Syariah

Ini Cara Baca Doa Qunut yang Benar bagi Imam

Ahad, 17 Maret 2024 | 17:00 WIB

Ini Cara Baca Doa Qunut yang Benar bagi Imam

Ilustrasi cara baca doa qunut yang benar bagi Imam. (NU Online).

Pada separuh akhir bulan Ramadhan umat Islam disunahkan membaca doa qunut dalam rakaat terakhir shalat witir. Yaitu dengan ketentuan dan tata cara yang sama dengan qunut shalat subuh. Dalam satu hadits disebutkan: 
 

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ جَمَعَ النَّاسَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ فَكَانَ يُصَلِّي لَهُمْ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَلَا يَقْنُتُ بِهِمْ إِلَّا فِي النِّصْفِ الْبَاقِي 
 

Artinya, “Umar bin Al-Khattab ra mengumpulkan orang-orang kepada Ubay bin Ka'b. Dia shalat berjamaah bersama mereka selama dua puluh malam dan tidak membaca doa qunut kecuali pada paruh akhir Ramadhan.” (HR Abu Dawud).
 

Dalam membaca doa qunut, imam dianjurkan untuk membaca doa dengan lantang, dan bagi makmum yang mendengarkan bacaan imam, dianjurkan untuk membaca “amin”. Kecuali pada bagian tsana’ (puji-pujian kepada Allah), yaitu mulai pada lafal “fainnaka taqdhi”, maka makmum dianjurkan untuk membaca sendiri dengan lirih bersamaan dengan bacaan imam. 
 

Pada pelaksanaannya, saat imam membaca puji-pujian, biasanya sebagian imam ada yang membaca dengan lirih karena makmum tidak dianjurkan membaca “amin”. Sehingga praktik yang ditemukan adalah imam dan makmum semua membaca puji-pujian sendiri-sendiri dengan lirih. Benarkah demikian?

Dalam menanggapi permasalahan ini, para ahli fiqih mengatakan ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, bisa jadi imam membaca lirih, sama dengan makmum, sebagaimana saat membaca dzikir-dzikir shalat, seperti membaca tasbih rukuk dan sujud, yang mana imam membacanya dengan lirih sama seperti makmum.   
 

Kemungkinan kedua, imam membaca puji-pujian dengan lantang. Artinya bacaan qunut imam semuanya dibaca dengan lantang dan tidak ada yang dibaca lirih. Sebagaimana saat imam membaca doa meminta rahmat, meminta perlindungan dari neraka di dalam shalat, anjurannya imam membaca dengan lantang dan didengar oleh makmum. 
 

Dari dua kemungkinan di atas, ulama lebih condong pada kemungkinan kedua, yakni imam tetap membaca lantang pada bacaan puji-pujian. Sehingga praktik yang seharusnya dilakukan adalah imam membaca semua bacaan qunut dengan lantang, sedangkan makmum membaca “amin” dari awal qunut dan ketika sampai redaksi “fainnaka taqdhi”, maka makmum membaca puji-pujian sendiri secara lirih lirih bersamaan bacaan imam yang keras. 
 

Syekh Zakaria Al-Anshari menjelaskan dalam kitab Asnal Mathalib:
 

قَوْلُهُ: وَفِي الثَّنَاءِ يُشَارِكُ إلَخْ  إذَا قُلْنَا إنَّ الثَّنَاءَ يُشَارِكُهُ فِيهِ الْمَأْمُومُ فَفِي جَهْرِ الْإِمَامِ بِهِ نَظَرٌ يُحْتَمَلُ أَنْ يُقَالَ يُسِرُّ كَمَا فِي غَيْرِهِ مِمَّا يَشْتَرِكَانِ فِيهِ وَيُحْتَمَلُ الْجَهْرُ كَمَا إذَا سَأَلَ الرَّحْمَةَ ، أَوْ اسْتَعَاذَ مِنْ النَّارِ وَنَحْوِهَا فَإِنَّ الْإِمَامَ يَجْهَرُ بِهِ وَيُوَافِقُهُ فِيهِ الْمَأْمُومُ وَلَا يُؤَمِّنُ كَمَا قَالَهُ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ وَقَوْلُهُ وَيُحْتَمَلُ الْجَهْرُ أَشَارَ إلَى تَصْحِيحِهِ 
 

Artinya, “Ungkapan: "Dia turut serta dalam membaca puji-pujian ..."  Jika kita katakan bahwa makmum turut serta dalam membaca puji-pujian bersama imam, maka hukum imam membaca puji-pujian dengan suara keras ada pertimbangan.
 

Yaitu ia membaca lirih, seperti halnya pada dzikir lain yang sama-sama dibaca oleh imam dan makmum; dan boleh jadi ia mengucapkan puji-pujiannya dengan lantang, seperti saat dia meminta ampun, atau mencari perlindungan dari Neraka dan semisalnya, sungguh imam mengucapkannya dengan lantang. Sementara makmum membaca bacaan yang sama dan tidak membaca “amin”, seperti yang dikatakan oleh An-Nawawi dalam Syarhul Muhaddzab.
 

Adapun ungkapan penulis kitab: “Mungkin diucapkan dengan lantang,” menunjukkan penilaian shahih atau benar pada pendapat tersebut.” (Zakaria Al-Anshari, Asnal Mathalib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2013], juz II, Halaman 434).
 

Penyataan yang sama juga disampaikan oleh Imam Ar-Ramli dalam kitab Nihayah:
 

وَأَنَّهُ يَقُولُ الثَّنَاءَ سِرًّا وَهُوَ مِنْ فَإِنَّك تَقْضِي إلَى آخِرِهِ، أَوْ يَسْتَمِعُ لَهُ لِأَنَّهُ ثَنَاءٌ وَذِكْرٌ لَا يَلِيقُ بِهِ التَّأْمِينُ وَالْمُشَارَكَةُ أَوْلَى كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ، وَالثَّانِي يُؤَمِّنُ فِيهِ أَيْضًا، وَإِذَا قُلْنَا بِمُشَارَكَتِهِ فِيهِ فَفِي جَهْرِ الْإِمَامِ بِهِ نَظَرٌ، يُحْتَمَلُ أَنْ يُقَالَ: يُسِرُّ بِهِ كَمَا فِي غَيْرِهِ مِمَّا يَشْتَرِكَانِ فِيهِ، وَيُحْتَمَلُ وَهُوَ الْأَوْجَهُ الْجَهْرُ بِهِ كَمَا إذَا سَأَلَ الرَّحْمَةَ أَوْ اسْتَعَاذَ مِنْ النَّارِ وَنَحْوِهَا فَإِنَّ الْإِمَامَ يَجْهَرُ بِهِ وَيُوَافِقُهُ فِيهِ الْمَأْمُومُ وَلَا يُؤَمِّنُ كَمَا قَالَهُ فِي الْمَجْمُوعِ
 

Artinya, “Dan (pendapat pertama-red) makmum mengucapkan puji-pujian secara lirih, yaitu dari lafal “fainnaka taqdh ...”; atau hendaknya dia mendengarkan imam, karena itu adalah puji-pujian dan zikir yang tidak patut dibacakan “amin”. Tapi membaca bersama imam lebih baik. Pendapat kedua, makmum tetap membaca “amin”.
 

Jika kita berpendapat makmum ikut membaca bersama imam, maka ada pertimbangan mengenai kerasnya bacaan imam.
 

Bisa dikatakan (1) imam membaca puji-pujian secara lirih seperti bacaan dzikir- dzikir lain yang sama-sama dibaca oleh imam dan makmum; dan (2) boleh jadi, dan ini pendapat aujah atu lebih kuat, imam membaca puji-pujian dengan lantang, seperti halnya saat imam meminta ampun atau berlindung dari api neraka dan semisalnya, karena Imam dianjurkan mengucapkannya dengan suara lantang. Makmum juga membaca puji-puiian yang sama dan tidak membaca “amin”, seperti pendapat Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’.” (Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2009] Juz I, Halaman 319)
 

Berdasarkan pendapat aujah atau yang lebih kuat tersebut, jika imam membaca puji-pujian dengan lirih, maka ia mendapat pahala doa qunut, tapi tidak mendapat pahala anjuran melantangkan bacaan, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Hasyiyatul Jamal
 

قَوْلُهُ أَيْضًا وَأَنْ يَجْهَرَ بِهِ إمَامٌ أَيْ : حَتَّى فِي الثَّنَاءِ ... فَإِنْ أَسَرَّ الْإِمَامُ بِالدُّعَاءِ حَصَّلَ سُنَّةَ الْقُنُوتِ وَفَاته سُنَّةُ الْجَهْرِ خِلَافًا لِمَا اقْتَضَاهُ كَلَامُ الْحَاوِي الصَّغِيرِ مِنْ فَوَاتِهِمَا ا هـ شَرْحُ م ر
 

 Artinya, “Ungkapan: "Hendaknya imam membaca qunut dengan lantang", artinya meskipun sampai bacaan puji-pujian ... Jika imam membaca doa qunut dengan lirih, maka dia telah memenuhi kesunahan qunut tapi terlewat mendapatkan kesunahan membacanya secara suara keras. Hal ini berbeda dengan pendapat Al-Hawi Al-Saghir yang menyatakan hilangnya pahala kedua-duanya. Demikian penjelasan dari syarah Ar-Ramli.” (Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyatul Jamal, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2013] Juz II, Halaman 72)
 

Uraian di atas dapat disederhanakan, bahwa praktik membaca doa qunut yang benar dalam jamaah adalah sebagai berikut:

  1. Imam membaca semua bacaan doa qunut dengan suara keras, termasuk ketika membaca puji-pujian mulai redaksi “fainnaka taqdhi” dan seterusnya. 
  2. Makmum mendengarkan bacaan doa qunut imam dan menyambutnya dengan membaca “amin”, kecuali ketika imam sampai lafal “fainnaka taqdhi”, maka makmum membaca sendiri pujian-pujian tersebut secara lirih bersamaan dengan bacaan imam yang keras. Wallahu a’lam.
 

Ustadz Muhammad  Zainul Millah, Pengasuh Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar Jawa Timur.