Bahtsul Masail

Hukum Membeli Emas dengan Uang Kertas

Sel, 4 Januari 2022 | 05:30 WIB

Hukum Membeli Emas dengan Uang Kertas

Dalam Islam memang ada larangan untuk menukar emas-perak kecuali dengan bobot yang serupa karena dikhawatirkan riba sebagaimana keterangan hadits

Assalamu 'alaikum wr. wb.

Redaksi NU Online, sebagian mempertanyakan hukum membeli emas dan perak dengan uang kertas karena dianggap sebagai riba. Bagaimana pandangan Islam terkait praktik jual beli tersebut? Terima kasih atas jawabannya. (Hamba Allah/Tangerang).


Jawaban

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.


Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Dalam Islam memang ada larangan untuk menukar emas-perak kecuali dengan bobot yang serupa karena dikhawatirkan riba sebagaimana keterangan hadits berikut.


قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تبيعوا الذهب بالذهب ولا الورق بالورق إلا سواء بسواء


Artinya, “Rasulullah saw bersabda, ‘Jangan kalian menjual emas dengan emas, perak dengan perak kecuali dengan kesamaan.’” (Syekh Taqiyuddin Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut: Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 201).


Apakah praktik jual beli emas dengan uang kertas dapat dianggap sebagai bagian dari larangan tersebut?


Forum Muktamar Ke-5 NU di Pekalongan, Jawa Tengah, pada 1930 M pernah membahas masalah ini. Para peserta Muktamar merespons praktik jual beli emas dengan uang kertas yang beredar di masyarakat. 


Mereka dihadapkan pada pertanyaan, “Bagaimana hukum membeli emas dengan uang kertas, dan pendapat manakah yang dipilih oleh Muktamar Ke-5 NU tentang status uang kertas itu?”


Forum tersebut memutuskan, “Muktamar memilih pendapat yang mengesahkan jual beli dengan uang kertas tersebut karena menganggap bahwa uang kertas itu termasuk benda, jadi tidak diharuskan persamaan, timbang-terima (muqabadhah).”


Para kiai yang menjadi peserta Muktamar Ke-5 NU itu mengutip Kitab Syamsul Isyraq karya Muhammad Ali Al-Maliki berikut ini:


إِذَا عَلِمْتَ هَذَا كُلَّهُ أَنَّ اْلإِحْتِمَالَ الثَّانِي فِيْ وَرَقِ النَّوْطِ أَعْنِي احْتِمَالَ كَوْنِهِ كَالْفُلُوْسِ هُوَ الاحْتِمَالُ الرَّاجِحُ وَاْلأَحْوَطُ فِي الاحْتِمَالَيْنِ الْمَذْكُوْرَيْنِ فِيْهِ لِقُوَّةِ دَلِيْلِهِ أَمَّا أَوَّلاً فَلِأَنَّهُ إِمَّا قِيَاسٌ بِجَامِعٍ أَوْ تَخْرِيْجٌ عَلَى قَاعِدَةٍ تَشْمَلُهُ كَغَيْرِهِ وَتِلْكَ الْقَاعِدَةُ هِيَ كُلُّ عَرَضٍ جَرَى بَيْنَ النَّاسِ مَجْرَى الْعَيْنِ يَتَحَقَّقُ فِيْهِ وَجْهَانِ وَجْهٌ كَوْنُهُ كَالْعُرُوْضِ وَوَجْهٌ كَوْنُهُ كَالْعَيْنِ وَالنَّقْدِ بِخِلاَفِ احْتِمَالِ كَوْنِهِ كَسَنَدِ الدَّيْنِ فَإِنَّهُ إِمَّا قِيَاسٌ بِدُوْنِ جَامِعٍ أَوْ تَخْرِيْجٌ عَلَى قَاعِدَةٍ لاَ تَشْمُلُهُ كَغَيْرِهِ 


Artinya, “Jika Anda mengetahui ini semua bahwa kemungkinan yang kedua perihal uang kertas, yakni kemungkinan keberadaannya sama dengan fulus (uang logam) merupakan kemungkinan yang lebih unggul dan lebih berhati-hati, karena kuatnya dalil atasnya. Adapun yang pertama maka karena berdasarkan qiyas dengan satu titik temu atau mentakhrij pada kaidah yang mencakupnya, sebagaimana selainnya. Maksud kaidah tersebut adalah: ‘Semua benda yang berlaku dimasyarakat sebagaimana emas dan perak (sebagai alat tukar), maka di dalamnya ada dua dua sudut pandang. Pertama, keberadaannya seperti komoditas (barang). Kedua, keberadaannya seperti emas dan perak (alat tukar). Berbeda dengan kemungkinan keberadaannya sebagai jaminan utang, karena mungkin hal itu merupakan qiyas tanpa titik temu atau mentakhrij pada kaidah yang tidak mencakupnya, sebagaimana selainnya.” (Syekh Muhammad Ali al-Maliki, Syamsul Isyraq fi Hukmit Ta’ammuli bil Arwaq, [Mesir: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah: 1921 M], halaman 105).

 


Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.


Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu ’alaikum wr. wb.


(Alhafiz Kurniawan)