Syariah

Hikmah di Balik Keharaman Riba

NU Online  ·  Ahad, 27 Oktober 2024 | 17:00 WIB

Hikmah di Balik Keharaman Riba

Hikmah keharaman riba (NU Online).

Riba merupakan transaksi terlarang dalam agama Islam. Orang yang terlibat pun disebut pelaku dosa besar. Harta yang dihasilkan melalui praktik riba tidak mendapatkan keberkahan. Sebab riba merupakan transaksi yang menyimpang dari kebenaran.
 

Larangan riba sangat tegas disebutkan dalam Al-Quran:
 

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ  فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
 

Artinya, “Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya”. (QS Al-Baqarah: 275). 
 

Dalam hadits disebutkan, Rasulullah saw melaknat siapapun yang terlibat dalam praktek riba akan mendapatkan laknat Allah, termasuk yang mewakilkan, yang menulis, dan yang menyaksikannya. Beliau bersabda:

لَعَنَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَكَلَ الربا، وموكله، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
 

Artinya, “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, yang mewakilkan, yang menulis, dan yang menyaksikannya. Rasulullah saw berkata: ‘(Dosa) mereka sama’”. (HR Muslim).
 

Larangan praktek riba sebenarnya bersifat dogmatis (ta’abbudi). Artinya umat Islam cukup patuh menjauhinya tanpa perlu bertanya mengapa diharamkan. Atas dasar apapun riba tetaplah hukumnya haram dan harus dijauhi semaksimal mungkin.
 

Meski demikian, para ulama banyak mengemukakan beragam hikmah dari keharaman riba. Di antaranya adalah Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi dalam kitab Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu.
 

Al-Jurjawi menyebutkan, andai praktek riba dibolehkan, maka berpotensi merusak tatanan sosial. Sebab, bila semua orang memperbungakan harta mereka dengan cara riba, maka semua orang cenderung menjadi malas, dan enggan untuk bekerja, yang pada kesempatannya akan merusak ekonomi masyarakat. Ia menjelaskan:
 

ونقول بهذا الوجه الإجمال إن الربا مفسدة للعالم؛ لأن الناس إذا استثمروا الأموال بهذه الكيفية مالوا إلى الراحة والكسل والإحجام عن العمل
 

Artinya, “Dan kami berkata dengan sudut pandang global ini bahwa riba dapat merusak alam, karena ketika manusia menggandakan uang mereka dengan cara riba, maka mereka condong rehat-rehat, malas, dan menahan diri dari bekerja”. ([Beirut, Darul Fikr: 2003], juz II, halaman 91).
 

Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi juga menyampaikan bahwa riba dapat memutus kebaikan antarsesama, yang salah satu caranya ialah melalui cara pinjam-meminjam.
 

Pada umumnya, praktik pinjaman dari orang kaya kepada orang miskin, jika orang kaya meminjamkan uangnya dengan mengharap nominal pelunasan yang lebih, maka akan memutus rasa ikhlas, belas kasih, dan kebaikan. (Al-Jurjawi, II/92).
 

Hikmah lain disampaikan Syekh Ali As-Shabuni dalam Rawai’ul Bayan fi Tafsiri Ayatil Ahkam. Ia mengatakan, syariat Islam menganggap riba sebagai kejahatan dan melaknat pelakunya karena mengandung bahaya yang dapat merusak akhlak secara individu, merusak hubungan sosial masyarakat, dan merusak perekonomian secara luas. 
 

Bahaya riba bagi individu manusia adalah dapat menumbuhkan sikap egoisme pada diri pelakunya. Orang yang senang dengan praktek riba akan mementingkan keuntungan dirinya sendiri tanpa peduli dengan penindasan dirinya terhadap orang lain.
 

Bahaya riba bagi hubungan sosial adalah dapat menjadi pemicu terjadinya permusuhan dan hilangnya rasa kasih sayang sesama manusia. Sedangkan bagi perkembangan ekonomi adalah bahwa riba akan membagi manusia menjadi dua kelas: kelas kaya yang hidup dengan kemewahan dan kebahagiaan dengan memeras keringat orang lain, dan kelas miskin yang hidup dengan penuh kekurangan dan kesengsaraan. 
 

Syekh Ali As-Shabuni mengatakan:
 

وقد ثبت أن (الربا) أعظم عامل من عوامل تضخم الثروات وتكدسها في أيدي فئة قليلة من البشر، وأنه سبب البلاء الذي حلّ بالأمم والجماعات حيث كثرت المحن والفتن، وازدادت الثورات الداخلية.
 

Artinya, “Telah terbukti bahwa (riba) adalah penyebab utama dari penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang, dan merupakan sumber masalah yang menimpa bangsa-bangsa dan masyarakat, di mana banyak bencana dan konflik terjadi, serta meningkatnya pemberontakan internal. ([Beirut, Maktabah Al-Ghazali: 1980], jilid I, halaman 396).
 

Demikian hikmah dari keharaman praktik riba. Dengan mengetahui hikmah ini, semoga iman kita menjadi lebih kokoh dan senantiasa berhati-hati agar tidak terjerumus dalam praktek riba. Wallahu a’lam.
 

 

Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan Madura