Syariah

Hukum Mencium Tangan Ulama menurut Empat Madzhab

Sen, 12 Februari 2024 | 18:00 WIB

Hukum Mencium Tangan Ulama menurut Empat Madzhab

Seorang santri mencium tangan Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar di rangkaian Hari Santri di Surabaya pada Sabtu (21/10/2023). (Foto: NU Online/Suwitno).

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional selain mendidik santri-santrinya pada ilmu agama secara mendalam, juga memberikan penekanan yang kuat pada aspek pembentukan karakter dan moralitas (akhlak). Di antaranya adalah santri diajarkan untuk menjadikan guru atau kyai sebagai teladan dalam berperilaku dan berakhlak mulia. 

 

Santri-santri sebagai peserta didik di pesantren juga diajarkan untuk memandang guru atau kyai sebagai sosok yang memiliki kedudukan yang tinggi dan dihormati. Hal tersebut selaras dengan apa yang disampaikan dalam kitab Ta‘limul Muta‘allim tentang adab seorang murid terhadab gurunya supaya mendapatkan ilmu yang bermanfaat:

 

اعلم أن طالب العلم لا ينال العلم ولا ينتفع به إلا بتعظيم العلم وأهله، وتعظيم الأستاذ وتوقيره

 

Artinya: “Sesungguhnya seorang murid tidak akan mendapat ilmu dan manfaatnya kecuali dengan menghormati ilmu beserta ahlinya dan menghormati guru

 

Mengingat hal tersebut, tak jarang ditemukan momen khusus yang mencerminkan budaya hormat dan sopan santun ketika para santri sowan atau bertemu dengan gurunya. Dengan penuh rasa tawadhu’ dan kekhusyukan, para santri secara lembut mencium tangan guru sebagai tanda penghormatan yang mendalam. 

 

Melalui perilaku sederhana ini, santri tidak hanya menunjukkan rasa hormat kepada pendidiknya, tetapi juga meresapi nilai-nilai etika dan tradisi yang turun-temurun di lingkungan pesantren, menciptakan hubungan guru-santri yang penuh rasa penghargaan dan kebersamaan dalam perjalanan spiritual. 

 

Dalam suasana pesantren, terjalin hubungan yang erat antara santri dan guru, di mana rasa saling menghormati dan rasa tanggung jawab bisa terbentuk, menciptakan pendidikan yang penuh kasih sayang dan peduli terhadap perkembangan pemkiran santri. Lalu, sebenarnya bagaimana hukum mencium tangan ulama’ terlebih kepada sosok guru menurut perspektif empat madzhab?

 

Hukum Mencium Tangan Ulama

Dalam kitab Mu’jamul Ausath, Imam ath-Thabrani memaparkan hukum mencium tangan guru perspektif empat madzhab, sebagaimana pernyataannya berikut:

 

اختلف أهل العلم في حكم تقبيل اليد فذهب الأئمة الثلاثة عدا الإمام مالك إلي إباحة تقبيل أيدي العلماء وأصحاب الزهد والورع والتقوي، ونحو ذلك من الأمور الدينية، وأما إذا كان لدنيا أو ثروة أو شوكة أو وجاهة أو سلطان فيكره كراهة شديدة. أما الإمام مالك فذهب إلي كراهة تقبيل اليد علي العموم حتي ولو كانت هذه اليد هي يد الوالدين معللًا ذلك بأن هذا من فعل الأعاجم ويدعو إلي الكِبْر ورؤية النفس 

 

Artinya: “Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mencium tangan; ketiga madzhab selain madzhab Maliki berpendapat akan kebolehan mencium tangan para ulama, orang-orang zuhud, wira’i dan takwa, dan lain sebagainya yang masih berhubungan dengan urusan agama. 

Adapun ketika mencium tangan seseorang dalam rangka untuk menghormati pangkat, kekuasan, dan hal-hal lain yang masih berhubungan dengan urusan-urusan dunia, maka hukumnya adalah sangatlah makruh.

Sedangkan Imam Malik berpendapat akan kemakruhan mencium tangan secara global, bahkan meskipun tangan yang dicium adalah tangan kedua orang tua. Beliau berargumentasi karena perbuatan tersebut merupakan tradisi orang-orang ‘Ajam dan dapat menjadikan rasa sombong bagi orang yang dicium tangannya.” (Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrani, Mu’jamul Ausath, [Kairo: Darul Haramain, 1995 M], juz. 1, hal. 205).

 

Sementara itu, Imam Nawawi menyebutkan bahwa mencium tangan seseorang dalam rangka menghormati dan memuliakan yang kaitannya dengan akhirat dihukumi sunah.

 

قال النووي: وَأَمَّا تَقْبِيلُ الْيَدِ، فَإِنْ كَانَ لِزُهْدِ صَاحِبِ الْيَدِ وَصَلَاحِهِ، أَوْ عِلْمِهِ أَوْ شَرَفِهِ وَصِيَانَتِهِ وَنَحْوِهِ مِنَ الْأُمُورِ الدِّينِيَّةِ، فَمُسْتَحَبٌّ، وَإِنْ كَانَ لِدُنْيَاهُ وَثَرْوَتِهِ وَشَوْكَتِهِ وَوَجَاهَتِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ، فَمَكْرُوهٌ شَدِيدُ الْكَرَاهَةِ، وَقَالَ الْمُتَوَلِّي: لَا يَجُوزُ، وَظَاهِرُهُ التَّحْرِيمُ

 

Artinya: “Imam Nawawi berkata bahwa mencium tangan seseorang dalam rangka menghormati sifat zuhudnya, salihnya, ilmunya, kemuliaannya, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan akhirat, maka hukumnya adalah sunah. Namun jika mencium tangan seseorang dalam rangka pangkat, derajat, dan hal-hal lain yang masih berhubungan dengan urusan dunia, maka hukumnya adalah sangat makruh.” (Imam an-Nawawi, Raudhatut Thalibin, [Beirut: al-Maktab al-Islami, 1991 M], juz. 10, hal. 236)

 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum mencium tangan ulama menurut madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali adalah boleh, bahkan sunah dalam madzhab Syafi’i, selama tujuannya adalah dalam rangka menghormati keilmuannya, sifat zuhud, wara, dan hal-hal yang berkaitan dengan akhirat. Tetapi jika dalam rangka menghormati akan pangkat dunianya maka hukumnya adalah sangat makruh.

 

Sedangkan menurut madzhab Maliki, hukum mencium tangan baik karena dalam rangka menghormati seseorang akan urusan akhirat ataupun dunia, adalah makruh, karena dapat menjadikan rasa sombong bagi orang yang dicium tangannya.

 

M Ryan Romadhon, Alumnus Ma'had Aly Al-Iman Purworejo.