Syariah

Kupas Tuntas Ketentuan Akad Penitipan atau Wadi'ah dalam Fiqih dan Hukum Positif

NU Online  ·  Jumat, 18 April 2025 | 13:00 WIB

Kupas Tuntas Ketentuan Akad Penitipan atau Wadi'ah dalam Fiqih dan Hukum Positif

Ilustrasi lemari penitipan. Sumber: Canva/NU Online.

Dalam kehidupan sehari-hari, wadi'ah atau titipan memegang peran penting sebagai sarana untuk menjaga dan melindungi aset berharga. Seseorang mungkin memiliki harta, namun tidak memiliki tempat yang aman untuk menyimpannya. Dalam situasi seperti ini, orang dapat menitipkan hartanya kepada pihak yang lebih mampu menjaga, sehingga terhindar dari risiko pencurian atau kehilangan.

 
Selain itu, titipan juga memiliki manfaat praktis, terutama bagi mereka yang bepergian atau merasa kesulitan membawa barang saat beraktivitas, seperti berbelanja di pasar. Dengan menitipkan barang kepada pihak yang dipercaya, seseorang dapat menjalankan kegiatannya dengan lebih leluasa.

 
Oleh karena itu, wadi'ah tidak hanya berfungsi sebagai perlindungan terhadap harta, tetapi juga memberikan kemudahan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Tulisan ini akan membahas ketentuan wadi'ah baik dalam Islam maupun undang-undang, termasuk bagaimana praktik titipan ini diatur dan diaplikasikan dalam kehidupan umat Muslim.

 
Definisi Wadi’ah

Secara bahasa, penitipan atau idāʿ berarti menempatkan sesuatu di tangan orang lain dengan tujuan untuk dijaga dan dilindungi. Dalam konteks ini, istilah tersebut mencerminkan tindakan memberikan tanggung jawab kepada orang lain untuk merawat sesuatu yang bernilai.

 

Sementara itu, secara syar'i, penitipan merujuk pada pemberian kuasa dari pemilik atau wakilnya kepada pihak lain untuk menjaga harta, barang, atau hak kepemilikan dengan cara yang aman dan bertanggung jawab.

 
Dalam Islam, penitipan mengandung unsur amanah dan kepercayaan, di mana pihak yang menerima titipan diharapkan untuk melindungi barang tersebut sesuai dengan aturan yang disepakati, serta menjaga agar barang tersebut tidak rusak atau hilang.

 
Definisi di atas sebagaimana disampaikan Syekh Sulaiman al-Bujairimi:
 

وَالْإِيدَاعُ لُغَةً وَضْعُ الشَّيْءِ عِنْدَ غَيْرِ صَاحِبِهِ لِلْحِفْظِ وَشَرْعًا تَوْكِيلٌ مِنْ الْمَالِكِ أَوْ نَائِبِهِ لِآخَرَ بِحِفْظِ مَالٍ أَوْ اخْتِصَاصٍ

 
Artinya, “Secara bahasa, ida’ berarti menempatkan sesuatu di tangan orang lain untuk dijaga. Secara syar'i, penitipan adalah pemberian kuasa dari pemilik atau wakilnya kepada orang lain untuk menjaga harta atau hak kepemilikan,” (Hasyiah al-Bujairimi Ala Khotib, [Beirut, Darul Fikr: 1995], jilid III, halaman 293).

 
Lima Hukum Wadi’ah

Dalam Islam, wadi’ah adalah bentuk amanah yang harus dijaga dengan baik. Hukum menerima titipan tidak selalu sama, tergantung pada keadaan penerima dan barang yang dititipkan. Dalam beberapa situasi, menerima titipan bisa menjadi anjuran, kewajiban, atau bahkan larangan.
 
Merujuk penjelasan Dr Musthafa Al-Khin, Dr Musthafa Al-Bugha, dan Ali as-Syarbiji dalam kitab kodifikasi mereka, berikut adalah lima hukum wadi’ah dalam Islam:

 

  1. Sunnah menerima titipan jika seseorang mampu menjaganya dengan baik, yakin akan kejujurannya, dan ada orang lain di sekitarnya yang juga amanah. Dalam kondisi ini, wadi’ahh menjadi bagian dari tolong-menolong dalam kebaikan.
  2. Wajib menerima titipan jika barang yang dititipkan hanya bisa dijaga olehnya dan jika ia menolak, barang tersebut berisiko hilang atau rusak. Dalam hal ini, menjaga titipan berarti melindungi harta orang lain.
  3. Makruh menerima titipan jika seseorang ragu akan keamanahannya di masa depan, menerima titipan menjadi makruh. Sebab, dikhawatirkan ia akan lalai atau tergoda untuk mengkhianati amanah tersebut.
  4. Haram menerima titipan jika seseorang tahu dirinya tidak mampu menjaganya dengan baik. Hal ini dapat menyebabkan penyia-nyiaan harta orang lain, sehingga dilarang dalam Islam.
  5. Boleh menerima titipan jika pemiliknya tetap rela menitipkan barang meskipun mengetahui bahwa penerima ragu akan keamanahannya atau tidak mampu menjaganya dengan baik. Dalam kondisi ini, tanggung jawab tetap ada pada pemilik titipan.

 
Rukun dan Ketentuan Wadi’ah

Secara umum, akad wadi’ah memiliki tiga rukun yang harus dipenuhi agar sah menurut Islam. Tiga rukun tersebut adalah kedua pihak yang berakad, ijab kabul (pernyataan akad), dan barang yang dititipkan. Dr Musthafa Al-Khin, dkk., menjelaskan:

 
لعقد الوديعة أركان ثلاثة هي: العاقدان، والصيغة، والشئ المودع
 

Artinya, "Ada tiga rukun akad titipan: kedua pihak yang berakad, ijab kabul (pernyataan akad), dan barang yang dititipkan," (Fiqhul Manhaji, VII/89).


 
Berikut ketentuan masing-masing dari tiga rukun tersebut:

1. Kedua pelaku akad

Dua pihak dalam akad wadi’ah terdiri dari mudhi’ sebagai pemilik barang titipan, dan wadhi’ sang penerima titipan. Agar akad ini sah, kedua belah pihak harus memiliki kelayakan untuk mewakilkan dan diwakili. Kelayakan tersebut mencakup tiga aspek utama, yaitu berakal, Baligh, dan memiliki kecakapan dalam mengelola harta, sehingga dapat bertanggung jawab atas barang yang dititipkan.
 
2. Sighat

Shighah dalam akad wadi‘ah terdiri dari ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan dari pemilik barang, seperti: "Aku menitipkan kepadamu pakaian ini." Qabul adalah jawaban dari penerima titipan, misalnya: "Aku menerimanya."

 
Dalam akad wadi‘ah, tidak disyaratkan harus menggunakan lafaz yang tegas (sharih). Lafaz kinayah (tidak langsung) juga dianggap sah, asalkan disertai niat untuk menitipkan barang serta terdapat indikasi atau bukti yang menunjukkan maksud titipan.

 
3. Barang yang dititipkan

Syarat barang yang dititipkan dalam akad wadi‘ah adalah harus berupa barang yang dilindungi (muhtaram). Barang ini mencakup harta yang dimiliki, seperti uang, perhiasan, atau kendaraan, atau bukan harta tetapi tetap dilindungi (muhraz) atau memiliki hak kepemilikan (ikhtishash), seperti kotoran hewan yang dapat dimanfaatkan, anjing terlatih, dan biji gandum.

 
Sebaliknya, barang yang tidak dilindungi secara syariat, seperti babi, alat musik yang diharamkan, dan sejenisnya, tidak sah untuk dititipkan dalam akad wadi‘ah (Fiqhul Manhaji, VII/89-90)

 
Konsekuensi Akad Wadi’ah

Menerima barang titipan adalah bentuk komitmen dan amanah untuk menjaga barang tersebut. Oleh karena itu, pihak yang menerima titipan harus menyimpannya di tempat yang sesuai dengan nilai barang tersebut, dalam tempat yang aman dan biasa digunakan untuk menyimpan barang sejenis pada umumnya.

 

Konsekuensi dari otoritas penerima titipan yang bersifat amanah adalah bahwa ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan barang titipan, kecuali jika terdapat unsur kelalaian atau kecerobohan.

 
Penerima titipan juga harus menjaga barang secara langsung dan tidak boleh menyerahkannya kepada orang lain, kecuali jika diizinkan oleh pemilik barang. Ini karena pemilik telah mempercayakan tanggung jawab itu kepadanya secara pribadi.

 
Akad wadi’ah merupakan akad yang bersifat tidak mengikat. Artinya, kedua belah pihak yang terlibat dalam akad tersebut dapat membatalkannya kapan saja tanpa memerlukan izin dari pihak lain.

 

Pemilik barang titipan berhak mengambil kembali barangnya kapan saja, dan orang yang dititipi juga berhak mengembalikan barang tersebut kapan saja. Jika pemilik barang memintanya, pihak yang dititipi wajib mengembalikan barang tersebut secepat mungkin sesuai dengan kemampuannya. (Fiqhul Manhaji, VII/91)

 
Wadi’ah dalam Perspektif Hukum Positif

Konsep wadi’ah juga diakui dalam hukum positif Indonesia, khususnya dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Dalam pasal 409 KHES ditetapkan empat rukun utama dalam akad ini:

  1. Muwaddi’ (penitip)
  2. Mustauda’ (penerima titipan)
  3. ​Obyek Wadi’ah (barang atau uang yang dititipkan)
  4. ​Akad (kesepakatan antara kedua belah pihak)

 
Akad ini dapat dilakukan secara lisan, tulisan, atau melalui isyarat yang dapat dipahami. Selain itu, pada pasal 410-411 dijelaskan bahwa para pihak yang terlibat harus memiliki kecakapan hukum, serta obyek wadi’ah harus bersifat jelas dan dapat diserahterimakan.

 
Jenis-jenis Wadi’ah dalam KHES
 
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) membedakan wadi’ah ke dalam dua kategori utama:

​1.​Wadi’ah Amanah

Dalam akad ini, penerima titipan hanya berfungsi sebagai penjaga barang titipan dan tidak boleh menggunakannya tanpa izin pemilik barang. Jika terjadi kerusakan atau kehilangan bukan karena kelalaiannya, mustauda’ tidak bertanggung jawab mengganti.


 
​2.​Wadi’ah Yad Dhamanah

Pada akad ini, mustauda’ boleh memanfaatkan barang titipan, tetapi dengan tanggung jawab penuh untuk menggantinya jika terjadi kerusakan atau kehilangan. Pemilik barang dalam wadi’ah dhamanah juga dapat memberikan imbalan kepada penerima titipan atas dasar sukarela dan tidak boleh disyaratkan di awal akad.

 
Ketentuan Pemeliharaan dan Pengembalian Wadi’ahh

Pada pasal 416-421 dijelaskan beberapa poin penting, antara lain bahwa penerima titipan wajib menjaga barang titipan di tempat yang layak. Dalam kondisi tertentu, ia dapat mempercayakan penyimpanan kepada pihak lain, dengan syarat tetap bertanggung jawab atas keselamatan barang tersebut. Penerima titipan juga dilarang mencampur barang titipan dengan harta lainnya sehingga tidak bisa dibedakan tanpa izin pemilik barang.

 
Sementara itu, pada pasal 424-426 disebutkan bahwa pemilik barang berhak mengambil kembali barang titipan kapan saja sesuai dengan ketentuan akad. Pemilik barang juga bertanggung jawab atas segala biaya yang berkaitan dengan pengembalian barang titipan.

 

Selain itu, segala sesuatu yang dihasilkan oleh objek wadi'ah menjadi milik pemilik barang. (Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Tahun 2011, edisi revisi)

 
Dalam Islam, wadi’ah bukan sekadar akad titipan, tetapi juga bentuk amanah yang harus dijaga dengan baik. Konsep ini menekankan pentingnya tanggung jawab dan kejujuran dalam menjaga harta milik orang lain.

 

Dengan adanya ketentuan hukum Islam mengenai wadi’ah, baik dari segi rukun, syarat, maupun konsekuensinya, umat Muslim dapat memahami bagaimana cara yang benar dalam melakukan akad titipan agar sesuai dengan prinsip syariah.

 
Dalam hukum positif Indonesia, konsep wadi’ah juga memiliki landasan yang jelas dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Pengaturan ini memastikan bahwa praktik titipan dalam kehidupan modern tetap sesuai dengan prinsip keadilan dan keamanan bagi semua pihak. Wallahu A’lam.


Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan.