Rakyat Terhimpit, Gaji Pejabat Selangit: Apa Kata Fiqih Siyasah?
NU Online · Rabu, 3 September 2025 | 14:00 WIB
Syifaul Qulub Amin
Kolomnis
Salah satu tuntutan masyarakat kepada pemangku kebijakan adalah tentang gaji dan kenaikan tunjangan DPR yang dinilai sangat tidak mencerminkan keadilan sosial di tengah krisis ekonomi dan maraknya PHK di mana-mana. Kebijakan kenaikan tunjangan inilah yang menjadi pemantik kemarahan masyarakat belakangan ini.
Bahkan, kebijakan fiskal ini (kebijakan yang berkaitan pengeluaran atau pendapatan negara; APBN) cenderung menimbulkan ketimpangan sosial yang sangat tajam dan tidak berpihak kepada kemaslahatan masyarakat Indonesia. Padahal, sumber utama dari APBN berasal dari pajak masyarakat.
Dilansir dari Tempo, bahwa pendapatan APBN berasal dari tiga sumber, yakni (1) pajak; (2) penerimaan negara bukan pajak (PNBP); dan (3) hibah. Dari ketiga sumber ini, pajak merupakan sumber utamanya. Wajar bila kebijakan fiskal yang tidak maslahat memicu kemarahan, sebab sumber utama APBN adalah pajak dari masyarakat.
Islam pun dalam konteks kebijakan pemerintah, termasuk dalam kebijakan fiskal, menekankan pada kemaslahatan masyarakat dan pada kebutuhan-kebutuhan yang paling penting. Bukan malah memihak pada suatu instansi pemerintah atau kelompok yang kemaslahatannya tidak nyata atau bahkan dinilai semu. Imam Jalaluddin As-Suyuti dalam Al-Asybah wan Nadha'ir berkata:
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة،—إلى أن قال—ومنها أنه لايجوز له أن يتقدم فى مال بيت المال غيرالأحوج على الأحوج
Artinya: “Kebijakan Imam atas masyarakat harus berdasarkam pada kemaslahatan. Termasuk dalam pengaplikasiannya adalah tidak boleh bagi Imam mendahulukan hal yang tidak dibutuhkan daripada hal yang dibutuhkan dalam menggunakan kas negara,” (Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadha'ir, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1990], hlm. 121).
Penjelasan Imam Suyuthi ini dengan tegas menyatakan bahwa dalam mengeluarkan kas negara harus memerhatikan hal yang sangat dibutuhkan. Sementara itu, Syekh Abdul Wahab Khalaf, dalam kitab As-Siyasah As-Syar'iyah fis Syu'un Ad-Dusturiyah wal Kharijah wal Maliyah, menyatakan bahwa kas negara harus dikelola dengan adil, tidak memihak kepada kelompok tertentu.
السياسة المالية للدولة هي تدبير مواردها ومصارفها بما يكفل سد النفقات التي تقتضيها المصالح العامة من غير إرهاق للأفراد ولا إضاعة لمصالحهم الخاصة. وهي إنما تكون عادلة إذا تحقق فيها أمران
الأول: أن يراعى في الحصول على الإيراد العدل والمساواة بحيث لا يطالب فرد بغير ما يفرضه القانون ولا يفرض على فرد أكثر مما تحتمله طاقته وتستدعيه الضرورة.
الثاني: أن يراعى في تقسيم الإيراد جميع مصالح الدولة على قدر أهميتها بحيث لا تراعى مصلحة دون أخرى ولا يكون نصيب المهم أوفر من نصيب الأهم.
Artinya: "Kebijakan fiskal suatu negara adalah cara mengatur pemasukan dan pengeluaran supaya bisa menutup biaya kepentingan umum tanpa memberatkan rakyat atau merugikan kepentingan pribadi mereka. Kebijakan fiskal disebut adil jika dua berikut diperhatikan:
1. Dalam menarik pendapatan, harus memerhatikan keadilan dan kesetaraan. Artinya, tidak boleh ada yang diminta lebih dari ketentuan hukum atau melebihi kemampuan dan kebutuhan; dan
2. Dalam mengeluarkan pendapatan, semua kemaslahatan negara diperhatikan sesuai tingkat pentingnya, jangan sampai yang kurang penting mendapat bagian lebih besar daripada yang lebih penting.” (Syekh Abdul Wahab Khalaf, As-Siyasah As-Syar'iyah fis Syu'un Ad-Dusturiyah wal Kharijah wal Maliyah, [Mesir: Darul Qalam, 1988), hal. 109)
Pertanyaan berikutnya, apakah gaji dan tunjangan DPR saat ini, yang menjadi tuntutan masyarakat supaya tidak dinaikkan karena dinilai sangat berlebihan, sudah memerhatikan kemaslahatan dan adil dilihat dari perspektif Islam? Mari kita ulik bersama.
Gaji dan Tunjangan Pejabat dalam Perspektif Fiqih
Di muka sudah dijelaskan bahwa APBN berasal dari tiga sumber dan sumber utamanya adalah pajak masyarakat. Tentu gaji dan tunjangan DPR diambil dari APBN. Untuk kisaran gaji dan tunjangan DPR yang diterima ada beberapa versi. Namun, penulis akan ambil satu versi sebagai bahan acuan. Dilansir dari finance.detik.com bahwa gaji dan tunjangan DPR tergantung pada jabatan yang diemban.
“Terkait gaji pokok DPR diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2000, di mana besarannya berbeda-beda tergantung jabatan. Untuk Ketua DPR sebesar Rp 5.040.000 per bulan, Wakil Ketua DPR Rp 4.620.000 per bulan, serta Anggota DPR Rp 4.200.000 per bulan.
Gaji pokok itu hanya sebagian kecil dari keseluruhan pendapatan yang diterima. Selain gaji pokok, pejabat DPR juga mendapatkan berbagai tunjangan dengan nominal yang berbeda di setiap jabatan, yang diatur dalam Surat Edaran Sekretariat Jenderal DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010.”
Sebagai gambaran besarnya, berikut adalah daftar tunjangan anggota DPR, ini hanya anggota, lain para ketua dan wakilnya. Daftar tunjangan tersebut:
- Tunjangan Istri/Suami: Rp 420.000;
- Tunjangan Anak (maksimal 2): Rp 168.000;
- Tunjangan Jabatan: Rp 9.700.000;
- Tunjangan Kehormatan: Rp 5.580.000;
- Tunjangan Komunikasi Intensif: Rp 15.554.000;
- Tunjangan Peningkatan Fungsi Pengawasan dan Anggaran: Rp 3.750.000;
- Tunjangan Sidang/Paket: Ketua, wakil dan anggota DPR memiliki tunjangan yang sama yakni Rp 2.000.000;
- Tunjangan PPh Pasal 21: Ketua, wakil dan anggota DPR memiliki tunjangan yang sama yakni Rp 2.699.813;
- Tunjangan Listrik dan Telepon: Ketua, wakil dan anggota DPR memiliki tunjangan yang sama yakni Rp 7.700.000;
- Tunjangan Beras (maksimal 4 jiwa): Ketua, wakil dan anggota DPR memiliki tunjangan yang sama yakni Rp 30.090 per jiwa; dan
- Tunjangan Pengganti Rumah Dinas: Rp 50 juta per bulan.
Dalam perspektif fiqih, sebenarnya tidak ada besaran nominal yang disebutkan, tapi berdasarkan kadar kifayah. Menurut Imam Mawardi, kadar kifayah tersebut bisa dilihat dari tiga hal berikut:
وأمَّا تقدير العطاء فمعتبر بالكفاية حتى يستغني بها عن التماس مادة تقطعه عن حماية البيضة. والكفاية معتبرة من ثلاثة أوجه: أحدها: عدد من يعوله من الذراري والمماليك. والثاني: عدد ما يرتبطه من الخيل والظهر. والثالث: الموضع الذي يحله في الغلاء والرخص. فيقدَّر كفايته في نفقته وكسوته لعامه كله، فيكون هذا المقدر في عطائه، ثم تعرض حاله في كل عام، فإن زادت رواتبه الماسَّة زيد، وإن نقصت نقص.
Artinya: "Kadar pemberian (gaji/tunjangan) berdasarkan kifayah supaya dia (para pejabat negara) tidak butuh mencari penghasilan lain yang dapat mengganggunya dalam melaksanakan urusan umat. Kadar itu bisa dilihat dari tiga hal, yakni (1) jumlah orang yang menjadi tanggungannya, seperti anak-anak dan pelayan; (2) jumlah kuda atau kendaraan dibutuhkan; dan (3) Tempat tinggal, apakah sedang mahal atau murah.
Dengan demikian, kadar tersebut harus mencukupi nafkah dan pakaian untuk satu tahun penuh. Jumlah inilah yang menjadi dasar gaji. Lalu keadaan di atas harus ditinjau kembali setiap tahun, jika kebutuhannya bertambah, ditambah; bila berkurang, dikurangi." (Imam Mawardi, Al-Ahkamul Sulthaniyah, [Mesir: Darul Hadits, t.t.], hal. 305)
Sedangkan jika sudah diketahui kadar kifayah atau minimalnya, apakah boleh ditambah dari kadar tersebut? Imam Syafi'i dalam konteks ini menyatakan tidak boleh walaupun keadaan kas negara sedang melimpah. Namun, Imam Abu Hanifah menyatakan boleh jika kas negara sedang melimpah.
واختلف الفقهاء إذا تقدَّر رزقه بالكفاية، هل يجوز أن يزاد عليها؟ فمنع الشافعي من زيادته على كفايته، وإن اتسع المال؛ لأنَّ أموال بيت المال لا توضع إلَّا في الحقوق اللازمة، وجوَّز أبو حنيفة زيادته على الكفاية إذا اتسع المال لها،
Artinya: "Para fuqaha berbeda pendapat ketika kadar gaji berpatokan pada kifayah, apakah boleh lebih ditambah dari kadar ini? Imam Syafi'i mencegah untuk menambah walaupun kas negara sedang banyak. Sebab, kas negara tidak boleh dikeluarkan kecuali pada hak-hak yang telah ditentukan. Sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan boleh jika kas negara sedang melimpah." (Imam Mawardi, Al-Ahkamul Sulthaniyah, [Mesir: Darul Hadits, t.t.], hal. 305)
Walhasil, dalam Islam sejatinya tidak mengenal istilah gaji pokok atau tunjangan. Akan tetapi, jika membaca dengan cermat uraian di muka, kita dapat menyimpulkan gaji pokok dan tunjangan tersebut terakomodasi dalam istilah kifayah. Kadar kifayahlah yang menjadi dasar untuk menentukan besaran gaji dan tunjangan yang berhak diterima oleh setiap pejabat negara. Wallahu a'lam.
Ustadz Syifaul Qulub Amin, Alumnus PP Nurul Cholil, Sekarang Aktif Menjadi Perumus LBM PP Nurul Cholil dan Editor Website PCNU Bangkalan.
Terpopuler
1
Instruksi Kapolri soal Tembak di Tempat Dinilai Berbahaya, Negara Harus Lakukan Evaluasi
2
Haul Ke-44 KH Abdul Hamid Pasuruan, Ini Rangkaian Acaranya
3
Gusdurian Desak Kapolri Mundur usai Marak Kekerasan Aparat
4
Prabowo Batalkan Kunjungan ke Tiongkok, Pilih Fokus Tangani Situasi Dalam Negeri
5
Koalisi Masyarakat Sipil Nilai Pidato Prabowo Tak Singgung Ketidakadilan Sosial dan Kebrutalan Aparat
6
Prabowo Instruksikan TNI-Polri Tak Ragu Ambil Langkah Tegas saat Hadapi Kerusuhan
Terkini
Lihat Semua