Syariah

Legalitas Hukum Positif dalam Pandangan Fiqih Siyasah

Sen, 3 Juli 2023 | 06:00 WIB

Legalitas Hukum Positif dalam Pandangan Fiqih Siyasah

Ilustrasi hukum. (Foto: NU Online)

Hukum positif di suatu negara memiliki peran penting dalam mengatur kehidupan warga negaranya. Pun demikian, masih ada sebagian orang yang mempertentangkannya dengan hukum-hukum yang termaktub dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, maupun kitab-kitab hukum karya ulama.


Lalu sebenarnya bagaimana legalitas hukum positif dalam pandangan fiqih siayah?


Siyasah sendiri sebagaimana didefinisikan oleh Ibnu Aqil, adalah sesuatu yang mendekatkan manusia pada kemaslahata dan menjauhkannya dari kerusakan.


السياسة ما كان فعلا يكون معه الناس أقرب إلى الصلاح وأبعد عن الفساد وإن لم يضعه الرسول صلى الله عليه و سلم ولا نزل به وحي


Artinya, “As-Siyasah atau politik adalah sesuatu yang secara nyata membuat manusia lebih dekat pada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, meskipun tidak dipraktikkan langsung oleh Rasulullah saw dan tidak ada panduan wahyunya (secara persis).” (Muhammad bin Abi Bakar, At-Thuruqul Hukmiyah fis Siyasah As-Syar'iyah, Kairo, Mathba'atul Madani, halaman 17).


Merujuk definisi disampaikan Ibnu Aqil, maka substansi utama dari politik adalah menghadirkan kemaslahatan bagi manusia dan menjauhkannya dari kerusakan, meskipun secara rigid hal itu tidak ada dalam teks-teks agama.


Berkaitan dengan legalitas hukum positif dalam pandangan fiqih siyasah terdapat rumusan ideal dalam Keputusan Bahtsul Masa`il Maudhu’iyah Munas NU 2019 di PP Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo Kota Banjar Jawa Barat, pada 27 Februari -1 Maret 2019.


Merujuk Munas NU 2019, hukum positif seperti produk Undang-Undang atau kebijakan negara yang lahir dari proses politik modern adalah bagian dari kesepakatan anak bangsa. Kebijakan negara secara fiqih dilihat, apakah bertentangan dengan nilai-nilai Islam atau tidak.


Pertama, jika produk undang-undang atau kebijakan negara tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka ia bersifat mengikat (mulzim syar’i) dan wajib ditaati. Dalam hal ini Syekh Nawawi Banten mengatakan:


 إِذَا أَمَرَ بِوَاجِبٍ تَأَكَّدَ وُجُوبُهُ وَإِذَا أَمَرَ بِمَنْدُوبٍ وَجَبَ وَإِنْ أَمَرَ بِمُبَاحٍ فَإِنْ كَانَ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ كَتَرْكِ شُرْبِ الدُّخَانِ وَجَبَ بِخِلَافِ مَا إِذَا أَمَرَ بِمُحَرَّمٍ أَوْ مَكْرُوهٍ أَوْ مُبَاحٍ لَا مَصْلَحَةَ فِيهِ عَامَّةٌ


Artinya, “Ketika seorang pemimpin pemerintahan memerintah perkara wajib, maka kewajiban itu makin kuat, bila memerintahkan perkara sunnah maka menjadi wajib, dan bila memerintahkan perkara mubah, maka bila di dalamnya terdapat kemaslahatan publik, maka wajib dipatuhi seperti larangan untuk merokok. Berbeda bila ia memerintahkan perkara haram, makruh atau perkara mubah yang tidak mengandung kemaslahatan publik, -maka tidak wajib dipatuhi-.“ (Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi, Nihayatuz Zain Syarh Qurratul ‘Ain, Beirut: Darul Fikr, halaman 112).


Demikian pula Muhammad Arafah Ad-Dasuqi menegaskan bahwa kewajiban mematuhi pemerintah dalam aturan mubah atau sunnah jika memuat kemaslahatan bagi umum.


وَاعْلَمْ أَنَّ مَحَلَّ كَوْنِ الْإِمَامِ إِذَا أَمَرَ بِمُبَاحٍ أَوْ مَنْدُوبٍ تَجِبُ طَاعَتُهُ إِذَا كَانَ مَا أَمَرَ بِهِ مِنَ الْمَصَالِحِ الْعَامَّةِ


Artinya, “Ketahuilah, bahwa kewajiban mentaati imam dalam perintah mubah atau sunnah adalah apabila perintah tersebut mengandung kemaslahatan umum”. (Muhammad Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi ‘alas Syarhil Kabir, Beirut: Darul Fikr, juz I, halaman 407).


Kedua, sebaliknya jika produk undang-undang atau kebijakan negara bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka tidak wajib ditaati. Justru hukum positif semacam ini perlu diluruskan dengan cara-cara yang konstitusional dan tidak boleh dijadikan alasan untuk melawan pemerintah yang sah.


Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits yang menegaskan bahwa sekalipun tidak disukai, mematuhi aturan pemerintah merupakan kewajiban.


عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَال: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ عَلَيْهِ وَلَا طَاعَةَ. ( رواه الترمذي وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ)


Artinya, “Diriwayatkan dari Ibn Umar, ia berkata: “Rasullullah saw bersabda: “Mendengar dan menaati (pimpinan) merupakan kewajiban bagi orang Islam dalam hal yang ia sukai dan tidak ia sukai, selama tidak diperintahkan dengan kemaksiatan. Karenanya, bila ia diperintahkan dengan kemaksiatan, maka tidak ada kewajiban mendengar dan menaati baginya.” (HR At-Tirmidzi. Ini hadits hasan shahih).


Menjelaskan hadits ini, Al-Mubarakfuri, mengutip al-Muthahar dalam Tuhfatul Ahwadzi, menerangkan bahwa menaati pemerintah merupakan hal yang wajib.
 

قَوْلُهُ (اَلسَّمْعُ) ... قَالَ الْمُطَهَّرُ يَعْنِي سَمْعُ كَلَامِ الْحَاكِمِ وَطَاعَتُهُ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَوَاءٌ أَمَرَهُ بِمَا يُوَافِقُ طَبْعَهُ أَوْ لَمْ يُوَافِقْهُ بِشَرْطِ أَنْ لَا يَأْمُرَهُ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أَمَرَهُ بِهَا فَلَا تَجُوزُ طَاعَتُهُ وَلَكِنْ لَا يَجُوزُ لَهُ مُحَارَبَةُ الْإِمَامِ. وَقَالَ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ قَالَ جَمَاهِيرُ أَهْلِ السُّنَّةِ مِنَ الْفُقَهَاءِ وَالْمُحَدِّثِينَ وَالْمُتَكَلِّمِينَ لَا يَنْعَزِلُ الْإِمَامُ بِالْفِسْقِ وَالظُّلْمِ وَتَعْطِيلِ الْحُقُوقِ وَلَا يُخْلَعُ وَلَا يَجُوزُ الْخُرُوجُ عَلَيْهِ لِذَلِكَ بَلْ يَجِبُ وَعْظُهُ وَتَخْوِيفُهُ لِلْأَحَادِيثِ الْوَارِدَةِ فِي ذَلِكَ


Artinya, “Al-Muthahar berkata: “Maksudnya mendengar dan menaati pernyataan hakim (pemimpin pemerintahan) hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik diperintahkan dengan hal yang sesuai dengan tabiatnya atau tidak, dengan tidak diperintah dengan maksiat. Karenanya bila pemimpin memerintahnya dengan maksiat maka tidak boleh menaatinya, akan tetapi ia tidak boleh memeranginya.” Dalam Syarh Muslim, Imam an-Nawawi berkata: “Fuqaha, Muhadditsin dan Mutakalimin dari Jumhur Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat, seorang Imam tidak termakzulkan dari posisinya sebab melakukan kefasikan, kezaliman, mengabaikan berbagai hak. Ia tidak boleh dimakzulkan dan tidak boleh keluar dari ketaatannya karena alasan-alasan tersebut. Namun wajib menasehati dan memperingatkannya karena hadits-hadits yang menerangkannya.” (Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt. V, h. 298.)


Dari sini menjadi jelas bahwa menurut fiqih yang dianut oleh Nahdlatul Ulama, hukum positif menemukan legalistasnya dalam pandangan Islam, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Adapun hukum positif yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam maka perlu diluruskan dengan cara-cara yang konstitusional, dan ketidaksetujuan terhadap sebagian hukum-hukum positif tidak boleh menjadi alasan untuk melakukan tindakan-tindakan di luar hukum yang disepakati. Wallahu a'lam.


Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online