Syariah

Larangan Gunakan Kekerasan atas Nama Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Rab, 20 April 2022 | 14:15 WIB

Larangan Gunakan Kekerasan atas Nama Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Larangan Menggunakan Kekerasan atas Nama Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Pada dasarnya amar ma’ruf nahi munkar merupakan upaya untuk menciptakan ketertiban umum dengan cara menegakkan kebajikan dan mencegah kemungkaran. Hanya saja, berbicara amar ma’ruf tidak cukup “memerintah dan mencegah” saja, akan tetapi bagaimana upaya yang ditempuh agar tepat sehingga hasil juga sesuai harapan dan tidak melenceng dari norma-norma agama yang semestinya.

 

Perintah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar sendiri sudah Allah swt singgung dalam Al-Qur’an berikut,

 

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Artinya, “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-Imran [3]: 104).

 

Ayat di atas menegaskan bahwa menegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi umat Muslim adalah fardhu. Maksud fardhu di sini bersifat kifayah. Artinya, jika sudah ada sebagian orang yang melaksanakan maka kewajibannya sudah gugur bagi orang lain. Seperti ketika ada orang mabuk-mabukan. Maka semua umat Muslim wajib menegurnya. Jika sudah ada orang yang melakukannya, maka kewajiban bagi umat Muslim yang lain gugur.

 

Perintah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar juga pernah disinggung oleh Rasulullah saw dalam sabdanya,

 

  مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِّهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

Artinya, “Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia menghilangkannya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Orang yang tidak mampu dengan lisannya, maka dengan hatinya. Dan dengan hati ini adalah lemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

 

Hadits di atas tidak saja memerintahkan umat Muslim untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, akan tetapi juga upaya-upaya apa yang perlu dilakukan sesuai dengan batas kemampuan. Jika bisa dengan tindakan langsung, maka lakukanlah. Jika tidak bisa cukup dengan lisan. Jika secara lisan masih belum mampu maka cukup dengan penolakan di dalam hati.

 

Hindari Kekerasan

Munculnya aksi kekerasan dalam amar ma’ruf nahi munkar jelas masih adanya penyimpangan dari metode yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Kurang tepat jika semisal kita mengingatkan orang untuk shalat dengan cara mencacinya, kurang tepat pula jika semisal kita melarang orang dari mabuk-mabukan dengan memukulinya. Beramar ma’ruf nahi munkar dengan kekerasan ibarat memadamkan api dengan bensin. Bukan malah padam, justru semakin membesar.

 

Untuk itu, penting kiranya kita simak penjelasan Habib Zain bin Sumith tentang etika dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar berikut,

 

ينبغي لمن أمر بمعروف أو نهى عن منكر أن يكون برفق وشفقة على الخلق يأخذهم بالتدريج فإذا رآهم تاركين لأشياء من الواجبات فليأمرهم بالأهم ثم الأهم فإذا فعلوا ما أمرهم به انتقل إلى غيره وأمرهم وخوفهم برفق وشفقة مع عدم النظر منه لمدحهم وذمهم وعطاءهم ومنعهم وإلا وقعت المداهنة وكذا إذا ارتكبوا منهيات كثيرة ولم ينتهوا بنهيه عنها كلها فليكلمهم في بعضها حتى ينتهوا ثم يتكلم في بعضها حتى ينتهوا ثم يتكلم في غيرها وهكذا

Artinya, “Bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar harus bersikap lembut dan belas kasih kepada manusia, ia harus bertindak pada mereka dengan bertahap. Ketika ia melihat mereka meninggalkan beberapa kewajiban, maka hendaknya ia memerintahkan pada mereka dengan perkara wajib yang paling penting kemudian perkara yang agak penting. Kemudian ketika mereka telah melaksanakan apa yang ia perintahkan, maka ia berpindah pada perkara wajib lainnya.

 

“Hendaknya ia memerintahkan pada mereka dan menakut-nakuti mereka dengan lembut dan belas kasih... begitu juga ketika mereka melakukan larangan-larangan agama yang banyak dan mereka tidak bisa meninggalkan semuanya, maka hendaknya ia berbicara kepada mereka di dalam sebagiannya saja hingga mereka menghentikannya kemudian baru berbicara sebagian yang lain, begitu seterusnya” (Habib Zain bin Sumith, al-Minhajs Sawi, 2006: 316-317).

 

Apa yang dipaparkan oleh Habib Zain bin Sumith di atas menjelaskan bahwa dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, seseorang harus melakukannya dengan cara yang baik, yaitu melalui cara-cara persuasif dan menghindari kekerasan. Selain itu, baiknya ia juga memahami kondisi sosial dan psikologis pelaku agar tidak salah sikap. Dengan begitu, tentu kita akan menemukan tindakan yang paling efektif untuk dilakukan.

 

Karena amar ma’ruf nahi munkar sebuah upaya yang kadang membutuhkan proses tidak sebentar, tentu bisa jadi tidak langsung sesuai harapan. Di sini lah perlunya kesabaran.

 

Senada dengan pesan Habib Zain bin Sumith di atas, Ibnu Daqiqil ‘Ied dalam Syarah Arba’in Nawawi menjelaskan,

 

وينبغى للآمر بالمعروف والناهي عن المنكر أن يكون من ذلك برفق ليكون أقرب إلى تحصيل المقصود فقد قال الإمام الشافعي رحمه الله تعالى: من وعظ أخاه سرا فقد نصحه وزانه ومن وعظه علانية فقد فضحه وشانه

Artinya, “Orang yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar hendaknya dengan cara yang lembut supaya hasil lebih maksimal. Imam Syafii sendiri pernah mengatakan, ‘Barang siapa yang menasihati saudaranya dengan tidak terang-terangan, maka sungguh ia telah menasihati dan menghargainya. Sementara barang siapa yang menasihati seseorang di depan publik, maka ia telah merendahkan dan mencemarkan nama baiknya” (Ibnu Daqiqil ‘Ied, Syarah Arba’in Nawawi, t.t: 86).

 

Ibnu Daqiqil ‘Ied dengan lugas menyampaikan bahwa menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang lembut akan lebih berhasil dibanding dengan jalan kekerasan. Seperti saat kita menegur kesalahan orang lain, cara terbaik adalah dengan mengingatkannya secara privasi, bukan di depan khalayak umum yang khawatir akan membuat dirinya merasa direndahkan. Wallahu a’lam.

 

Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online; alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta


Artikel ini merupakan hasil kerja sama antara NU Online dan UNDP