Syariah

Keutamaan Merawat Perpustakaan dalam Islam

Rab, 18 Oktober 2023 | 15:00 WIB

Keutamaan Merawat Perpustakaan dalam Islam

Ilustrasi perpustakaan. (Foto: NU Online/Suwitno)

Hari ini, tanggal 18 Oktober diperingati sebagai Hari Perpustakaan Sekolah Internasional. Diantara manfaatnya adalah untuk menyadarkan pentingnya perpustakaan dalam dunia pendidikan. Perpustakaan sendiri adalah tempat menyimpan referensi dan bahan bacaan, baik majalah, surat kabar, koran, buku, kaset, rekaman dan lain sejenisnya.

 

Di era modern, perpustakaan berkembang bentuk dan modelnya, bahkan kini ada yang dinamakan sebagai perpustakaan digital, di mana masyarakat dapat mengakses bacaan dan literatur melalui gawai mereka.

 

Islam sebagai agama yang peduli terhadap literasi dan ilmu pengetahuan peduli terhadap proses literasi dan kegiatan membaca. Jika kita membaca ayat yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad saw adalah “iqra!” atau perintah untuk membaca.

 

Dalam sejarah peradaban Islam, ada beberapa perpustakaan yang terkenal pada masanya. Misalnya adalah perpustakaan Darul Hikmah yang didirikan pada tahun 149 H oleh Khalifah Harun Al-Rasyid. Putranya, al-Ma'mun kemudian meletakkan banyak karya dan koleksi hingga perpustakaan ini menjadi salah satu perpustakaan terbesar di era Abbasiyah.

 

Pada masa Nabi saw tentu tidak ditemukan perintah merawat atau membangun perpustakaan. Namun, nilai-nilai universal dari Al-Quran dan hadits yang berkaitan dengan amal jariyah nyatanya berkaitan dengan keutamaan membangun dan merawat perpustakaan.

 

Misalnya berkaitan dengan amal jariyah, perpustakaan dapat menjadi lahan pahala jariyah bagi orang yang membangunnya, memberikan modal dan menyumbangkan buku serta bahan referensi lainnya.

 

Di sisi lain, sumbangan literatur dalam bentuk digital seperti skripsi, tesis, jurnal, buku digital dan semacamnya dalam konteks perpustakaan digital juga dinilai sebagai sumbangsih keilmuan dan amal jariyah. Mengenai amal jariyah ini Rasulullah saw pernah bersabda:

 

إذا ماتَ الإنسانُ انقَطعَ عنه عملُهُ إلَّا من ثلاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أو عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

 

Artinya: “Jika manusia meninggal dunia, amalnya terputus kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR Muslim).

 

Al-‘Azhim Abadi mengomentari bahwa hadits di atas menunjukkan bahwa ilmu yang bermanfaat akan mengalir pahalanya. Di antara contoh yang dinukil olehnya adalah kegiatan menyusun karya dan menulis buku yang informasinya sangat bermanfaat bagi khalayak banyak, sehingga ilmu tersebut dapat turun kepada generasi setelahnya, sedang si penulis, atau yang memberi modal kepada penulis juga akan mendapatkan pahalanya.

 

Al-‘Azhim Abadi kemudian mengutip al-Suyuthi terkait apa saja misal amal jariyah yang pahalanya tidak terputus, yaitu:

 

إِذَا مَاتَ اِبْن آدَم لَيْسَ يَجْرِي عَلَيْهِ مِنْ فِعَال غَيْر عَشْر عُلُوم بَثَّهَا وَدُعَاء نَجْل وَغَرْس النَّخْل وَالصَّدَقَات تَجْرِي وِرَاثَة مُصْحَف وَرِبَاط ثَغْر وَحَفْر الْبِئْر أَوْ إِجْرَاء نَهَر وَبَيْت لِلْغَرِيبِ بَنَاهُ يَأْوِي إِلَيْهِ أَوْ بَنَاهُ مَحَلّ ذِكْر وَتَعْلِيم لِقُرْآنٍ كَرِيم

 

Artinya: “Jika anak Adam meninggal, tidak mengalir pahala amalnya kecuali sepuluh hal: ilmu yang ia ajarkan, doa dari anak (keturunannya), menanam kurma, sedekah jariyah, sedekah mushaf Al-Quran, menjaga perbatasan wilayah, menggali sumur atau mengalirkan sungai, membangun rumah untuk orang asing (musafir), membangun majelis dzikir, mengajarkan Al-Quran.” (Al-‘Azhim Abadi, ‘Aun al-Ma’bud, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415], jilid VIII, hal. 62).

 

Lebih tegas lagi, terdapat satu riwayat berasal dari Ibnu Majah soal jenis-jenis aktivitas sosial yang dapat menjadi pahala yang terus menerus mengalir pasca pelakunya wafat. Hadits tersebut adalah:

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

 

Artinya, “Dari Abu Hurairah ia berkata, ‘Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya kebaikan yang akan mengiringi seorang mukmin setelah ia meninggal adalah ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan, anak shalih yang ia tinggalkan dan Al-Qur`an yang ia wariskan, atau masjid yang ia bangun, atau rumah yang ia bangun untuk ibnu sabil, atau sungai yang ia alirkan (untuk orang lain), atau sedekah yang ia keluarkan dari harta miliknya di masa sehat dan masa hidupnya, semuanya akan mengiringinya setelah meninggal’.” (HR Ibnu Majah).

 

Pada sabda Nabi saw di atas, ilmu yang diajarkan dan disebarkan juga merupakan jariyah dan pahalanya akan mengalir terus meski pelakunya sudah wafat. Merujuk kepada hadits di atas, menyebarkan ilmu tidak harus dengan mengajar saja, namun menulis bahkan mewakafkan buku ke perpustakaan pun bagian dari amal jariyah. Al-Mula al-Qari menjelaskan lafaz “nasyar” pada hadits di atas:

 

أَعَمُّ مِنَ التَّعْلِيمِ، فَإِنَّهُ يَشْمَلُ التَّأْلِيفَ وَوَقْفَ الْكُتُبِ

 

Artinya: “Lafaz ‘nasyar’ (menyebarkan ilmu) pada hadits di atas lebih umum dari kegiatan mengajar saja. Sesungguhnya menyebarkan ilmu meliputi penyusunan kitab dan wakaf buku.” (‘Ali al-Mula al-Qari, Mirqah al-Mafatih syarh Misykah al-Mashabih, [Beirut: Dar al-Fikr, 2002], jilid I, hal. 326).

 

Dalam konteks perpustakaan, membangun serta memberi modal dapat menjadi amal jariyah karena dengannya para pembaca akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat. 

 

Ilmu tersebut akhirnya tersimpan dalam memorinya dan dipahami dengan baik oleh si pembaca. Kemudian boleh jadi si pembaca akan menulis dan mengutip informasi dari buku yang dipinjam dan dibacanya, atau menyampaikan ilmu tersebut kepada orang lain, hingga seterusnya.

 

Proses tersebut akhirnya menjadikan keterlibatan masing-masing aktor akan mendapat keutamaan, baik si penulis buku, pemodal perpustakaan, orang yang membangunnya, orang yang menyumbang buku danlain sebagainya. Bahkan lebih jauh lagi, orang yang mengembangkan perpustakaan model digital pun akan mendapat pahalanya selama dapat diakses manfaatnya oleh masyarakat secara luas.

 

Dengan demikian merawat dan mengembangkan perpustakaan memiliki nilai pahala yang besar. Mengingat hal tersebut diharapkan masyarakat semakin peduli dengan wujud perpustakaan dan juga pemanfaatannya. Dengan munculnya kesadaran tersebut, tingkat literasi dan baca masyarakat pun akan meningkat.

 

Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences