Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 278: Mengapa Riba Dilarang dalam Islam?
Ahad, 20 Oktober 2024 | 14:00 WIB
Zainuddin Lubis
Penulis
Dalam Islam, riba merupakan salah satu praktik yang dilarang secara tegas oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Larangan tersebut diabadikan dalam Al-Qur'an melalui berbagai ayat, salah satunya adalah Surat Al-Baqarah ayat 278 yang berbunyi;
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبٰوٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
Yā ayyuhal-lażīna āmanuttaqullāha wa żarū mā baqiya minar-ribā in kuntum mu'minīn(a).
Artinya; "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang mukmin."
Tafsir Al-Misbah
Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah Jilid I (Ciputat: Penerbit Lentera, 2002: 597) menjelaskan bahwa ayat ini mengimbau orang-orang beriman yang masih terlibat dalam riba untuk segera berhenti.
Baca Juga
Mengenal Macam-macam Barang Ribawi
Ayat di atas juga memberi peringatan tegas bagi mereka yang enggan meninggalkan riba. Selain itu, ayat ini mendorong umat untuk bertakwa kepada Allah, yaitu menjaga diri dari azab dan menghindari hukuman yang sangat berat. Salah satu caranya adalah dengan menjauhi praktik riba dan segala bentuk sisa-sisanya.
Meninggalkan sisa-sisa riba berarti tidak mengambil keuntungan dari riba yang belum sempat dipungut. Contohnya, Al-Abbas, paman Nabi Muhammad saw., serta anggota keluarga Bani al-Mughirah, sebelumnya mempraktikkan riba dengan meminjamkan uang kepada suku Tsaqif.
Setelah larangan riba turun, mereka masih memiliki keuntungan riba yang belum dipungut. Ayat ini melarang mereka mengambil sisa keuntungan tersebut, tetapi membolehkan mereka untuk mengambil kembali modal yang telah mereka pinjamkan. Ini menegaskan bahwa praktik riba dan iman tidak bisa bersatu dalam hati seseorang.
Penutup ayat ini menegaskan bahwa riba bertentangan dengan keimanan. Jika seseorang tetap terlibat dalam praktik riba, hal itu menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya beriman kepada Allah. Karena itu, ayat selanjutnya menyatakan bahwa bagi siapa saja yang memilih untuk terus terlibat dalam riba, maka ia akan menghadapi perang dari Allah dan Rasul-Nya.
Tafsir Munir
Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir Jilid III (Tafsir Munir, Beirut, Darul Kutub al-Muashirah, 1998: 84) menjelaskan bahwa riba secara bahasa berarti tambahan atau kelebihan.
Sementara itu, menurut syariat, riba adalah tambahan atau kelebihan pada harta tertentu tanpa ada imbalan yang jelas dalam pertukaran harta. Hal ini bisa terjadi dalam transaksi seperti jual beli, utang-piutang dalam bentuk uang atau makanan, atau penambahan waktu pembayaran (tempo).
والرّبا في اللغة: الزّيادة، وفي الشرع: زيادة مال مخصوص بلا عوض في معاوضة مال بمال، أو الزّيادة في المعاملة من بيع أو قرض بالنقود والمطعومات في القدر أو الأجل
Artinya; "Riba dalam bahasa berarti: tambahan (penambahan), sedangkan dalam syariat: tambahan harta tertentu tanpa adanya ganti dalam pertukaran harta dengan harta, atau tambahan dalam transaksi jual beli atau pinjaman dengan uang atau makanan dalam hal jumlah atau jangka waktu."
Menurut madzhab Syafi'i, riba ini berlaku dalam semua transaksi semacam itu. Madzhab Maliki lebih terbatas, hanya menganggap riba al-Fadhl berlaku pada makanan pokok yang bisa disimpan, tetapi dalam riba an-Nasii'ah, pandangan mereka sama dengan Syafi'i. Sementara itu, madzhab Hanafi dan Hanbali berpandangan bahwa riba berlaku untuk semua jenis harta yang ditakar dan ditimbang.
Syekh Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa riba terbagi menjadi dua jenis, yaitu riba nasi'ah dan riba fadhl. Riba nasi'ah adalah kelebihan pembayaran yang muncul karena penundaan waktu penyerahan salah satu pihak dalam transaksi, baik dalam akad utang piutang maupun jual beli.
Contohnya, seseorang meminjamkan uang untuk jangka waktu tertentu, seperti satu tahun atau sebulan, dengan syarat ada tambahan pembayaran saat pengembalian karena waktu yang panjang. (hlm. 90)
Praktik riba nasi'ah ini sangat umum di kalangan masyarakat Arab pada masa jahiliah. Biasanya, mereka memberikan pinjaman dengan syarat setiap bulan peminjam harus memberikan sejumlah harta. Ketika tiba waktu pengembalian, jika peminjam belum bisa melunasi pinjaman, mereka memperpanjang tenggat waktu dengan syarat peminjam harus membayar lebih banyak dari jumlah utang awalnya.
Pemberi pinjaman biasanya berkata, "Bayar utangmu sekarang atau tunda lagi dengan syarat kamu harus membayar lebih nanti." Dengan demikian, mereka memberikan tenggang waktu tambahan, tetapi dengan syarat si peminjam akan membayar lebih banyak dari jumlah pinjaman yang sebenarnya. Ini menunjukkan bahwa pemberi pinjaman bersedia menunggu lebih lama, namun dengan keuntungan yang lebih besar.
Sementara itu, riba fadhl dalam transaksi jual beli adalah pertukaran suatu barang dengan barang sejenis namun dalam jumlah yang berbeda. Contohnya, menjual satu rithl (ukuran berat) gandum, madu, atau kurma dengan dua rithl dari barang yang sama, atau menukar satu dirham dengan dua dirham.
Transaksi semacam ini diharamkan dalam Islam berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri r.a. dan Ubadah bin ash-Shamit r.a. dari Rasulullah saw., yang melarang adanya kelebihan dalam pertukaran barang sejenis.
الذَّهَبُ بالذَّهَب وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بالشعير، وَالتَّمْرُ بالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدِ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَجْنَاسُ، فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بيد.
Artinya; "Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, harus sama ukurannya, setara, dan dilakukan secara tunai. Apabila jenis-jenis ini berbeda, maka juallah sesuai keinginan kalian, asalkan dilakukan secara tunai."
Lebih jauh lagi, terkadang riba fadhl dapat terjadi dalam transaksi utang piutang, yaitu ketika pihak yang memberi pinjaman mensyaratkan adanya pembayaran lebih dari jumlah yang dipinjamkan tanpa adanya imbalan atau manfaat yang jelas. Contohnya, Amin meminjamkan 100 dinar kepada Daud dengan syarat Daud harus mengembalikan 110 dinar tahun depan.
Dalam contoh ini, kelebihan 10 dinar yang harus dibayar Daud disebut sebagai riba fadhl karena tidak ada kompensasi atau imbalan yang sebanding untuk jumlah tambahan tersebut. Ini termasuk dalam praktik riba yang dilarang dalam Islam
Lantas kenapa riba dilarang dalam Islam? Islam sejatinya agama yang mengajarkan pentingnya bekerja keras, saling mengasihi, menjaga hubungan baik antar sesama, serta membersihkan hati dari perasaan negatif seperti benci, iri, dan dengki. Islam juga menekankan pentingnya menjaga kebenaran dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu, Islam melarang mengambil keuntungan tanpa usaha atau kerja keras, serta sangat menganjurkan untuk membantu sesama melalui pemberian pinjaman yang baik dan berderma.
Selanjutnya, larangan riba dalam Islam juga bertujuan untuk mencegah eksploitasi terhadap orang yang lemah dan butuh, serta menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan permusuhan, kebencian, dan perselisihan.
Islam ingin mencabut sifat dengki, hasud, dan rakus dari dalam diri manusia, serta mendorong setiap orang untuk mencari harta dengan cara yang sah dan halal, tanpa menzalimi orang lain.
Selain itu, Islam tidak menyukai pengakumulasian kekayaan hanya di tangan segelintir orang yang mampu mengendalikan nasib ekonomi banyak orang, bahkan mempermainkan perekonomian suatu negara atau umat. (hlm. 95)
Tafsir Thabari
Sementara itu Imam Thabari, dalam kitab Jami'ul Bayan menjelaskan bahwa Allah mengingatkan orang-orang yang beriman agar memperkuat keimanan kepada Allah dan Rasulullah, serta menjauhi segala larangannya, termasuk dalam memakan riba. Dalam firman-Nya, "Ittaqullāh" (takutlah kalian kepada Allah), terdapat perintah untuk senantiasa menjaga ketakwaan dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan.
Imam Thabari melanjutkan dengan penjelasan tentang larangan terhadap riba dalam ungkapan (wa žarū mā baqiya minar-ribā). Lewat ayat ini, Allah memerintahkan agar umat Islam meninggalkan segala bentuk tuntutan sisa-sisa keuntungan dari pokok harta yang telah mereka miliki sebelum terlibat dalam praktik riba.
Penegasan itu termaktub dalam ayat "in kuntum mu'minīn" menunjukkan bahwa meninggalkan riba adalah bagian dari manifestasi keimanan yang sejati. Oleh karena itu, keimanan tidak hanya terbatas pada pengakuan lisan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
Simak penjelasan Imam Thabari berikut;
قال أبو جعفر: يعني جل ثناؤه بذلك:"يا أيها الذين آمنوا"، صدّقوا بالله وبرسوله="اتقوا الله"، يقول: خافوا الله على أنفسكم، فاتقوه بطاعته فيما أمركم به، والانتهاء عما نهاكم عنه="وذروا"، يعني: ودعوا="ما بقي من الربا"، يقول: اتركوا طلب ما بقي لكم من فَضْل على رءوس أموالكم التي كانت لكم قبل أن تُربوا عليها ="إن كنتم مؤمنين"، يقول: إن كنتم محققين إيمانكم قولا وتصديقكم بألسنتكم، بأفعالكم
Artinya; Abu Ja'far berkata: Maknanya dengan firman Allah: [Yā ayyuhal-lażīna āmanu]," maksudnya, berimanlah kalian kepada Allah dan Rasulullah. [Ittaqullāha], maksudnya: Takutlah kalian kepada Allah atas diri kalian, maka bertakwalah kepada Allah dengan menaati segala perintah kepada kalian dan menjauhi apa yang dilarang.
[wa żarū], artinya: tinggalkanlah, [mā baqiya minar-ribā], yakni: berhentilah menuntut sisa-sisa keuntungan di atas pokok-pokok harta kalian yang kalian miliki sebelum kalian mengambil tambahan (riba) di atasnya. [in kuntum mu'minīn], maksudnya: jika kalian benar-benar merealisasikan keimanan kalian dalam ucapan dan pembenaran lisan kalian, maka wujudkanlah dalam perbuatan kalian. (Tafsir Jamiul Bayan, [Mesir: Darul al-Ma’arif, tt], Jilid VI, hlm. 22).
Dengan demikian, ayat ini mengandung makna pesan larangan mutlak terhadap segala bentuk riba, baik dalam utang-piutang, begitupun jual beli. Allah memerintahkan agar orang-orang beriman hanya mengambil kembali pokok modal yang mereka pinjamkan, tanpa menuntut tambahan yang termasuk dalam kategori riba. Wallahu a'lam
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam, tinggal di Parung
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
2
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
3
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
4
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
5
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
6
Khutbah Jumat: Peringatan Al-Qur'an, Cemas Jika Tidak Wujudkan Generasi Emas
Terkini
Lihat Semua