Zainuddin Lubis
Penulis
Riba, dalam Islam, merupakan tindakan pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal yang dilakukan secara tidak sah dan bathil. Riba tidak hanya dianggap sebagai bentuk penindasan ekonomi, tetapi juga sebagai dosa besar yang merusak tatanan sosial dan keadilan ekonomi.
Dalam pengertian yang lebih luas, riba juga mengacu pada upaya untuk memastikan peningkatan pendapatan melalui cara yang tidak adil, tidak jujur, atau tanpa melibatkan usaha yang sah.
Larangan ini ditegaskan melalui beberapa ayat dalam Al-Qur’an, yang menekankan pentingnya menjauhi praktik riba demi menjaga keadilan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Nah berikut 6 ayat yang melarang praktik riba dalam Al-Qur'an;
Baca Juga
Tiga Jenis Praktik Riba dalam Jual Beli
Pertama, Al-Baqarah ayat 275;
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
wa aḫallallâhul-bai‘a wa ḫarramar-ribâ
Artinya; "Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah Jilid I (Ciputat, Penerbit Lentera Hati: 2002: 593) menjelaskan larangan Allah terhadap praktik riba dan perbedaan mendasarnya dengan jual beli. Menurutnya, Islam menghalalkan jual beli karena sifat transaksinya yang melibatkan usaha dari kedua pihak dan memberikan manfaat yang seimbang. Keuntungan dari jual beli berasal dari kerja keras, pengelolaan yang baik, dan menghadirkan risiko baik untung maupun rugi. Ini tergantung pada keahlian serta kondisi pasar.
Sebaliknya, riba memberikan keuntungan sepihak bagi pemilik modal tanpa adanya usaha nyata. Dalam praktik riba, keuntungan diperoleh hanya dengan berjalannya waktu, tanpa kontribusi dari usaha manusia. Orang yang memberikan pinjaman dengan bunga (riba) tidak berkontribusi pada usaha pihak peminjam. Hal ini dianggap tidak adil karena keuntungan yang diperoleh tidak sesuai dengan pengorbanan atau kontribusi.
Lebih jauh lagi, Prof. Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa riba diharamkan karena cenderung merugikan pihak peminjam dan hanya menguntungkan pemberi pinjaman. Keuntungan dari riba tidak melibatkan risiko atau usaha nyata, melainkan hanya berdasarkan waktu yang berlalu. Berbeda dengan jual beli yang dipengaruhi oleh kondisi pasar dan keterampilan, riba memberikan keuntungan pasti bagi pemberi pinjaman tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh pihak lain.
Kedua, Al-Baqarah ayat 276;
يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ ۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ
Yamḥaqullāhur-ribā wa yurbiṣ-ṣadaqāt(i), wallāhu lā yuḥibbu kulla kaffārin aṡīm(in).
Artinya; Allah menghilangkan (keberkahan dari) riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang sangat kufur lagi bergelimang dosa.
قَوْله تَعَالَى: {يمحق الله الرِّبَا} أَي: يذهب بركَة المَال؛ فَإِن للْحَلَال بركَة، وَلَيْسَت لِلْحَرَامِ بركَة. وَقيل: مَعْنَاهُ: يبطل الصَّدَقَة من الرِّبَا {ويربي الصَّدقَات} وَيكثر الصَّدقَات {وَالله لَا يحب كل كفار أثيم} فالكفار: عَظِيم الكفران، والأثيم: كثير الْإِثْم
Artinya; Firman Allah Ta'ala: "{يمحق الله الرِّبَا}" maksudnya adalah Allah menghilangkan berkah dari harta; karena sesungguhnya harta yang halal memiliki berkah, sedangkan harta yang haram tidak memiliki berkah. Dikatakan pula, maknanya adalah: Allah membatalkan sedekah dari hasil riba. "Dan Allah menyuburkan sedekah" artinya Allah memperbanyak dan mengembangkan sedekah. "Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sangat kufur dan banyak berbuat dosa" maksudnya, orang yang kufur adalah mereka yang sangat ingkar, dan yang berdosa adalah mereka yang sering melakukan banyak dosa.
Abu Al Muzhaffar As-Sam'ani dalam kitab Tafsir as-Sam'ani Jilid I (Riyadh, Darul Wathan, 1997: 280) menjelaskan bahwa ayat ini, Allah menghilangkan berkah dari harta yang diperoleh melalui riba. Riba, sebagai transaksi yang diharamkan dalam Islam, tidak membawa manfaat yang berkelanjutan, melainkan membawa kebinasaan terhadap kekayaan yang diperoleh. Hal ini disebabkan karena riba bertentangan dengan prinsip keadilan dan keberkahan yang ada dalam harta halal.
Lebih jauh lagi, harta yang diperoleh secara halal memiliki berkah yang ditanamkan oleh Allah. Berkah ini membuat harta tersebut memberi manfaat yang lebih luas dan berkesinambungan. Sebaliknya, harta yang didapat melalui cara-cara haram, seperti riba, tidak mengandung berkah, sehingga walaupun secara fisik terlihat bertambah, pada kenyataannya ia akan hilang atau membawa kerugian baik di dunia maupun di akhirat.
Sebagian ulama juga menafsirkan bahwa makna "Allah memusnahkan keberkahan dari riba" mencakup pembatalan sedekah yang berasal dari harta riba. Artinya, jika seseorang bersedekah dengan harta yang diperoleh dari riba, maka sedekah tersebut tidak diterima oleh Allah dan tidak memberikan pahala. Allah hanya menerima amal yang dilakukan dengan harta yang halal dan bersih dari unsur yang haram.
Ketiga, Surat Al-Baqarah ayat 278;
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبٰوٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
Yā ayyuhal-lażīna āmanuttaqullāha wa żarū mā baqiya minar-ribā in kuntum mu'minīn(a).
Artinya; "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang mukmin."
Sementara itu, Imam Al-Wahidi dalam kitab Tafsir Al-Wajiz menjelaskan bahwa surat Al-Baqarah ayat 278 mengandung perintah tegas bagi orang-orang beriman agar meninggalkan segala bentuk sisa riba yang masih ada dalam transaksi utang-piutang. Sejatinya, ayat ini turun sebagai peringatan kepada Abbas dan Utsman, yang pada saat itu masih memiliki piutang dengan bunga riba yang belum dilunasi.
Setelah mendengar turunnya ayat ini, keduanya langsung mematuhi perintah Allah dan mengambil tindakan untuk hanya menagih pokok utang tanpa meminta tambahan bunga. Sikap ini menunjukkan ketaatan mereka kepada syariat Islam dan semangat untuk menjauhi apa yang telah dilarang Allah.
Dengan demikian, ayat ini mengandung makna pesan larangan mutlak terhadap segala bentuk riba dalam utang-piutang. Allah memerintahkan agar orang-orang beriman hanya mengambil kembali pokok modal yang mereka pinjamkan, tanpa menuntut tambahan yang termasuk dalam kategori riba. (Al-Wajiz, (Beirut: Darul Qalam, 1415 H) hlm. 193)
Keempat, Surat Ali Imran ayat 130;
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوا الرِّبٰوٓا اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةً ۖوَّاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَۚ
Yā ayyuhal-lażīna āmanū lā ta'kulur-ribā aḍ‘āfam muḍā‘afah(tan), wattaqullāha la‘allakum tufliḥūn(a).
Artinya; Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
Imam Baghawi menjelaskan dalam Tafsir Ma'alim Tnzil fi Tafsir Al-Qur'an, pentingnya menjauhi praktik riba, yang merupakan tindakan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak halal.
Dalam konteks ayat ini, Allah memperingatkan orang-orang yang beriman agar tidak terjebak dalam kebiasaan merugikan, seperti menambah jumlah utang saat waktu jatuh tempo. Praktik ini menunjukkan ketidakadilan dan dapat memperburuk beban orang yang berutang, yang sering kali sudah berada dalam kondisi sulit.
Sejatinya, tindakan mengambil riba bukan hanya berdampak pada hubungan finansial, tetapi juga berpengaruh pada hubungan dengan Allah. Allah menegaskan "Bertakwalah kepada Allah,", memiliki mankan bahwa segala transaksi keuangan harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan keadilan. Ketakwaan kepada Allah dalam urusan riba menunjukkan bahwa iman seseorang harus diikuti dengan tindakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat.
Akhirnya, ayat ini diakhiri dengan harapan agar umat Muslim dapat meraih keberuntungan dan keberkahan dalam hidupnya. "Agar kalian beruntung" menegaskan bahwa menjauhi riba adalah jalan menuju kebahagiaan dan kesuksesan.
Dengan menghindari praktik riba dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan dalam transaksi, seorang mukmin akan mendapatkan keuntungan dan ridha Allah.
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً} أَرَادَ بِهِ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَهُ عِنْدَ حُلُولِ أَجَلِ الدَّيْنِ مِنْ زِيَادَةِ الْمَالِ وَتَأْخِيرِ الطَّلَبِ، {وَاتَّقُوا اللَّهَ} فِي أَمْرِ الرِّبَا فَلَا تَأْكُلُوهُ، {لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ}
Artinya; [Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda.] Ayat ini merujuk pada kebiasaan yang mereka lakukan ketika tiba waktu jatuh tempo utang, yaitu menambah jumlah uang dan menunda permintaan pembayaran. [Bertakwalah kepada Allah] dalam urusan riba, maka janganlah kalian memakannya, "agar kalian beruntung."
Kelima, Surat an-Nisa Ayat 161;
وَّاَخْذِهِمُ الرِّبٰوا وَقَدْ نُهُوْا عَنْهُ وَاَكْلِهِمْ اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۗوَاَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ مِنْهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا
Wa akhżihimur-ribā wa qad nuhū ‘anhu wa aklihim amwālan-nāsi bil-bāṭil(i), wa a‘tadnā lil-kāfirīna minhum ‘ażāban alīmā(n).
Artinya; "melakukan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya; dan memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang sangat pedih."
Menurut Imam Baghawi bahwa Surat An-Nisa ayat 161 mengandung peringatan keras tentang praktik riba dan pengambilan harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Dalam konteks ini, riba sebagai suatu praktik ekonomi yang merugikan dan praktik transaksi keuangan berdampak pada masyarakat secara keseluruhan.
Pengharaman riba bukan hanya dalam Islam, dalam Taurat, pun sudah dijelaskan hukumnya. Meski demikian, saat itu, tak sedikit, masyarakat Yahudi Madinah, mengabaikannya dan justru mengambil keuntungan dari kelemahan orang lain, termasuk melalui suap dalam pengambilan keputusan hukum.
Simak penjelasan Imam Baghawi dalam Ma'alim Tanzil fi tafsir Al-Qur'an Jilid II (Saudi, Darul Thaybah, 1997:309) berikut;
{وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ} فِي التَّوْرَاةِ {وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ} مِنَ الرِّشَا فِي الْحُكْمِ، وَالْمَآكِلُ الَّتِي يُصِيبُونَهَا مِنْ عَوَامِّهِمْ، عَاقَبْنَاهُمْ بِأَنْ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ، فَكَانُوا كُلَّمَا ارْتَكَبُوا كَبِيرَةً حُرِّمَ عَلَيْهِمْ شَيْءٌ مِنَ الطَّيِّبَاتِ الَّتِي كَانَتْ حَلَالًا لَهُمْ
Artinya; [Dan mengambil riba, padahal mereka telah dilarang darinya], yang terdapat dalam Taurat; [dan memakan harta orang-orang dengan cara yang batil], berupa suap dalam hukum, serta makanan yang mereka ambil dari masyarakat umum. Kami menghukum mereka dengan cara mengharamkan atas mereka hal-hal yang baik. Maka setiap kali mereka melakukan dosa besar, sesuatu dari hal-hal baik yang semula halal bagi mereka akan diharamkan."
Keenam, al-Maidah ayat 63;
لَوْلَا يَنْهٰىهُمُ الرَّبّٰنِيُّوْنَ وَالْاَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْاِثْمَ وَاَكْلِهِمُ السُّحْتَۗ لَبِئْسَ مَا كَانُوْا يَصْنَعُوْنَ
Lau lā yanhāhumur-rabbāniyyūna wal-aḥbāru ‘an qaulihimul-iṡma wa aklihimus-suḥt(a), labi'sa mā kānū yaṣna‘ūn(a).
Artinya; Mengapa para ulama dan pendeta tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan (makanan) yang haram? Sungguh, itulah seburuk- buruk apa yang selalu mereka perbuat.
Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 163 menyoroti kritik tajam terhadap para ulama dan pendeta Yahudi yang gagal menjalankan tanggung jawab mereka untuk melarang umatnya dari perbuatan buruk, seperti berbohong dan mengonsumsi harta yang haram. Dalam konteks ini, Ibnu Abbas menggarisbawahi bahwa tidak ada celaan dalam Al-Qur’an yang lebih keras terhadap ulama yang abai terhadap tugas penyampaian dakwah.
Sejatinya, ayat ini menjadi pengingat bagi semua pemimpin spiritual untuk menjalankan amanah mereka dengan sungguh-sungguh, terutama dalam mendidik umat tentang nilai-nilai kejujuran dan keadilan.
Lebih jauh lagi, para ulama tafsir menegaskan bahwa kritik dalam ayat ini bukan hanya ditujukan kepada pendeta Yahudi semata, melainkan juga sebagai peringatan bagi umat Muslim agar tidak terjerumus dalam kelalaian yang sama.
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Parung
Terpopuler
1
Ketum PBNU dan Kepala BGN akan Tanda Tangani Nota Kesepahaman soal MBG pada 31 Januari 2025
2
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
3
Rahasia Mendidik Anak Seperti yang Diajarkan Rasulullah
4
Pemerintah Keluarkan Surat Edaran Pembelajaran Siswa Selama Ramadhan 2025
5
5 Masalah Bakal Dibahas Komisi Maudhu'iyah di Munas NU 2025, Berikut Alasannya
6
Larangan Justifikasi Kebakaran California sebagai Azab
Terkini
Lihat Semua