Syariah

Hukum Tawaf dengan Skuter bagi Non-Lansia

Kam, 6 Juni 2024 | 17:00 WIB

Hukum Tawaf dengan Skuter bagi Non-Lansia

Jamaah di Masjidil Haram sedang melakukan tawaf menggunakan skuter. (Foto: Ist.)

Tawaf merupakan salah satu rukun haji yang harus dilaksanakan oleh semua umat Islam yang sedang menunaikan ibadah haji. Dalam praktiknya, tawaf dilakukan dengan cara mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran berlawanan dengan arah jarum jam. Ritual ini harus dilakukan oleh semua jamaah haji dan umrah, sebagai bentuk patuh dan mengikuti semua aturan dalam ibadah haji.


Berkaitan dengan kewajiban tawaf saat menunaikan ibadah haji dan umrah, Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj, yaitu:


وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ


Artinya: “Dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah tua (Baitullah).” (QS Al-Hajj, [22]: 29).


Tawaf dengan mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali mengajarkan kesabaran kepada semua kaum Muslim yang sedang menjalaninya. Dalam kondisi yang penuh dengan kerumunan dan panas, menjalani tawaf dengan sabar dan khusuk merupakan ujian iman yang harus dilakukan dengan penuh ikhlas. Sehingga tawaf tidak hanya menjadi ibadah saja, namun juga latihan untuk meningkatkan kesabaran.


Namun dalam praktiknya, seiring dengan kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi, banyak jamaah haji yang melaksanakan tawaf dengan menggunakan skuter, yaitu sejenis kendaraan bermotor. Saat ini praktik tawaf dengan skuter tidak hanya dilakukan oleh orang-orang lansia saja, namun non-lansia pun banyak menggunakannya. Lantas, bagaimana sebenarnya hukum menggunakan skuter bagi non-lansia ketika mengerjakan tawaf? 


Hukum Non-lansia Menggunakan Skuter

Perlu diketahui bahwa tawaf merupakan salah satu rukun haji yang wajib dilakukan oleh semua jamaah haji. Karenanya, ritual ini harus benar-benar dilakukan dengan baik dan sempurna. Dengan sempurnanya tawaf juga akan berpengaruh pada sempurnanya haji, begitu juga sebaliknya. Jika dilakukan dengan sembrono, maka akan berpengaruh pada haji.


Berkaitan dengan tawaf yang sempurna dan lebih utama, jemaah haji yang sedang mengerjakan tawaf pada hakikatnya sangat dianjurkan untuk menjalani rukun haji ini dengan jalan kaki. Sebab dengan jalan kaki, mereka bisa lebih menghayati makna dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Karena itu, para ulama menilai bahwa tawaf dengan jalan kaki lebih utama daripada tawaf dengan menggunakan kendaraan.


Hanya saja di waktu-waktu tertentu, tawaf menggunakan skuter juga tetap dinilai utama jika mereka yang sedang bertawaf dalam keadaan uzur, seperti lumpuh, lanjut usia, tidak mampu jalan kaki dan lain sebagainya. Selain karena uzur, tawaf dengan berkendaraan juga diperbolehkan jika hal itu dengan tujuan agar tampak jelas kepada jamaah yang lain dan agar mereka mengikuti gerakannya.


Sedangkan jika tidak karena beberapa alasan di atas, maka tawaf menggunakan kendaraan, seperti skuter hukumnya diperbolehkan dan tidak makruh, hanya saja perbuatan ini dinilai menyalahi yang utama (khilaful aula). Berkaitan dengan hal ini, Imam Abu Zakaria Muhyiddin an-Nawawi (wafat 676 H), dalam kitabnya mengatakan:


اَلْاَفْضَلُ أَنْ يَطُوْفَ مَاشِيًا وَلاَ يَرْكَبُ اِلاَّ لِعُذْرِ مَرَضٍ أَوْ نَحْوِهِ أَوْ كَانَ مِمَّنْ يَحْتَاجُ النَّاسُ إِلىَ ظُهُوْرِهِ لَيُسْتَفْتَى وَيُقْتَدَى بِفِعْلِهِ فَاِنْ طَافَ رَاكِبًا بِلاَ عُذْرٍ جَازَ بِلاَ كَرَاهَةٍ لَكِنَّهُ خَالَفَ الْاَوْلىَ


Artinya: “Yang paling utama (bagi orang yang bertawaf) adalah tawaf dengan jalan kaki dan tidak menaiki kendaraan, kecuali karena ada uzur sakit atau sesamanya, atau ia (orang yang tawaf) merupakan orang yang dibutuhkan manusia kejelasan (gerakan) nya, untuk diambil fatwa atau diikuti pekerjaannya. Sedangkan jika tawaf dengan menaiki kendaraan tanpa adanya uzur, maka diperbolehkan tanpa makruh, hanya saja menyalahi yang utama.” (Imam Nawawi, Majmu’ Syarhil Muhadzab, [Kairo: Idarah at-Thaba’ah, 1347], juz VIII, halaman 27).


Dalam penjelasan yang lain, Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa tawaf dengan menaiki kendaraan atau skuter juga tidak mewajibkan dam (menyembelih hewan berupa kambing, sapi atau onta yang sah untuk digunakan berkurban). Beliau mengatakan:


اِنَّ الطَّوَافَ مَاشِيًا أَفْضَلُ فَاِنْ طَافَ رَاكِبًا بِلاَ عُذْرٍ فَلاَ دَمَ عَلَيْهِ


Artinya: “Sungguh tawaf jalan kaki itu lebih utama. Sedangkan jika tawaf menaiki kendaraan tanpa adanya uzur, maka tidak wajib dam baginya.” (Imam Nawawi, juz VIII, halaman 59).


Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Imam Abul Khair Muhammad bin Musa al-Imrani (wafat 558 H), dalam kitabnya yang menjelaskan bahwa tawaf dengan mengendarai kendaraan hukumnya diperbolehkan. Hanya saja, yang lebih utama tetaplah tawaf dengan jalan kaki. Karena, tawaf dengan menggunakan kendaraan akan memadati tempat dan mengganggu orang-orang yang juga akan mengerjakan tawaf. Dalam kitabnya ia mengatakan:


وَالْأَفْضَلُ أَنْ يَطُوْفَ مَاشِيًا لِأَنَّ النَّبِي طَافَ مَاشِيًا فِي أَكْثَرِ طَوَافِهِ، وَلِأَنَّهُ إِذَا طَافَ رَاكِبًا زَاحَمَ النَّاسُ وَآذَاهُمْ بِدَابَتِهِ، وَلِأَنَّ الْقِيَامَ فِي الْعِبَادَةِ أَفْضَلُ مِنَ الْقُعُوْدِ. فَإِنْ طَافَ رَاكِبًا جَازَ، سَوَاء كَانَ لِعُذْرٍ أَوْ لِغَيْرِ عُذْرٍ


Artinya: “Dan yang paling utama adalah tawaf dengan jalan kaki, karena Nabi Muhammad tawaf jalan kaki dalam kebanyakan tawafnya, juga tawaf dengan menaiki kendaraan akan mempersempit orang lain dan mengganggu mereka dengan hewannya (kendaraannya), dan juga berdiri ketika ibadah lebih utama dari duduk. Sedangkan jika tawaf dengan menaiki kendaraan hukumnya diperbolehkan, baik karena uzur atau tidak.” (Imam al-Imrani, al-Bayan fi Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, tt], juz IV, halaman 272). 


Berbeda dengan pendapat di atas, Syekh Syihabuddin Abul Abbas al-Adzra’i, dalam kitabnya mengutip pendapat Imam asy-Syafi’i dalam kitab al-Um mengatakan bahwa tawaf dengan cara menaiki kendaraan hukumnya makruh jika tidak ada uzur. Dalam kitabnya ia menyebutkan:


نَصَّ الشَّافِعِي فِي الْأُمِّ عَلىَ كَرَاهِيَةِ الطَّوَافِ رَاكِبًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ


Artinya, “Imam Syafi’i mencatat dalam kitab al-Um, kemakruhan tawaf dengan menaiki kendaraan jika tidak karena uzur.” (Syekh Syihabuddin al-Adzra’i, Qutul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, tt], juz I, halaman 705).


Simpulan Hukum

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mengerjakan tawaf dengan menggunakan skuter bagi non-lansia hukumnya diperbolehkan. Hanya saja, perbuatan semacam ini lebih utama tidak dilakukan, karena dinilai menyalahi yang utama, sekaligus ada ulama yang mengatakan bahwa tawaf dengan menaiki kendaraan hukumnya makruh. Wallahu a’lam bisshawab.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.