الزنا وولد اللعان: لا توارث بينه وبين أبيه وقرابة أبيه بالإجماع، وإنما يرث بجهة الأم فقط؛ لأن نسبه من جهة الأب منقطع، فلا يرث به، ومن جهة الأم ثابت، فنسبه لأمه قطعاً؛ لأن الشرع لم يعتبر الزنا طريقاً مشروعاً لإثبات النسب، ولأن ولد اللعان لم يثبت نسبه من أبيه. فيرث كل منهما عند الأئمة الأربعة من أمه وقرابتها، وهم الإخوة لأم بالفرض لا غير، وترث منه أمه وإخوته من أمه فرضاً لا غير؛ لأن صلته بأمه مؤكدة لا شك فيها
 

Artinya, "Setiap anak zina dan anak li‘an mereka tidak saling mewarisi dengan ayahnya maupun kerabat dari pihak ayah, berdasarkan ijma‘. Mereka hanya mewarisi melalui jalur ibu saja. Hal ini karena nasab dari pihak ayah terputus, sehingga ia tidak dapat mewarisi dari jalur tersebut, sementara dari pihak ibu nasabnya tetap, maka nasabnya kepada ibu adalah pasti.
 

Sebab, syariat tidak mengakui zina sebagai cara yang sah untuk menetapkan nasab, dan karena anak hasil li‘an juga tidak ditetapkan nasabnya kepada ayah.
 

Menurut imam empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali), baik anak hasil zina maupun anak hasil li‘an mewarisi dari ibunya dan kerabat ibu hanya melalui waris fard tidak yang lain.
 

Begitu pula, ibu dan saudara-saudara ibu dapat mewarisi dari anak tersebut juga hanya melalui waris fard, karena hubungan anak ini dengan ibunya adalah hubungan yang pasti dan tidak diragukan." (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, juz X, halaman 7905).
 

Penjelasan di atas didasarkan pada hadits Nabi saw: 
 

أَيُّمَا رَجُلٍ عَاهَرَ بِحُرَّةٍ أَوْ أَمَةٍ فَالْوَلَدُ وُلَدُ زِنًا لَا يَرِثُ وَلَا يُورَثُ
 

Artinya, "Siapapun laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan merdeka ataupun budak, maka anak yang lahir adalah anak zina. Ia tidak mewarisi dan tidak diwarisi." (HR At-Tirmidzi). 
 

Walhasil, anak yang lahir di luar nikah, dalam arti lahir kurang dari enam bulan setelah pernikahan yang sah, secara nasab tidak dapat dikaitkan kepada ayahnya, melainkan hanya kepada ibunya. Konsekuensinya, anak tersebut tidak memiliki hak waris dari ayahnya. Ia hanya berhak mewarisi dari ibunya atau dari kerabat pihak ibu.
 

2 Cara Anak di Luar Nikah Mendapatkan Harta Ayah Biologisnya

Meskipun demikian, masih ada kemungkinan bagi anak tersebut untuk memperoleh bagian dari harta ayahnya melalui dua cara:

  1. hibah yang diberikan secara langsung oleh ayahnya semasa hidup; atau
  2. wasiat wajibah, yaitu wasiat yang diberikan kepada orang tua atau kerabat yang terhalang dari hak waris karena suatu sebab.


Wasiat wajibah sebenarnya bukan merupakan pendapat mayoritas ulama. Ini adalah pendapat sebagian ulama dari mazhab Hanbali. Adapun menurut jumhur ulama, hukum wasiat adalah sunah, bukan wajib.
 

Namun, pendapat sebagian ulama Hanbali ini kemudian diadopsi dalam sistem hukum positif di negara Mesir dan Suriah. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaili sebagai berikut:
 

بُيِّنَتْ أَنَّ الوَصِيَّةَ لِلأَقَارِبِ مُسْتَحبَّةٌ عِنْدَ الجُمْهُور مِنْهُمْ أَئِمَّةُ المَذَاهِبِ الأَرْبَعَةِ وَلاَ تَجِبُ عَلَى الشَّخْصٍ إِلاَّ بِحَقٍّ للهِ أَوْ لِلْعِبَادِ. وَيَرَى بَعضُ الفُقَهَاءِ كَابْنِ حَزْمٍ الظَّاهِرِى وَأَبِى بَكْرٍ بْنِ عَبْدِ العَزِيْز مِنَ الحَنَابِلَةِ: أَنَّ الْوَصِيَّةَ وَاجِبَةٌ دِيَانَةٌ وَقَضَاءٌ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِيْنَ الذِيْنَ لاَ يَرِثُونَ لِحَجْبِهِمْ عَنِ المِيْرَاث… إِلَى أنْ قَالَ: وَقَدْ أَخَذَ القَانُونُ المِصْرِ وَالسُّوْرِىِّ بِالرَّأيِ الثَانِى
 

Artinya, "Dan telah dijelaskan bahwa wasiat kepada kerabat itu adalah disunahkan menurut jumhur ulama. Di antara mereka itu adalah para Imam Empat Mazhab. Wasiat itu tidak wajib bagi seseorang kecuali sebab hak dari Allah atau bagi para para hamba Allah.
 

Sebagian ahli fiqih, seperti Ibnu Hazm, Ad-Dhahiri, At-Thabari, dan Abu Bakar bin Abdil Aziz dari ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa wasiat itu adalah kewajiban agama dan pembayaran kewajiban bagi kedua orang tua dan para kerabat yang tidak dapat karena terhalang dari mewarisi —Undang-undang Mesir dan Suriah telah mengambil pendapat yang kedua." (Al-Fiqhul Islami, X/7563). Wallahu a'lam.
 


Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo