Syariah

Beda Warga Sipil dan Aparat dalam Penegakan Amar-Ma’ruf Nahi Munkar

Rab, 30 Desember 2020 | 13:30 WIB

Beda Warga Sipil dan Aparat dalam Penegakan Amar-Ma’ruf Nahi Munkar

Warga sipil biasa semestinya tidak melibatkan diri terlalu jauh dalam penegakan amar ma’ruf nahi munkar kecuali sebatas mengingatkan, menasihati, dan mendoakan.

Melakukan amar ma’ruf nahi munkar adalah wajib hukumnya bagi setiap orang Islam sesuai dengan kapasitas masing-masing. Seruan ini sebagaimana ditegaskan di dalam beberapa ayat Al-Qu’an dan Hadits, antara lain sebagai berikut:


وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِوَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ


Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh untuk berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Q.S Ali Imran: 104).


Di dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagai berikut:


من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان


Artinya: “Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan (tindakan atau kekuasaannya). Barang siapa tidak mampu melakukannya, maka hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya. Barang siapa yang tidak mampu melaksanakannya, maka hendaklah ia mengubahnya dengan hatinya. Dan yang terakhir itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)


Mengacu pada hadits di atas, Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad menjelaskan tentang perbedaan kewenangan dalam masyarakat antara pihak mana yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan melakukan tindakan tegas terhadap kemungkaran sebagai berikut:


والواجب عليك إذا رأيت من يترك معروفاً أو يفعل منكراً أن تعرفه بكون ذلك معروفاً أو منكراً، فإن لم يدعه فعليك بوعظه وتخويفه، فإن لم ينزجر فعليك بتغييره وقهره بالضرب وكسر آلة اللهو المحرمة وإراقة الخمر ورد الأموال المغصوبة من يده إلى أربابها..


وهذه الرتبة لا يستقل بها إلا من بذل نفسه لله، أو كان مأذوناً له من جهة السلطان، وأما الرتبتان الأولتان أعني التعريف والوعظ فلا يقصر عنهما إلا جاهل مخبِّط أو عالم مفرِّط.


Artinya: “Wajib bagimu ketika menyaksikan seseorang meninggalkan ma’ruf (kebajikan) atau mengerjakan mungkar (kemaksiatan), untuk memberitahu padanya tentang kedudukan masing-masing yang ma’ruf dan yang mungkar. Bila hal itu tidak didengarnya, maka engkau wajib menasihatinya serta menakut-nakutinya. Bila itupun tidak mempan, engkau harus memaksanya dengan suatu tindakan tegas seperti memukulnya atau memecahkan alat yang digunakan untuk melakukan perbuatan haram, atau tempat penyimpanan khamr, serta mengembalikan harta benda dari tangan si perampas kepada pemiliknya yang sah. Namun, cara-cara terakhir ini, yakni mengambil tindakan tegas, tentunya tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang-orang yang memang menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada Allah dan siap berkorban di jalan-Nya, ataupun oleh orang-orang yang sudah beroleh izin dari penguasa negeri. Sedangkan dua cara sebelumnya wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim kecuali bagi orang-orang yang jahil yang tidak mempedulikan agamanya dan orang-orang pandai yang tak mengamalkan ilmunya” (Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad, Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah (Dar Al-Hawi, 1994, hal. 124).


Dari kutipan di atas, dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:


Pertama, sebagai warga sipil biasa yang tidak memiliki otoritas dalam penegakan ketertiban dan keamanan, kita sebaiknya menggunakan lisan kita ketika kita menyaksikan ada seseorang atau kelompok yang melakukan kemungkaran, yakni dengan mengingatkan mereka bahwa perbuatan mungkar adalah dosa sehingga harus ditinggalkan, dan sebaliknya perbuatan baik (ma’ruf) harus dikerjakan.


Kedua, bila upaya kita mengingatkan mereka tidak diindahkan, maka kita sebaiknya menasihati mereka dengan memberikan kabar gembira bahwa orang-orang yang senantiasa melakukan perbuatan baik akan dibalas oleh Allah dengan balasan surga yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan. Sebaliknya, orang-orang yang melakukan perbuatan buruk atau dosa akan dibalas oleh Allah dengan siksa api neraka yang amat pedih. 


Ketiga, bila poin pertama dan kedua di atas sudah kita tempuh tetapi tidak atau belum membuahkan hasil, maka hal berikutnya yang sebaiknya kita lakukan adalah menggunakan hati kita, yakni dengan mendoakan yang baik-baik kepada Allah agar mereka dibukakan hatinya sehingga menyadari kesalahannya dan berhenti melakukan kemungkaran. 


Keempat, bagi aparat penegak ketertiban dan keamanan, mereka sebaiknya langsung bertindak dengan kewenangannya untuk menghentikan seseorang atau kelompok orang-orang yang berbuat kemungkaran, misalnya dengan tindakan tegas dan menyita alat-alat yang digunakan untuk melakukan kemungkaran, seperti peralatan judi, senjata tajam, atau lainnya. Berikutnya mereka dapat memproses orang-orang yang telah melakukan kemungkaran itu untuk diadili di depan penegak hukum.

 


Kelima, poin keempat di atas tidak sebaiknya dilakukan oleh warga sipil biasa sebab bisa menimbulkan keributan di masyarakat dan berisiko tinggi atas keselamatan dirinya sendiri kecuali mereka telah mendapatkan izin dari pihak berwenang, yakni pemerintah, karena telah mendapatkan pelatihan-pelatihan tertentu untuk diperbantukan kepada aparat ketertiban dan keamanan negara. 


Keenam, dalam konteks Indonesia, apa yang dimaksud orang-orang yang memang menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada Allah dan siap berkorban di jalan-Nya, tentu saja tidak merujuk kepada ormas tertentu meski mendaku-daku sebagai pembela Islam, melainkan para aparat ketertiban dan keamanan negara, yakni polisi dan TNI, yang telah mewakafkan dirinya untuk berjuang di jalan Allah melalui negara.


Dari keenam poin di atas, dapat disimpulkan bahwa warga sipil biasa semestinya tidak melibatkan diri terlalu jauh dalam penegakan amar ma’ruf nahi munkar kecuali sebatas mengingatkan, menasihati, dan mendoakan. Selebihnya, merupakan wewenang aparat ketertiban dan keamanan negara yang dilindungi undang-undang. Tentu saja warga sipil biasa dapat melaporkan kepada pihak berwenang ketika melihat seseorang atau kelompok orang-orang melakukan kemungkaran agar kemaksiatan itu segera dapat dihentikan dan diselesaikan sebagaimana mestinya.

 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.