Syariah

Hukum Membasmi Tikus menurut Islam

Sel, 5 September 2023 | 06:00 WIB

Hukum Membasmi Tikus menurut Islam

Hukum Membasmi Tikus Menurut Islam. (Foto: NU ONline/Freepik)

Tikus merupakan hewan pengerat yang identik dengan hal-hal kotor dan menjijikkan. Tikus juga dapat menularkan penyakit yang banyak ditemukan di tengah masyarakat. Penularan penyakit dari hewan ke manusia ataupun sebaliknya disebut dengan zoonosis. Menurut ilmu kesehatan, air liur, urin, dan darah tikus dapat mengakibatkan banyak penyakit seperti leptospirosis, Hantavirus pulmonary sindrome, dan tularemia.


Adapun tikus sendiri merupakan salah satu famili dalam ordo Rodentia (hewan pengerat). Hewan ini sering menempati lingkungan yang kotor sehingga mudah menularkan bakteri penyakit ke dalam lingkungan masyarakat. Dalam islam, tikus disebut sebagai salah satu hewan yang dijuluki dengan fawasiqul khamsah (lima hewan berbahaya). Sebagaimana sabda Rasulullah


قال رسول الله خمس فواسق يقتلن في الحل والحرم الحية والغراب الأبقع والفارة والكلب العقور والحديا


Artinya: "Rasulullah bersabda “Khamsul Fawasiq (lima hewan berbahaya) yang (boleh) dibunuh di tanah halal (di luar tanah haram) atau di tanah haram yaitu ular, gagak pemakan bangkai, tikus, anjing galak, dan rajawali”.


Dalam hadits ini, redaksi fawasiq diambil dari asal kata fisq yang bermakna keluar. Sebagaimana kata fasiq yang bermakna keluar dari ketaatan kepada Allah. Alasan penggunaan kata fisq dalam mensifati hewan-hewan ini adalah karena mereka keluar dari sarang-sarangnya untuk melakukan kerusakan serta menebarkan penyakit dan ancaman bagi kehidupan manusia (An-Nawawi Abu Zakaria, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [Beirut: Dar Ihya Turats Arabi 2009] juz.8 hal.114). Menurut pendapat yang lain, alasannya adalah karena mereka keluar dari golongan hewan-hewan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia.


أصل الفسق الخروج عن الشيء ومنه سمي هؤلاء فواسق لخروجهم عن الانتفاع بهم


Artinya: "Asal dari kata fisq adalah keluar dari sesuatu, oleh karena itu mereka (hewan-hewan tersebut) disebut dengan fawasiq karena keluarnya mereka dari kategori hewan yang bisa dimanfaatkan". (Al-Asqalani Ahmad bin Ali Ibnu Hajar, Fathul Bari Bisyarh Shahih Bukhari [Beirut: Darul Ma’rifah 2008] juz.1 hal.167)


Hadits ini menjadi dalil diperbolehkan membunuh ataupun membasmi lima hewan yang dijuluki dengan fawasiqul khamsah tersebut karena berpotensi memberikan ancaman bagi kehidupan manusia. Bahkan, kebolehan membunuh fawasiqul khamsah ini juga berlaku di tanah haram yaitu daerah sekitar kota Makkah dan kota Madinah yang notabenenya kawasan yang dilarang mengusik hewan yang hidup di dalamnya. Hal ini menjadi bukti mendesaknya pembasmian hewan-hewan yang dijuluki fawasiqul khamsah yang berkeliaran di lingkungan masyarakat.


Selain itu, Hadits ini menjadi bukti keharaman daging fawasiqul khamsah. Seandainya, hewan fawasiqul khamsah termasuk hewan yang dilarang dibunuh ketika berihram, niscaya Rasulullah tidak akan membolehkan untuk membunuh hewan fawasiqul khamsah tersebut. (Asy-Syafi’I Muhammad bin Idris, Al-Umm [Beirut: Darul Fikr 1990] juz.2 hal.271)


Sedangkan alasan mengapa hanya lima hewan ini yang dikategorikan sebagai fawasiqul khamsah adalah karena kehidupan kelima hewan ini banyak bersinggungan dengan lingkungan masyarakat. Hal ini sebagaimana yang diutarakan Ubaidillah al-Mubarakfuri


إنما اقتصر على الخمس لكثرة ملاببستها للناس بحيث يعم أذاها.


Artinya: “Adapun alasan hanya terbatasi lima hewan ini saja karena mereka (lima hewan tersebut) banyak bersinggungan dengan (kehidupan) manusia dengan bukti banyaknya bahaya (yang ditimbulkan) hewan-hewan ini”.(Al-Mubarakfuri Ubaidillah bin Muhammad, Mir’atul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih [India: Idarah al-Bu’uts al-Ilmiyyah] juz.9 hal.406)


Adapun yang perlu kita ingat dalam kebolehan membasmi tikus di sini adalah larangan menyiksa tikus yang masih dalam keadaan hidup. Hal ini dikarenakan adanya perintah untuk berbuat baik kepada hewan yang kita bunuh dengan tidak membuat mereka menderita ataupun tersiksa terlalu lama. Sebagaimana sabda Rasulullah


قال رسول الله إن الله كتب الإحسان على كل شئ فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبحة.


Artinya: "Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Allah mencatat (pahala) kebaikan terhadap segala sesuatu, maka apabila kalian membunuh hendaknya perbaikilah cara kalian membunuh, dan apabila kalian menyembelih hendaknya perbaikilah cara kalian menyembelih”.(HR.Ibnu Majah)


Selain itu, kita juga dilarang membasmi tikus dengan cara membakar tikus yang masih dalam keadaan hidup. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah


قال رسول الله لا يعذب بالنار إلا رب النار.


Artinya: "Rasulullah bersabda “Tidaklah (diperbolehkan) menyiksa dengan api kecuali Tuhan (yang menciptakan) api”.(HR.Ahmad)


Perlu dicatat di sini bahwa hewan fawasiqul khamsah boleh dibasmi ketika meresahkan di dalam lingkungan masyarakat. Seandainya mereka hidup di alam liar sebagai habitatnya, niscaya kita tidak diperkenankan mengusik kehidupan mereka. Hal ini dikarenakan, mengurangi jumlah mereka di alam liar dapat merusak keseimbangan ekosistem yang ada di wilayah tersebut. Sebagaimana kaidah fikih


الضرار يزال


Artinya: "Potensi adanya kerusakan harus dihilangkan".


Begitu juga misal ketika kehidupan hewan-hewan tersebut dilindungi oleh negara karena jumlahnya yang terancam punah, maka kita tidak boleh membasmi hewan-hewan tersebut secara sembarangan.


Kesimpulan yang dapat kita pahami dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

  1. Kebolehan membasmi tikus adalah upaya melindungi masyarakat dari bahaya penyakit yang berpotensi ditularkan oleh tikus.
  2. Larangan menggunakan alat yang dapat menyiksa dan menyakiti tikus terlalu lama dalam rangka membasmi tikus. Karena Rasulullah melarang kita menyiksa hewan.
  3. Larangan membakar tikus yang masih hidup dalam rangka membasmi tikus. Karena Rasulullah melarang hal tersebut.
  4. Larangan membasmi spesies hewan tertentu yang dilindungi keberadaannya oleh negara karena jumlahnya yang hampir punah.
  5. Larangan membasmi hewan tertentu di alam liar yang berpotensi merusak keseimbangan ekosistem di wilayah tersebut.


Ustadz Muhammad Tholchah al-Fayyadl, Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo Mesir