Syariah

Harta menurut Mazhab Hanafi (2): Tidak Halal pun Masuk Kategori Harta

Selasa, 31 Agustus 2021 | 14:00 WIB

Harta menurut Mazhab Hanafi (2): Tidak Halal pun Masuk Kategori Harta

Mazhab Hanafi tidak mensyaratkan harta merupakan sesuatu yang wajib berstatus bisa dimanfaatkan.

Sebagai orang yang hidup di lingkungan pengamal mazhab Syafi’i, kita umumnya memahami bahwa:

 

كل ما لا ينتفع به فليس بمال، سواء كان ذلك لتحريمه كالخمر، أو لقلته كحبة الأرز، أو لخسته كبعض الحشرات

 

"Segala sesuatu yang tidak bisa dimanfaatkan adalah bukan harta. Baik tidak bisanya itu karena faktor keharamannya, seperti khamr, atau karena faktor sedikitnya barang, seperti sebiji padi, dan mungkin juga karena faktor hinanya barang, seperti sebagian hewan melata” (al-Wasith, juz 3, h. 20).

 

Istilah lainnya, harta bagi seorang Muslim (dalam konstruk fiqih Syafi’iyah), adalah wajib halal, wajib berharga, dan wajib terhormat. Oleh karenanya pula, syarat terpenuhinya sesuatu sebagai harta adalah wajib berstatus mubah untuk dikelola dan bisa dimanfaatkan secara syara’. Tanpa keberadaan itu semua, seberapa besar barang itu dimiliki, pada hakikatnya adalah bukan harta (mâl). Bahkan, masyhur kita kenal di kalangan Syafi’iyah sebuah kaidah:

 

كل ما لا ينتفع به فليس بمال

 

"Sesuatu yang tidak bisa dimanfaatkan (secara syara’), maka bukan harta.” (al-Ausath, juz 3, h. 20).

 

Namun demikian, apa yang kita pahami di atas adalah justru lain dalam konstruk fiqih mazhab Hanafi. Mazhab yang satu ini, tidak mensyaratkan bahwa harta (mâl) merupakan sesuatu yang wajib berstatus bisa dimanfaatkan (halal).

 

Lalu, bagaimana mazhab Hanafi ini memaknai harta (al-mâl)? Hal ini dijawab oleh Ibnu Abidin (w. 1252 H) di dalam kitab hasyiyah-nya. Ia menyatakan:

 

المال أعم من المتقوم لأن المال ما يمكن ادخاره، ولو غير مباح كالخمر، والمتقوم ما يمكن ادخاره مع الإباحة، فالخمر مال لا متقوم

 

"Harta itu bersifat lebih umum dibanding istilah barang berharga (mutaqawwam). Harta itu bersifat bisa disimpan, kendati ia terdiri dari sesuatu yang tidak mubah, seperti khamr. Sementara, “barang berharga” (mutaqawwam) merupakan istilah yang tidak hanya bisa disimpan melainkan juga harus bersifat mubah. Berdasarkan landasan ini, maka khamr merupakan harta, namun tidak berharga (ghairu mutaqawwam)” (Hasyiyah Ibn Abidin, juz 4, h. 501).

 

Di sisi lain, Ibn Abidin (w. 1252 H) juga menyatakan bahwa:

 

فما يباح بلا تمول لا يكون مالًا كحبة حنطة، وما يتمول بلا إباحة انتفاع لا يكون متقومًا كالخمر، وإذا عدم الأمران لم يثبت واحد منهما كالدم

 

"Sesuatu yang bisa dimanfaatkan namun tidak bisa dijadikan harta (tamawwul) adalah bukan harta, misalnya sebiji gandum. Sebaliknya, sesuatu yang bisa dijadikan harta, namun tidak bisa dimanfaatkan maka bukan barang berharga, seperti khamr. Bila dua illat (ibahah dan tamawwul) ini tidak melekat sama sekali pada barang, maka hilang sifat tsubut dari harta, seperti darah.” (Hasyiyah Ibn Abidin, juz 4, h. 501).

 

Berdasarkan penjelasan di atas, maka di dalam Hanafiyah, konsep mâl itu mencakup 2 pengertian sekaligus, yaitu:

  1. Mutaqawwam, yang berarti barang berharga/bernilai. Misalnya beras 1 kg, emas, perak. Masing-masing merupakan contoh dari barang berharga/barang nilai
  2. Ghairu Mutaqawwam, yang berarti barang tak berharga/tak bernilai. Misalnya, khamr, daging babi, daging anjing, dan sejenisnya. Masing-masing merupakan barang tak berharga/tak bernilai bagi orang Islam, namun merupakan harta bagi pihak non-Muslim.

 

Karakteristik barang disebut sebagai mâl mutaqawwam (berharga) ada 3, yaitu:

  1. Bisa disimpan (idkhar)
  2. Bisa dimanfaatkan (wajib halal)
  3. Bernilai harta (tamawwul)

 

Karakteristik barang disebut sebagai mâl ghairu mutaqawwam ada 3, yaitu:

  1. Bisa disimpan
  2. Tidak bisa dimanfaatkan (karena haram, atau sedikit atau karena sifat kotor)
  3. Bernilai harta (tamawwul)

 

Karakteristik barang disebut tidak tsubut (tidak pasti), adalah:

  1. Bisa disimpan
  2. Tidak bisa dimanfaatkan (ghairu ibahah)
  3. Tidak bernilai harta (ghairu tamawwul). Misalnya adalah bangkai ayam. Kendati bisa disimpan, namun tidak bisa dijual sehingga menjadi uang.

 

 

Berdasarkan pengklasifikasian ini, semua hal di atas masuk dalam ranah definisi harta versi mazhab Hanafi. Baik yang halal maupun yang haram, dua-duanya tercakup dalam pengertian harta, sebab sifat bisa disimpannya dan ditukar dengan harga (tamawwul). Akan tetapi, harta halal dikelompokkan ke dalam bagian mutaqawwam (berharga). Sementara harta haram dikelompokkan dalam bagian ghairu mutaqawwam (tidak berharga).

 

Harta yang tidak tsubut (tidak pasti) juga masuk dalam definisi harta karena bisanya disimpan (idkhar). Akan tetapi, karena ada dua illat yang berdiri bersamaan, yaitu tidak mubah dan tidak bisa ditukar sebagai harta, maka sifat tsubut tersebut menjadi hilang. Dalam contoh di atas disampaikan misalnya adalah ayam. Ketika ayam tidak dalam kondisi hidup, dan matinya tidak karena disembelih, maka ia disebut bangkai. Tidak ada satu pemeluk agama pun yang mau untuk memakannya. Oleh karenanya, sifat tsubut-nya hilang disebabkan karena hilangnya nyawa dan tidak karena disembelih.

 

Hilangnya sifat tsubut pada suatu ‘ain (barang), juga memiliki konsekuensi pada status barang sebagai yang tidak bisa ditransaksikan, misalnya utang.

 

Utang, di satu sisi oleh kalangan Hanafiyah, dipandang sebagai bukan harta (mâl), meski di sisi lain juga dipandang sebagai harta.

 

Utang bukan harta, karena utang tidak masuk kategori barang (ain) yang bisa disimpan (idkhar) sehingga tidak mutaqawwam, terkecuali bila fisik harta yang diutang sudah diterima oleh pihak yang berutang (mutaqawwam). Contoh, Anda utang uang 100 ribu rupiah. Uang tersebut belum disebut sebagai harta milik Anda, sebelum uang itu Anda terima secara fisik.

 

Karena utang—dalam konteks Hanafiyah—bisa dipandang sebagai dua bilah sisi harta yang saling berlawanan (antara mutaqawwam dan ghairu mutaqawwam), maka Syekh Wahbah al-Zuhaili pernah menjelaskan hal sebagai berikut:

 

ما يزكى لعام واحد فقط: وهو دين القرض وديون التجارة، وهو الدين القوي عند الحنفية، تجب فيه الزكاة بشروط أربعة

 

“Termasuk harta yang wajib dizakati satu tahun sekali saja adalah harta utang yang diperoleh dari relasi akad qardl dan utang niaga. Harta utang dari kelompok ini merupakan jenis “harta kuat” menurut kalangan Hanafiyah. Wajib atasnya dipungut zakat dengan 4 syarat” (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu li al-Zuhaili, juz 3, h. 1832).

 

Utang sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Wahbah ini merupakan jenis utang yang sudah diterima fisiknya oleh pihak yang berutang. Jika utang itu dijadikan sebagai bagian dari modal niaga, maka ia dihitung sebagai ‘urudl al-tijarah (komoditas niaga).

 

Alhasil, ini berbeda dari konsep yang berlaku di kalangan Syafi’iyah. Menurut kalangan Syafi’iyah, utang niaga menjadi bagian pengurang dari urudl al-tijarah. Itu sebabnya, utang niaga bukan bagian dari yang wajib dizakati. Wallahu a'lam bish-shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur