Syariah

Hukum Membadalkan Pelemparan Jumrah

Sel, 30 Mei 2023 | 12:45 WIB

Hukum Membadalkan Pelemparan Jumrah

Ilustrasi: Haji - Tenda di Arafah (foto Mukafi Niam).

Melempar atau melontar jumrah merupakan salah satu wajib haji yang harus dilakukan jamaah. Melontar jumrah dilakukan dengan tujuh batu. Orang yang meninggalkan melontar jumrah wajib membayar dam haji.

 

Lontar dalam wajib haji terdiri atas dua lontaran, yaitu lontar jumrah ’aqabah dan lontar jumrah di hari Tasyrik. Lontar jumrah ’aqabah dilakukan pada hari nahar (10 Dzulhijjah). Sedangkan lontar jumrah di hari Tasyrik jatuh pada 11, 12, 13 Dzulhijjah.

 

والثاني رمي جمرة العقبة سبعا والثالث رمي الجمرات الثلاث أيام التشريق كل واحدة سبعا

 

Artinya, “Kedua, melontar jumrah ’aqabah tujuh kali. Ketiga, melontar tiga jumrah pada hari Tasyrik, di mana setiap lontaran terdiri atas tujuh kali,” (Ibnu Hajar, Al-Manhajul Qawim pada Hamisy Hasyiyatut Turmusi, [Jeddah, Darul Minhaj: 2011 M/1432 H], juz VI, halaman 313-314).

 

Bagi jamaah haji lansia bisa melakukan nafar awal (lebih awal meninggalkan Mina) agar tidak memberatkan fisiknya.
 

Adapun mereka yang terkendala untuk melakukan lontar jumrah karena faktor sakit, halangan karena masalah hukum, lemah karena faktor usia, karena kepadatan jamaah haji, antrean panjang yang menyulitkan, atau karena uzur lainnya, dapat membadalkan lontar jumrahnya kepada jamaah haji yang mampu.

 

Pembadalan lontar jumrah diperbolehkan dalam fiqih. Pembadalan lontar jumrah tidak mewajibkan jamaah haji lansia atau risti untuk membayar dam karena lontar jumrahnya tetap sah. Hanya saja, badal lontar jumrah disyaratkan agar melontar jumrah untuk dirinya terlebih dahulu.

 

إذا عجز عن الرمي بنفسه إما لمرض أو حبس أو عذر له أن يستنيب من يرمي عنه لكن لا يصح رمي النائب عن المستنيب إلا بعد رمي النائب عن نفسه 

 

Artinya, “Bila seseorang tidak sanggup melontar sendiri karena sakit, tertahan, atau uzur, maka ia boleh meminta orang lain membadalkannya untuk melontar. Tetapi lontaran orang yang membadalkannya tidak sah kecuali setelah ia melontar untuk dirinya sendiri,” (Taqiyuddin Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 182).

 

Dari sini kemudian, kita dapat menarik simpulan bahwa jamaah haji risti (risiko tinggi), jamaah haji lansia, atau jamaah haji yang keletihan, tidak perlu memaksakan diri untuk melontar jumrah sendiri. Dia dapat meminta tolong jamaah lain yang lebih mampu secara fisik untuk membadalkan lontar jumrahnya.

 

Adapun wajib haji selain lontar jumrah ’aqabah dan lontar di hari Tasyrik, setidaknya dalam Mazhab Syafi’iyah, adalah mabit di Muzdalifah, mabit di Mina pada hari Tasyrik, ihram dari miqat, dan tawaf wada. Wallahu a‘lam.

 

Ustadz Alhafiz Kurniawan, Wakil Sekretaris LBM PBNU