Syariah

Tidak Semua Benda yang Terkena Najis Ikut Menjadi Najis

Kam, 22 Desember 2022 | 08:00 WIB

Tidak Semua Benda yang Terkena Najis Ikut Menjadi Najis

Najis yang didapat baik dengan sengaja maupun tidak, pada akhirnya tetap harus dihilangkan.

Bagi seorang muslim, najis adalah suatu hal yang sangat dihindari. Setidaknya karena dua alasan: makanan dan shalat. Makanan yang terkena najis menjadi haram dikonsumsi, dan shalat tidak sah jika terdapat najis pada badan, pakaian, atau tempat shalat.
 

 

Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in menjelaskan hukum menghindari najis, beliau menyampaikan:
 


ولا يجب اجتناب النجس في غير الصلاة، ومحله في غير التضمخ به في بدن أو ثوب فهو حرام بلا حاجة

 

Artinya, “Tidak wajib menghindari najis pada selain shalat. Kecuali sengaja menyentuhkan badan atau pakaian dengan najis, maka haram jika dilakukan tanpa ada tujuan yang dilegalkan syariat” (Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in, [Beirut: Dar Ibn Hazm], halaman 79).

 


Meskipun tidak wajib dihindari, namun najis yang didapat baik dengan sengaja maupun tidak sengaja pada akhirnya tetap harus dihilangkan. Karena itulah seorang muslim lebih memilih menghindarinya. Sesuatu yang terkena najis statusnya dalam fiqih disebut mutanajjis, atau barang yang terdampak najis—secara umum di masyarakat tetap dise​but dengan istilah najis saja​​​​​​—. Misalnya pakaian yang terkena darah, pakaian tersebut menjadi mutanajjis sebab dihinggapi najis berupa darah. 

 


Namun, tidak semua persentuhan dengan najis dapat mengakibatkan sesuatu menjadi mutanajjis. Imam As-Suyuthi dalam Al-Asybah wan Nazha’ir mengutip kaidah dari Imam al-Qamuli sebagai berikut:
 

 


النجس إذا لاقى شيئا طاهرا وهما جافان لا ينجسه

 

 

Artinya, “Ketika najis bertemu dengan sesuatu yang suci dalam keadaan keduanya kering, maka najis tersebut tidak memberi dampak pada sesuatu yang terkena olehnya.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha’ir, [Beirut Darul kutub Al-‘Ilmiyyah: 1990], 432).

 


Berdasarkan kaidah di atas dapat diketahui bahwa jika najis dan sesuatu yang bersentuhan dengannya sama-sama dalam keadaan kering, maka sesuatu tersebut tidak menjadi mutanajjis.
 

 

Lalu bagaimana jika salah salah satunya basah? Imam Al-Khathib As-Syirbini dalam Mughninya mengatakan:

 


(وما نجس بملاقاة شيء من كلب) سواء في ذلك لعابه وبوله وسائر رطوباته وأجزائه الجافة إذا لاقت رطبا (غسل سبعا إحداهن بتراب)

 

 

Artinya, “Sesuatu yang terdampak najis akibat bersentuhan dengan anjing, baik air liur, air seni, dan cairan lainnya, atau bagian tubuh anjing yang kering bersentuhan dengan sesuatu yang basah, maka sesuatu tersebut wajib dibasuh tujuh kali salah satunya dengan debu.” (As-Syirbini, Mughni al-muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1994], juz I, halaman 239).
 

 


As-Syirbini memang menjelaskan najis anjing, namun prinsip di dalamnya berlaku dalam segala jenis najis. Ada dua poin yang terkandung dalam penjelasan tersebut. Pertama, najis yang basah menyentuh sesuatu yang kering, seperti air liur anjing mengenai benda kering. Kedua, najis kering menyentuh sesuatu yang basah, seperti bagian tubuh anjing yang kering menyentuh benda yang basah. Dalam dua keadaan demikian, sesuatu yang terkena najis menjadi mutanajjis, terlebih jika keduanya dalam keadaan basah.
 

 


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa benda yang bersentuhan dengan najis dapat menjadi mutanajjis jika ketika terjadi persentuhan keduanya atau salah satunya dalam keadaan basah. Jika keduanya dalam keadaan kering, maka tidak menjadikannya mutanajjis. Wallahu a’lam.

  
 

 

Ustadz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo.