Syariah

Ini Hikmah di Balik Pembagian Daging Segar Hewan Kurban

Sabtu, 18 Agustus 2018 | 08:00 WIB

Ini Hikmah di Balik Pembagian Daging Segar Hewan Kurban

Pelajar di Sidoarjo, Jawa Timur, membagikan daging kurban. (Foto ilustrasi: NU Online)

Ibadah kurban berbeda dengan ibadah aqiqah. Daging hewan kurban dianjurkan pembagiannya dalam bentuk daging segar atau daging mentah. Sedangkan daging hewan aqiqah dianjurkan pembagiannya dalam kondisi masak atau matang siap santap. Hal ini tentu menyimpan maksud pensyariatannya.
 
Hal ini disampaikan oleh KH Afifuddin Muhajir. Menurutnya, daging kurban dibagikan dalam bentuk daging segar atau daging mentah sehingga sebuah ibadah kurban tidak memadai bila daging hewan kurbannya dibagikan dalam keadaan masak atau matang.
 
ويطعم) وجوبا من أضحية التطوع (الفقراء والمساكين) على سبيل التصدق بلحمها نيئا فلا يكفي جعله طعاما مطبوخا ودعاء الفقراء إليه ليأكلوه والأفضل التصدق بجميعها إلا لقمة أو لقمتين أو لقما
 
Artinya, “Orang yang berkurban wajib (memberi makan) dari sebagian hewan kurban sunnah (kepada orang fakir dan miskin) dengan jalan penyedekahan dagingnya yang masih segar. Menjadikan dagingnya sebagai makanan yang dimasak dan mengundang orang-orang fakir agar mereka menyantapnya tidak memadai sebagai ibadah kurban. Yang utama adalah menyedekahkan semua daging kurban kecuali sesuap, dua suap, atau beberapa suap,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Al-Maktabah Al-Asadiyyah: 2014 M/1434 H] halaman 208).
 
Meskipun Syekh Abu Syuja dalam Taqrib menyebut pembagiannya dengan kata “memberi makan” yang menyarankan pembagian daging dalam kondisi masak atau matang, maksud dari kata itu sebenarnya adalah pembagian daging hewan kurban dalam kondisi daging mentah yang nanti bisa diolah sesuai selera oleh penerimanya.
 
Ketentuan ini tentu saja bukan tanpa alasan. Syekh M Ibrahim Baijuri mengatakan bahwa pembagian kurban dalam bentuk daging mentah memberikan kesempatan bagi fakir dan miskin untuk menjual kembali daging tersebut atau melakukan transaksi lain seperti memberikan utangan daging atau menggadaikannya kepada orang lain.
 
Dengan kesempatan demikian, orang fakir dan miskin yang menerima daging tersebut berdaulat penuh atas daging yang diterimanya. Dengan penjualan daging tersebut, mereka dapat memenuhi keperluannya yang lain.
 
ويشترط في اللحم أن يكون نيئا ليتصرف فيه من يأخذه بما شاء من بيع وغيره كما في الكفارات  فلا يكفي جعله طعاما مطبوخا ودعاء الفقراء إليه ليأكلوه كما يوهمه قول المصنف
 
Artinya, “Daging kurban itu disyaratkan daging segar agar orang yang menerimanya dapat mendayagunakannya baik itu penjualan maupun transaksi lainnya sebagaimana pada kasus kaffarah sehingga tidak memadai menjadikannya sebagai makanan masak dan mengundang orang-orang fakir untuk menyantapnya seperti dikira oleh perkataan penulis matan (Abu Syuja‘),” (Lihat Syekh M Ibrahim Baijuri, Hasyiyatul Baijuri, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 311).
 
Menjual hewan kurban jelas mubah. Lalu bagaimana dengan menjual daging kurban?
 
Orang yang berkurban diharamkan menjual sedikit pun bagian dari hewan kurbannya. Sedangkan penerima daging kurban yang fakir atau miskin berhak untuk menjual, menggadaikan, memberikan utangan daging kepada orang lain. Syekh Sa‘id bin Muhammad Ba‘asyin dalam karyanya Busyral Karim Bisyarhi Masa’ilit Ta‘lim mengatakan sebagai berikut:
 
وللفقير التصرف فيه ببيع وغيره أي لمسلم، بخلاف الغني إذا أرسل إليه شيء أو أعطيه، فإنما يتصرف فيه بنحو أكل وتصدق وضيافة، لأن غايته أنه كالمضحي
 
Artinya, “Sementara orang dengan kategori faqir boleh mendayagunakan daging kurban seperti menjualnya atau transaksi selain jual-beli kepada orang Muslim. Berbeda dengan orang kaya yang menerima daging kurban. Ia (orang kaya) boleh mendayagunakan daging itu hanya untuk dikonsumsi, disedekahkan kembali, atau menjamu tamunya. Karena kedudukan tertinggi dari orang kaya sejajar dengan orang yang berkurban.”
 
Dari pelbagai keterangan ini, kita dapat melihat dengan jelas bahwa ibadah kurban merupakan ibadah mulia yang memberikan keberkahan bagi umat Islam, yaitu mereka yang berkurban, orang kaya yang menerima kurban, dan orang miskin yang menerima kurban. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)