Syariah

Hukum Menerima Hewan Kurban dari Non-Muslim

Sab, 15 Juni 2024 | 22:00 WIB

Hukum Menerima Hewan Kurban dari Non-Muslim

Menerima kurban dari Non-Muslim. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Idul Adha memang merupakan momen yang sangat tepat untuk saling berbagi. Hari raya ini mengingatkan umat Islam akan pentingnya pengorbanan dan kedermawanan. Idul Adha bukan hanya tentang ritual keagamaan, tetapi juga tentang memperkuat hubungan sosial dan menunjukkan rasa kemanusiaan. Berbagi di momen ini bukan hanya memenuhi tuntutan agama, tetapi juga memperkaya jiwa dan mempererat ikatan sosial dalam masyarakat. 


Oleh sebagian saudara kita yang Non-Muslim, momen ini dimanfaatkan juga untuk saling berbagi kepada orang-orang Islam dengan memberikan hewan kurban berupa sapi atau kambing kepada mereka. Pertanyaannya, bolehkah menerima hewan kurban dari Non-Muslim?. Berikut penjelasannya. 


Terkait dengan pemberian sapi dari Non-Muslim dengan nama kurban tentu itu tidak dapat disebut sebagai kurban dalam arti sesungguhnya. Sebab kurban itu adalah ibadah yang disyaratkan islamnya orang yang berkurban. 


الشَّرْطُ الأَْوَّل: الإِْسْلاَمُ، فَلاَ تَجِبُ عَلَى الْكَافِرِ، وَلاَ تُسَنُّ لَهُ، لأَِنَّهَا قُرْبَةٌ، وَالْكَافِرُ لَيْسَ مِنْ أَهْل الْقُرَبِ


Artinya: "Syarat pertama: Islam, maka tidak wajib bagi Non-Muslim​​​​​​​, dan tidak disunnahkan baginya, karena (kurban) adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan Non-Muslim​​​​​​​​​​​​​​ tidak termasuk ahli mendekatkan diri kepada Allah." (Kementerian Waqaf, Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Darus Salasil: 1427 H], juz V halaman 79). 


Selain itu, ibadah kurban adalah ibadah yang membutuhkan niat. Ulama sepakat bahwa keabsahan kurban membutuhkan niat. Karena ibadah dengan menyembelih hewan itu sangat banyak macamnya seperti dam (denda) haji tamattu', qiran, ihsar, denda karena berburu, kafarat sumpah, dan lain-lain dari larangan-larangan haji dan umrah. Maka kurban tidak menjadi tertentu di antara ibadah-ibadah ini kecuali dengan adanya niat berkurban.


Kemudian syarat sahnya niat adalah dilaksanakan oleh orang Islam. Maka dengan demikian kurban dari Non-Muslim tidak dapat disebut sebagai kurban dalam arti yang sesungguhnya, yakni menyembelih hewan pada tanggal 10 sampai dengan 13 Dzulhijjah untuk mendekatkan diri kepada Allah. 


Ibadah kurban selain untuk meningkatkan spiritualitas juga mengandung nilai kepedulian sosial. Hal ini dapat terlihat dengan keharusan mendistribusikan daging kurban kepada orang-orang yang membutuhkan, termasuk fakir miskin, tetangga, dan kerabat. Tidak diragukan lagi ini dapat mempererat tali persaudaraan, solidaritas, dan kepedulian antar sesama. 


Dalam konteks Indonesia yang penduduknya tidak hanya beragama Islam, apa yang dilakukan saudara-saudara kita Non-Muslim untuk memberikan hewan pda momentum Idul Adha ini perlu diapresiasi sebagai wujud kepedulian antar sesama, saling berbagi, dan untuk merawat toleransi serta kerukunan antar umat beragama. 


Dalam pandangan Islam, apa yang dilakukan itu memang tidak dapat dinamakan sebagai ibadah kurban. Sekalipun demikian, pemberian sapi atau kambing dari Non-Muslim tetap bernilai sedekah yang mempunyai faedah kebaikan bagi mereka diantaranya adalah dilapangkan rezeki dan kehidupannya. Berkaitan dengan hal ini Imam An-Nawawi mengatakan: 


أَمَّا إذَا فَعَلَ الْكَافِرُ الْأَصْلِيُّ قُرْبَةً لَا يُشْتَرَطُ النِّيَّةُ لِصِحَّتِهَا كَالصَّدَقَةِ وَالضِّيَافَةِ وَصِلَةِ الرَّحِمِ وَالْإِعْتَاقِ وَالْقَرْضِ وَالْعَارِيَّةِ وَالْمِنْحَةِ وَأَشْبَاهِ ذَلِكَ فَإِنْ مَاتَ عَلَى كُفْرِهِ فَلَا ثَوَابَ لَهُ عَلَيْهَا فِي الآخرة لكن يطعم بها في الذنيا وَيُوَسَّعُ فِي رِزْقِهِ وَعَيْشِهِ وَإِنْ أَسْلَمَ فَالصَّوَابُ الْمُخْتَارُ أَنَّهُ يُثَابُ عَلَيْهَا فِي الْآخِرَةِ لِلْحَدِيثِ الصَّحِيحِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ " إذَا أَسْلَمَ الْعَبْدُ فَحَسُنَ إسْلَامُهُ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ حَسَنَةٍ كَانَ زَلَفَهَا " أَيْ قَدَّمَهَا وَمَعْنَى حَسُنَ إسْلَامُهُ أَيْ أَسْلَمَ إسْلَامًا مُحَقَّقًا لَا نِفَاقَ فِيهِ


Artinya: "Adapun jika seorang kafir asli melakukan perbuatan baik (qarabah) yang tidak memerlukan niat dalam keabsahannya seperti sedekah, menjamu tamu, menyambung silaturahim, memerdekakan budak, memberikan pinjaman, meminjamkan barang, memberikan hadiah, dan yang semacamnya, maka jika dia mati dalam keadaan kafir, dia tidak akan mendapatkan pahala atas perbuatan tersebut di akhirat, tetapi dia akan diberi makan dengannya di dunia dan dilapangkan rezekinya serta kehidupannya. Namun, jika dia masuk Islam, maka pendapat yang benar dan terpilih adalah dia akan mendapatkan pahala atas perbuatan tersebut di akhirat. Hal ini berdasarkan hadits shahih bahwa Rasulullah saw bersabda, 'Jika seorang hamba masuk Islam dan Islamnya baik, maka Allah akan mencatat baginya setiap kebaikan yang pernah dia lakukan sebelumnya.' Maksud dari 'Islamnya baik' adalah dia masuk Islam dengan sebenar-benarnya, tanpa ada kemunafikan." (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmû' Syarh al-Muhadzdzab, [Beirut: Darul Fikr: t.th], Juz III, halaman 4).


Kemudian terkait hukum menerima kurban dari Non-Muslim hukumnya diperbolehkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya sebagai berikut: 


بَاب قَبُولِ الْهَدِيَّةِ مِنْ الْمُشْرِكِينَ وَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ ﷺ هَاجَرَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام بِسَارَةَ فَدَخَلَ قَرْيَةً فِيهَا مَلِكٌ أَوْ جَبَّارٌ فَقَالَ أَعْطُوهَا آجَرَ وَأُهْدِيَتْ لِلنَّبِيِّ ﷺ شَاةٌ فِيهَا سُمٌّ وَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ أَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِيِّ ﷺ بَغْلَةً بَيْضَاءَ وَكَسَاهُ بُرْدًا وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ


Artinya: “Bab (kebolehan) menerima hadiah dari orang-orang musyrik. Abu Hurairah berkata dari Nabi bahwa Nabi Ibrahim Hijrah bersama Sarah (istrinya), lalu memasuki daerah yang di dalamnya ada sosok raja atau sang diktator, sang raja berkata, berilah dia hadiah. Nabi Muhammad diberi hadiah kambing yang terdapat racunnya. Abu Hamid berkata; Raja Ayla memberi hadiah kepada Nabi keledai putih dan selimut serta menyurati Nabi di negara mereka.” (HR. al-Bukhari)


​​​​​​​
Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo