Syariah

Halal Haram Bulus untuk Kosmetik dan Kuliner Ekstrem

Sab, 2 Maret 2024 | 10:00 WIB

Halal Haram Bulus untuk Kosmetik dan Kuliner Ekstrem

Ilustrasi halal haram bulus untuk kosmetik dan kuliner ekstrim. (Ahmad Muntaha AM - NU Online)

Minyak bulus atau labi-labi dikenal sebagai bahan kosmetik untuk keindahan kulit, sedangkan dagingnya dimanfaatkan untuk diolah menjadi masakan di berbagai daerah. Meskipun banyak dijumpai di daerah yang bersungai, bulus dianggap sebagai satwa yang jarang ditemui di daerah lainnya. Karena itu, mulai ada pihak-pihak yang peduli dengan kelestariannya.
 

Di daerah tertentu, daging bulus dijadikan masakan dan dijajakan bersama dengan kuliner ekstrim lainnya. Ketika masyarakat muslim melihat masakan olahan daging bulus, sering timbul pertanyaan tentang status kehalalannya. Apalagi, warung yang menjajakannya biasanya juga mengolah beberapa daging hewan eksotik selain bulus untuk dinikmati para pecinta kuliner.

 

Banyak masyarakat yang masih mengira bulus dan kura-kura adalah hewan yang sama. Sejak dulu perdebatan status kehalalan bulus dalam mazhab Syafi’i juga mengemuka. Karena itu, salah satu ulama dari Nusantara membahas salah paham tentang hal ini di dalam kitabnya yang berjudul ‘Aisyul Bahr. Beliau adalah Kiai Anwar yang berasal dari Batang dan bermazhab Syafi’i.

 

Di dalam kitab tersebut, Kiai Anwar menuliskan perdebatan tentang anggapan orang yang salah terhadap keharaman bulus sebagai berikut:
 


إِنْتَشَرَالْقَوْلُ بِتَحْرِيْمِهِ إِلَى أَمَا كِنَ بَعِيْدَةٍ وَلَمْ يَذْكُرْدَلِيْلاًعَلَيْهِ فَصَارَ الْعَوَامُ فِي تَحْرِيْمِهِ مُقَلِّدِيْنَ لِلْقَا ئِلِ بِتَحْرِيْمِهِ اَبَدًا وَلَكِنْ حِكَايَةُ تَحْرِيْمِهِ مُجَرَّدُالْقَوْلِ فَقَطْ

Artinya: “Telah tersebar ucapan keharaman bulus ke berbagai tempat yang jauh padahal tidak disertai dengan dalil keharamannya itu sehingga jadilah orang awam mengharamkan bulus. Anggapan keharaman itu hanya bertaqlid pada orang yang mengucapkan keharaman bulus selamanya. Namun, cerita tentang keharaman bulus itu hanya berupa suatu omongan (yang tidak berdasar).” (Anwar, ‘Aisyul Bahr fi Bayanil Hayawan Alladzi La Ya’isyu illa fil Bahr walladzi Ya’isyu fil Barri wal Bahr, tanpa tahun, halaman 8).


Anggapan masyarakat terhadap larangan mengonsumsi bulus berdasarkan pada pendapat beberapa ulama yang mengelompokkannya ke jenis kura-kura. Pendapat ini tersebar di tengah-tengah masyarakat tanpa adanya bukti ilmiah dan observasi penelitian lebih lanjut oleh ahlinya.

 

Kiai Anwar menggunakan istilah bahasa Jawa ketika menjelaskan beberapa hewan yang tidak ditemui bahasanya di dunia Arab. Sebagai contoh, kata Al-Bulus digunakan ketika menjelaskan hukum mengonsumsi bulus itu sendiri. Sebagai perbandingan, beliau menyandingkan istilah Al-Bulus dengan suhlafah, yaitu kura-kura dalam bahasa Arab, dan menyimpulkan bahwa keduanya berbeda.

 

Menurut Kiai Anwar, bulus sekilas memang mirip dengan kura-kura, tetapi ada perbedaan pada bagian punggung atau tempurungnya. Tempurung bulus cenderung lunak, polos, dan lebih landai dibandingkan dengan tempurung kura-kura yang berpola dengan garis, keras, serta melengkung tinggi. Untuk memudahkan penggambaran. Beliau menjelaskan bahwa kerasnya tempurung kura-kura tidak akan tembus jika ditusuk dengan besi, sedangkan tempurung lunak bulus dapat ditembus dengan tombak besi.





Keterangan:
Figure 1 : Kura-kura
Figure 2 : Bulus (Amida Cartilaginea)
 

Perbedaan yang diungkapkan oleh Kiai Anwar relevan dengan penelitian dari departemen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penelitian itu memberikan gambaran contoh kura-kura dan bulus dengan gambar yang berbeda dan ternyata sesuai dengan deskripsi Kiai Anwar. Contoh kura-kura ada pada gambar (Figure 1), sedangkan contoh bulus ada pada gambar (Figure 2). (Mustafa et al, 2019, Comparative Anatomy of Axial Skeleton of Red-eared Turtle (Trachemys scripta elegans, Wied 1838) and Softshell Turtle (Amyda cartilaginea, Boddaert 1770), Proc. Internat. Conf.Sci. Engin., Volume 2, halaman 97-100).

 

Berdasarkan gambar tersebut, contoh kura-kura dalam kehidupan sehari-hari yang mudah ditemui adalah kura-kura Brazil di tempat penjualan ikan hias. Kura-kura Brazil maupun kura-kura bertelinga merah (Trachemys scripta elegans) sama-sama bertempurung keras. Kerasnya tempurung kura-kura itu karena terdiri dari susunan tulang keras yang murni.

 

Labi-labi atau bulus yang menjadi contoh pada gambar di atas memiliki nama latin Amida cartilaginea. Tempurung bulus memiliki komponen jaringan tulang lunak sehingga tidak keras seperti kura-kura. Penelitian itu membuktikan bahwa kura-kura bertelinga merah dan bulus adalah dua tipe hewan yang berbeda secara fisik.

 

Meskipun mirip dengan kura-kura, bulus hanya hidup di air dan terkadang beralih ke darat sebentar saja. Berbeda halnya dengan kura-kura yang bisa bertahan lama hidup di darat maupun air.Karena itu, bulus halal untuk dikonsumsi masyarakat muslim.

 

Pendapat Kiai Anwar itu disampaikan untuk merespon persepsi sebagian masyarakat di daerah pesisir yang menganggap bahwa bulus haram untuk dikonsumsi. Pemikiran masyarakat itu didasarkan atas asumsi atau dugaan meskipun sebagian kalangan menganggapnya sebagai taklid atau mengikuti pendapat sebagian ulama. Asumsi tanpa bukti inilah yang dibantah oleh Kiai Anwar berdasarkan penelitiannya.

 

Ada dua pendapat mengonsumsi bulus pada mazhab-mazhab yang terkenal. Sebagian besar ulama dari Mazhab Maliki dan Hambali meyakini kehalalan bulus. Pendapat ulama dari kedua mazhab itu sama dengan pemikiran Kiai Anwar yang telah meneliti dan membuktikan bahwa bulus adalah hewan air dan tidak hidup di darat. Kkarena itu, hewan ini biasa dikonsumsi oleh masyarakat pesisir.

 

Berbeda halnya dengan kura-kura atau suhlafah yang dapat bertahan lama hidup di darat. Karena resiko dari makanannya yang beragam, daging kura-kura dianggap menjijikkan dan berbahaya. Karena itu, kura-kura diharamkan oleh para ulama dari Mazhab Syafi’i (Yasin Asymuni, Tahqiqul Hayawan, [Kediri, Pesantren Hidayatut Thullab: 2007, halaman 128).

 

Pada masa kini, pola konsumsi terhadap daging bulus bisa dikaitkan dengan lifestyle atau gaya hidup sehingga ada yang menganggapnya kuliner ekstrim. Sayangnya, status bulus yang sebenarnya halal kembali rentan karena faktor teknis pengolahan di tempat kuliner tersebut disajikan. Ada tempat kuliner bulus yang ternyata juga menyajikan biawak dan celeng atau babi hutan. 

 

Problem yang muncul ketika penyedia kuliner bulus juga menyajikan olahan haram dari biawak maupun celeng adalah adanya kemungkinan kontaminasi pada peralatan yang digunakan. Sulit untuk menjamin bahwa bulus di warung tersebut dimasak dengan peralatan dan sarana yang terpisah dengan produk kuliner lain yang haram itu. Di sinilah letak titik kritis produk kuliner bulus yang dihasilkan oleh warung kuliner ekstrim.

 

Demikian juga dengan produk minyak bulus yang digunakan untuk kosmetik bila diolah dengan komoditas lain seperti minyak dan daging biawak. Minyak bulus diperoleh dengan memanaskan bagian tubuh yang berlemak sehingga lemak padatnya mencair dan dapat ditampung.

 

Permasalahan kontaminasi juga ada pada peralatan yang sangat mungkin digunakan secara bergantian untuk menghasilkan minyak bulus, lalu pada saat lainnya digunakan untuk menghasilkan minyak biawak.

 

Karena itu, para pengguna produk minyak bulus hendaknya memperhatikan tempat pengolahan minyak tersebut. Apabila tempat tersebut juga mengolah minyak dari hewan yang tidak halal, maka status minyak bulus bisa menjadi syubhat. Apabila jelas terbukti bahwa alat yang digunakan untuk memanaskan bulus digunakan juga untuk mengolah minyak dari hewan yang haram, maka minyak bulus dapat terkontaminasi dengan bahan najis dari hewan yang haram bila alat itu tidak disucikan dengan kaidah syar’i.

 

Dengan maraknya warung penyedia kuliner ekstrim, konsumen juga harus jeli bila akan membeli olahan daging bulus. Bila warung itu juga menyediakan menu dari daging hewan yang haram, maka status masakan berbahan baku bulus itu juga menjadi syubhat. Bila terbukti bahwa alat pengolahan kuliner itu sama dengan alat yang digunakan untuk mengolah kuliner haram, maka hidangan dari bulus itu dapat terkontaminasi dan menjadi ikut haram selama alat memasak tidak disucikan secara syar’i.

 

Apabila ditinjau dari keberadaan bulus di suatu wilayah, maka konsumen hendaknya juga bijak dalam melihat kelestariannya. Di wilayah yang keberadaan bulusnya sudah semakin jarang, sebaiknya bulus tidak dikonsumsi dengan penangkapan dari alam liar. Sebaliknya di wilayah yang populasi bulusnya melimpah, konsumen dapat mengonsumsinya dengan hati-hati sambil tetap memperhatikan berbagai aspek jaminan kehalalannya. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Fauzi Yunus, Pendamping PPH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pengajar Majelis Taklim Al Hidayah