Syariah

Kajian Hadits tentang Tajdid atau Pembaharuan dalam Agama

Jumat, 23 Agustus 2024 | 22:15 WIB

Kajian Hadits tentang Tajdid atau Pembaharuan dalam Agama

Kajian hadits tentang tajdid atau pembaharuan dalam agama (NU Online).

Kesempurnaan Islam tersirat saat Rasulullah saw melaksanakan haji wada'. Pada hari Arafah beliau menerima wahyu:
 

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا
 

Artinya, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu sekalian, dan telah Ku-cukupkan kepadamu sekalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu sekalian" (QS Al-Maidah: 3).
 

Ayat ini membawa kabar gembira bagi kaum muslimin karena Allah telah menyempurnakan dan meridhai agama Islam. Namun pada waktu yang sama ayat juga mengisyaratkan kabar duka, karena jika Islam telah sempurna, artinya tugas Rasulullah saw di dunia sebagai pembawa risalah telah paripurna. Benar saja, tiga bulan setelahnya, Rasulullah wafat. 
 

5 Ceriminan Kesempurnaan Islam

Saat ditinggalkan Rasulullah saw, agama ini telah mapan dan sempurna. Ibnu 'Asyur menjelaskan, kesempurnaan agama Islam tercerminkan dalam lima hal.

  1. Ajarannya benar-benar diamalkan.
  2. Kedigdayaan.
  3. Penyebaran ajaran.
  4. Penjagaan dari hal-hal menyimpang.
  5. Menghalangi segala sesuatu yang dapat merusak keimanan atau mengancam kedaulatan. (Jamharatu Maqalat wa Rasa'il, [Amman: Darun Nafa'is, 2015], juz I, halaman 135).
     

Namun, kehidupan manusia selalu berubah dari masa ke masa. Pergantian masa meniscayakan adanya suatu perubahan dalam segala sektor kehidupan, tidak terkecuali sektor keagamaan. Agama yang telah sempurna saat ditinggalkan Rasulullah saw, juga tak luput dari keniscayaan itu. Di sisi lain, agama Islam sudah dijamin akan terus eksis hingga hari akhir.
 

Agama dan Perubahan

Lalu, bagaimana Allah menjaga agama ini tetap asli di tengah arus perubahan zaman yang tak pernah berhenti dan telah mangkatnya Sang Rasul terakhir?
 

Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah saw sebagai berikut:
 

إن الله عز وجل يبعث لهذه الأمة على رأس كلِّ مِئة سنةٍ من  يُجَدِّدُ  لها دينَها
 

Artinya, "Sesungguhnya Allah setiap seratus tahun mengutus orang yang memperbaharui agama untuk umat ini." (HR Abu Dawud). (Sunan Abi Dawud, [Beirut: Darur Risalah, 2009], juz VI, halaman 349).
 

Hadits di atas menunjukkan bagaimana Allah menjaga agama Islam dalam kondisi yang telah dijelaskan, yaitu dengan mengutus mujaddid atau pembaharu. Hadits ini perlu kita kaji secara mendalam agar mendapatkan pemahaman yang benar, karena banyak yang masih keliru memahami makna hadits di atas, khususnya dalam mendefinisikan tajdid atau pembaharuan.
 

Makna Tajdid

Tajdid adalah bentuk mashdar dari kata jaddada. Abu Nashr Al-Jauhari mendefinisikan kata tersebut sebagai berikut:
 

جدده أي صيره جديدا
 

Artinya, "Men-tajdid sesuatu, artinya menjadikan sesuatu tersebut seperti baru." (As-Shihah, [Beirut: Darul 'Ilmi, 1987], juz II, halaman 454).
 

Ibnu 'Asyur sedikit lebih spesifik dalam memberi definisi tajdid, menurut beliau:
 

تجديد الشيء هو إرجاعه إلى حالة الجدة
 

Artinya, "Men-tajdid sesuatu artinya mengembalikan sesuatu tersebut pada keadaan ketika baru."

Lebih lanjut, Ibn 'Asyur menjelaskan bahwa sesuatu dianggap baru ketika seluruh bagiannya telah sempurna. (Jamharatu Maqalat, I/135).
 

Misalnya baju baru, ia layak disebut baju baru ketika proses pemotongan kain dan penjahitannya telah selesai, bukan sejak awal proses pembuatan.
 

Jika kita terapkan pada hadits di atas, tajdid artinya membuat agama Islam kembali seperti keadaan saat baru, yaitu ketika telah disempurnakan Allah swt sebagaimana disebutkan pada Al-Maidah ayat 3.
 

Pemahaman seperti ini sesuai dengan interpretasi para ulama tentang tajdid. Jika kita membaca hadits tentang tajdid, hampir semua ulama yang memberi penjelasan makna tajdid secara esensial sepakat dengan arti tajdid yang disampaikan oleh Al-'Azhim Abadi:
 

الْمُرَادَ مِنَ التَّجْدِيدِ إِحْيَاءُ مَا اندرس من العمل بالكتاب والسنة والأمر بمقتضاهما وَإِمَاتَةِ مَا ظَهَرَ مِنَ الْبِدَعِ وَالْمُحْدَثَاتِ 
 

Artinya, "Maksud dari tajdid adalah menghidupkan kembali ajaran-ajaran Al-Qur'an dan hadits yang telah ditinggalkan dan memerintahkan apa yang diajarkan kedua sumber tersebut, serta menghapus sesuatu yang bid'ah dan dibuat-buat." ('Aunul Ma'bud, [Beirut, Darul Kutubil 'Ilmiyyah: 1994], juz II, halaman 263).
 

Makna tajdid ini dinukil Al-'Azhim Abadi dari Al-'Alqami—salah satu murid Jalaluddin As-Suyuthi yang pertama kali mensyarah Al-Jami'ush Shaghir—dengan sedikit penambahan.
 

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa inti dari tajdid adalah usaha mengembalikan agama ini pada kesempurnaannya dengan mengamalkan ajaran-ajarannya dan menghapus segala pemahaman dan perbuatan yang menyimpang dari ajaran tersebut.
 

Karenanya, mengartikan tajdid atau pembaharuan sebagai kreasi atau inovasi untuk membuat hal baru dalam beragama—seperti yang dipahami banyak orang—adalah pemahaman yang keliru.
 

Dalam melakukan tajdid, seorang mujaddid (pembaharu) bisa saja memiliki inovasi baru yang menyegarkan dalam usaha menghidupkan kembali ajaran-ajaran agama yang telah ditinggalkan oleh banyak umatnya. Namun inovasi bukanlah syarat seseorang disebut sebagai mujaddid.
 

Selama ia bisa menghidupkan kembali ajaran agama yang sebelumnya mati, baik dengan ataupun tanpa inovasi baru, maka ia pantas disebut sebagai mujaddid.

 

Ruang Kerja Tajdid

Agama ini memiliki banyak sisi, yang menurut Ibnu 'Asyur bisa dikerucutkan menjadi tiga: pemikiran dan keilmuan, amaliah, dan kekuasaan. Sebab itu menurutnya, tiga hal itulah yang menjadi ruang kerja tajdid. Ia mengatakan:
 

فالتجديد الديني يلزم أن يعود عمله بإصلاح الناس في الدنيا، إما من جهة التفكير الديني الراجع إلى حقائق الدين كما هي، وإما من جهة العمل الديني الراجع إلى إصلاح الأعمال، وإما من جهة تأييد سلطانه
 

Artinya, "Pembaharuan agama adalah kerja-kerja yang memberi dampak baik pada umat Islam di kehidupan dunia. Kerja-kerja itu bisa dilakukan dari sisi pemikiran agar umat mengetahui bagaimana sebenarnya ajaran Islam, bisa juga dari sisi implementasi ajarannya, bisa juga dari sisi penguatan kekuasaan agama" (Jamharatu Maqalat, I/136).
 

Karena ruang kerja yang luas inilah banyak ulama yang berpendapat bahwa pada setiap masa, mujaddid yang diutus bisa lebih dari satu orang. Kata 'man' pada hadits tentang tajdid di atas bisa bermakna satu orang atau lebih.
 

Ulama yang berpendapat demikian di antaranya adalah Ad-Dzahabi dalam Tarikhul Islam, Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Hajar Al-'Asqalani, Ibnu Ruslan dalam Syarh Sunan Abi Dawud, Ibnu 'Asyur, dan lain-lain. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:

 

لَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ فِي رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ وَاحِدٌ فَقَطْ بَلْ يَكُونُ الْأَمْرُ فِيهِ كَمَا ذَكَرَ فِي الطَّائِفَةِ وَهُوَ مُتَّجَهٌ، فَإِنَّ اجْتِمَاعَ الصِّفَاتِ الْمُحْتَاجِ إِلَى تَجْدِيدِهَا لَا يَنْحَصِرُ فِي نَوْعٍ مِنْ أَنْوَاعِ الْخَيْرِ، وَلَا يَلْزَمُ أَنَّ جَمِيعَ خِصَالِ الْخَيْرِ كُلِّهَا فِي شَخْصٍ وَاحِدٍ، إِلَّا أَنْ يُدَّعَى ذَلِكَ فِي عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَإِنَّهُ كَانَ الْقَائِمَ بِالْأَمْرِ عَلَى رَأْسِ الْمِائَةِ الْأُولَى بِاتِّصَافِهِ بِجَمِيعِ صِفَاتِ الْخَيْرِ
 

Artinya, "Mujaddid yang diutus setiap seratus tahun bisa saja lebih dari satu orang. Karena bidang yang perlu ditajdid tidak hanya satu bidang, dan belum tentu segala jenis sifat baik terkumpul dalam diri satu orang sehingga seluruh bidang tersebut bisa ditangani olehnya, kecuali 'Umar bin 'Abdul 'Aziz. Dia lah mujaddid abad pertama hijriah, dia memiliki segala sifat baik."
(Fathul Bari, [Mesir, Al-Maktabatus Salafiyyah: 1970], juz XIII, halaman 295).
 

Berdasarkan pendapat para ulama di atas, maka sah-sah saja jika pada kurun yang sama, seorang ulama menjadi mujaddid di bidang hadits karena berhasil menghidupkan kembali ilmu hadits melalui karyanya. Ulama lain menjadi mujaddid di bidang akidah, karena berhasil mengcounter ajaran-ajaran menyimpang.
 

Ulama lainnya lagi menjadi mujaddid di bidang politik keislaman, karena berhasil mengembalikan kejayaan Islam di bidang politik. Lalu ada ulama yang lain lagi menjadi mujaddid di bidang implementasi syariat, karena berhasil membuat banyak umat tersadar dari keteledorannya dalam menjalankan syariat, dan seterusnya.
 

Segala jerih payah yang berdampak luas pada kualitas keagamaan umat Islam adalah bentuk pembaharuan. Bahkan, kerja tajdid secara kolektif lebih mungkin terjadi daripada adanya satu orang yang mampu memikul seluruh tugas tersebut. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan, Purworejo