Syariah

Hukum Karmin, Pewarna dari Serangga: antara Halal dan Haram

Sen, 2 Oktober 2023 | 21:00 WIB

Hukum Karmin, Pewarna dari Serangga: antara Halal dan Haram

Karmin pewarna buatan. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Karmin adalah pewarna merah alami yang berasal dari serangga cochineal. Serangga ini hidup di tanaman kaktus Opuntia ficus-indica yang banyak ditemukan di Amerika Selatan. Karmin diperoleh dengan cara mengeringkan dan menghancurkan serangga cochineal, kemudian mengekstraksi pigmen merahnya.


Dalam perjalanannya, karmin telah digunakan sebagai pewarna makanan dan minuman selama berabad-abad. Saat ini, karmin banyak digunakan dalam berbagai produk makanan dan minuman, seperti yoghurt, permen, es krim, saus, dan minuman ringan. Karmin juga digunakan dalam produk kosmetik, seperti lipstik, bedak, dan pewarna rambut.


Pada tanggal 29 Agustus 2023, Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa karmin hukumnya haram dan najis. Fatwa ini dikeluarkan setelah LBMNU Jawa Timur melakukan kajian dan pembahasan mendalam mengenai hukum karmin.


Lebih lanjut, hasil LBM PWNU Jawa Timur memutuskan bahwa bangkai serangga (hasyarat) tidak boleh dikonsumsi karena najis dan menjijikkan, kecuali menurut sebagian pendapat dalam madzhab Maliki.


Sementara, penggunaan karmin untuk keperluan selain konsumsi, semisal untuk lipstik, menurut Jumhur Syafi’iyah tidak diperbolehkan karena dihukumi najis. Sedangkan menurut Imam Qoffal, Imam Malik dan Imam Abi Hanifah dihukumi suci sehingga diperbolehkan. Hal ini karena serangga tidak mempunyai darah yang menyebabkan bangkainya bisa membusuk.


Adapun mengharamkan karmin, sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarah al Muhadzab, jilid IX, halaman 14 bahwa menurut mayoritas ulama, serangga tanah termasuk dalam kategori makanan yang buruk atau menjijikkan. Oleh karena itu, memakan serangga tanah hukumnya haram. 


ولا يحل أكل حشرات الأرض كالحيات والعقارب والفأر والخنافس والعظاء والصراصير والعناكب والوزغ وسام أبرص والجعلان والديدان وبنات وردان وحمار قبان لقوله تعالى : { ويحرم عليهم الخبائث }


Artinya; Tidak halal memakan serangga tanah seperti ular, kalajengking, tikus, kumbang, kodok, kecoak, laba-laba, cecak, kadal, kumbang, cacing, dan kumbang tahi. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: “"Dan Allah mengharamkan bagi mereka segala yang buruk." (QS Al-A’raf [7] ayat 157).


Sementara itu dalam kitab al Muasuah al Kuwaitiyah, jilid 17 halaman 279, disebutkan bahwa dalam mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali, haram hukumnya memakan semua serangga, karena dianggap menjijikkan dan tidak disukai oleh tabiat yang sehat. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur'an dan juga mengikuti Nabi Muhammad saw yang menyatakan keharamannya sesuatu yang menjijikkan. 


للفقهاء في أكل الحشرات اتّجاهان : الاتّجاه الأوّل : هو حرمة أكل جميع الحشرات ، لاستخباثها ونفور الطّباع السّليمة منها ، وفي التّنزيل في صفة النّبيّ صلى الله عليه وسلم : { ويحرّم عليهم الخبائث } وهذا مذهب الحنفيّة والشّافعيّة والحنابلة . واستثنوا من ذلك الجراد فإنّه ممّا أجمعت الأمّة على حلّ أكله ، لقول النّبيّ صلى الله عليه وسلم : { أحلّت لنا ميتتان ودمان ، فأمّا الميتتان : فالحوت والجراد ، وأمّا الدّمان : فالكبد والطّحال } وزاد الشّافعيّة والحنابلة الضّبّ ، فإنّه من الحشرات الّتي يباح أكلها عندهم ، مستدلّين بحديث { ابن عبّاس رضي الله عنهما : قال : دخلت أنا وخالد بن الوليد مع رسول اللّه صلى الله عليه وسلم بيت ميمونة ، فأتي بضبّ محنوذ ، فرفع رسول اللّه صلى الله عليه وسلم يده فقلت : أحرام هو يا رسول اللّه ؟ قال : لا ، ولكنّه لم يكن بأرض قومي فأجدني أعافه قال خالد : فاجتزرته فأكلته ورسول اللّه صلى الله عليه وسلم ينظر } . وذهب الحنفيّة إلى حرمته على تفصيل ينظر في مصطلح ( أطعمة ) ف ( 54 ) . وقد استثنى الحنابلة أيضا اليربوع والوبر فقالوا : بإباحة أكلهما ، وزاد الشّافعيّة عليهما أمّ حبّين ، والقنفذ ، وبنت عرس فيباح أكلها


Artinya: "Para ulama memiliki dua pendapat tentang hukum memakan serangga: Pendapat pertama, yakni haram memakan semua serangga, karena dianggap menjijikkan dan tidak disukai oleh tabiat yang sehat. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur'an yang menggambarkan sifat Nabi Muhammad saw yang mengharamkan yang menjijikkan: "Dan Dia mengharamkan bagi mereka (makanan) yang buruk." (QS. Al-A'raf: 157). Ini adalah pendapat dari kalangan mazhab Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali.


Pendapat kedua, yakni boleh memakan serangga yang telah disepakati oleh ulama fikih, yaitu belalang. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw: “Dua hal yang dihalalkan bagi kami: dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Adapun dua darah itu adalah hati dan limpa.”


Mazhab Syafi'i dan Hanbali menambahkan bahwa boleh memakan kadal gurun [dob], karena kadal dob termasuk serangga yang boleh dimakan menurut mereka. Hal ini didasarkan pada hadits dari Ibnu Abbas RA:


"Aku dan Khalid bin Walid bersama Rasulullah saw masuk ke rumah Maimunah. Lalu dihidangkan seekor kadal yang dipanggang. Rasulullah saw mengangkat tangannya, lalu aku bertanya, 'Apakah kadal itu haram, wahai Rasulullah?' Rasulullah saw menjawab, 'Tidak, tetapi aku tidak pernah melihatnya di negeri kaumku, maka aku merasa jijik.' Khalid berkata, 'Aku mengambilnya dan memakannya, sementara Rasulullah saw melihatnya.'"


Mazhab Hanafi berpendapat bahwa kadal haram, dengan penjelasan yang lebih rinci yang dapat dilihat pada istilah "makanan" (54).


Mazhab Hanabilah juga mengecualikan jerboa dan tikus gurun, dan mereka menyatakan bahwa memakannya diperbolehkan. Dan mazhab Syafi'i menambahkan dua hewan lagi selain dua hewan tersebut, yaitu ibu habbin (sejenis burung), landak, dan anak musang. Hewan ini dihalalkan untuk dimakan."


Sementara itu, Abu Walid al Baji di kitab al-Muntaqa Syarah al Muwatta, jilid 3 halaman 110 dijelaskan bahwa dalam Islam, hewan yang halal dimakan adalah hewan yang memiliki darah mengalir, seperti sapi, kambing, domba, unta, dan ayam. Hewan yang tidak memiliki darah mengalir, seperti belalang, siput, kalajengking, kumbang, semut rangrang, laba-laba, lebah, capung, semut, rayap, kutu, cacing, nyamuk, dan lalat, hukumnya haram dimakan, kecuali jika telah disembelih.


وأما ما ليست له نفس سائلة كالجراد ‌والحلزون والعقرب والخنفساء وبنات وردان والقرنبا والزنبور واليعسوب والذر والنمل والسوس والحلم والدود والبعوض والذباب فلا يجوز أكله والتداوي به لمن احتاج إلى ذلك إلا بذكاة والذي يجزي من الذكاة في الجراد أن يفعل بها ما لا تعيش معه ويتعجل موتها


Artinya: "Adapun hewan hewan yang tidak memiliki darah mengalir, seperti belalang, siput, kalajengking, kumbang, kecoa, laba-laba, tawon, capung, semut, rayap, kutu, cacing, nyamuk, dan lalat, maka tidak boleh dimakan dan digunakan untuk pengobatan bagi orang yang membutuhkannya kecuali dengan disembelih. Sembelihan yang sah untuk belalang adalah dengan melakukan sesuatu yang menyebabkannya tidak bisa hidup dan mempercepat kematiannya."


Sebagai kesimpulan akhir, hasil Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur menyimpulkan bahwa karmin hukumnya haram karena berasal dari bangkai serangga. Selain itu, karmin juga dianggap sebagai najis karena bangkai serangga termasuk dalam kategori najis.


Putusan ini didasarkan pada pandangan dalam Madzhab Syafi'i yang memandang bahwa bangkai serangga (hasyarat) dianggap najis dan menjijikkan. Dalam fatwanya, LBM PWNU Jawa Timur menyatakan bahwa karmin tidak memenuhi kriteria makanan yang halal, yaitu tidak najis, tidak membahayakan, dan tidak diharamkan oleh syariat.


Sementara itu di sisi lain, berdasarkan Fatwa MUI No. 33 Tahun 2011 Tentang Hukum Pewarna Makanan Dan Minuman Dari Serangga Cochineal menyebutkan bahwa pewarna makanan dan minuman yang berasal dari Cochineal hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.  


Dalam fatwanya MUI menyebutkan, hewan ini digolongkan serangga karena termasuk kelas insecta, dengan genus Dactylopius, ordo Hemiptera dan species Dactylopius coccus. Serangga sochineal ini hidup pada tanaman kaktus dan memperoleh nutrisi dari tanaman, bukan dari bahan yang kotor. Lebih lanjut, Serangga cochineal mempunyai beberapa persamaan dengan belalang, yaitu siklus hidupnya yang tidak melalui tahapan larva dan pupa serta darahnya yang tidak mengalir.


Fatwa tentang karmin dikeluarkan berdasarkan hasil kajian dan penelitian mendalam yang melibatkan para pakar serangga, kimia, dan fikih. Dalam kajian tersebut, diputuskan bahwa karmin tidak mengandung zat-zat yang membahayakan kesehatan manusia. Selain itu, karmin juga tidak mengandung najis, karena serangga Cochineal tidak termasuk hewan yang diharamkan dalam Islam.


Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Mughni, Juz III, halamah 238, Imam Ibnu Qudamah menyebutkan ulama berbeda pendapat terkait serangga yang tidak mengalir darahnya, sebagian mengatakan halal dan boleh dipergunakan. 


فصل : ودم ما لا نفس له سائلة، كالبق، والبراغث، والذباب، ونحوه، فيه روايتان، احداهما، انه طاهر. و ممن رخص في دم البراغث عطاء و طا وس والحسن، والشعبي والحاكم و حبيب بن ابي ثابت و حماد والشافعي و اسحاق، ولانه لو كان نجسا لنجس الماء اليسير اذا مات فيه


Artinya: "Darah binatang yang darahnya tidak mengalir seperti kutu, lalat dan sejenisnya ada dua pendapat, salah satunya mengatakan suci. Di antara orang yang membolehkan darah kutu adalah Atha’, Thawus, al-Hasan, as-Sya’bi, al-hakim dan Habib bin Abi Tsabit, Hamad, as-Syafi’i dan Ishaq, dengan alasan jika darahnya najis maka menjadi najis air  sedikit yang kecemplungan bangkainya”"


Lebih lanjut, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat demikian berdasarkan ijtihad mereka. Mereka berpendapat bahwa darah yang mengalir adalah salah satu ciri-ciri binatang yang najis. Oleh karena itu, binatang yang darahnya tidak mengalir, maka hukumnya adalah suci.


Demikian juga, Imam al-Qufal sependapat dengan Imam Malik dan Imam Abu Hanifah bahwa binatang yang darahnya tidak mengalir adalah suci. Sebagaimana dikatakan dalam kitab I’anah at-Thalibin Juz 1, halaman 108; 


(قوله: كمالك و ابي حنيفة) اي فإنهما قائلان بطهارة ما لا نفس له سائلة، فالقفال موافق لهما


Artinya: "Sucinya binatang yang darahnya tidak mengalir. Imam al-Qufal sependapat dengan keduanya. (seperti Imam Malik dan Imam Abu Hanifah)


Dengan demikian Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur memiliki perbedaan fatwa tentang karmin, yaitu pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga Cochineal. MUI memfatwakan bahwa karmin halal, sedangkan LBM NU Jatim memfatwakan bahwa karmin najis dan haram dikonsumsi.


Kedua fatwa tersebut merupakan hasil ijtihad dari masing-masing lembaga. MUI dan LBM NU Jatim memiliki perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan hukum Islam tentang karmin. MUI berpendapat bahwa karmin halal karena tidak najis dan tidak menjijikkan, sedangkan LBM NU Jatim berpendapat bahwa karmin najis dan haram dikonsumsi.


Untuk itu, bagi umat Islam yang mengikuti fatwa MUI, maka karmin halal dikonsumsi. Sedangkan, bagi umat Islam yang mengikuti fatwa LBM NU Jatim, maka karmin najis dan haram dikonsumsi.


Zainuddin Lubis, Pegiat kajian tafsir, tinggal di Ciputat