Syariah

Maulid Nabi di Uzbekistan dan Perlindungan Sosial pada Perempuan

Rab, 11 Oktober 2023 | 20:00 WIB

Maulid Nabi di Uzbekistan dan Perlindungan Sosial pada Perempuan

Bendera Uzbekistan (Foto: NU Online/Freepik)

Akhir-akhir ini fenomena terlantarnya warga dari perhatian masyarakat sekitar kerap terjadi. Mulai dari dhu’afa yang kekurangan tetapi luput dari bantuan, ibu yang terpaksa mencuri untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya, hingga kelaparan di kelompok masyarakat daerah tertentu menghentak rasa kemanusiaan siapapun yang mendengarnya.


Muncul pertanyaan, bagaimana kepedulian sosial bisa ditumbuhkan di kalangan umat Islam untuk mengantisipasi itu semua?


Di sisi lain, umat Islam kental dengan ajaran untuk memperhatikan masyarakat lemah. Hampir semua ibadah yang bersifat sosial memiliki tempat tersendiri dalam ajaran Islam. Bahkan pada aspek ibadah yang bersifat umum, para ulama menerapkannya dengan kreatif dan tidak jarang melekatkannya pada tradisi setempat. Kesesuaian ajaran Islam dengan penjagaan sosial masyarakat di berbagai belahan dunia tidak jarang memunculkan budaya dan tradisi unik untuk dicermati. 


Jika ada tradisi islami yang mampu mengembangkan kepedulian sosial, maka maulid nabi adalah salah satu jawabannya. Betapa tidak, melalui wahana ini pelestarian budaya hingga kepekaan sosial dapat diterapkan dengan bingkai tradisi setempat.


Salah satu contohnya adalah yang terjadi di wilayah Asia Tengah, lebih tepatnya di Uzbekistan. Di negara itu, maulid nabi menjadi salah satu sarana untuk memperkuat jaring pengaman sosial.


Mengapa tradisi maulid di Uzbekistan menarik untuk disimak? Ternyata tidak lepas dari manfaat yang diperoleh masyarakat yang melaksanakan maulid itu di sana. Peran ulama untuk mengintegrasikan maulid dengan kegiatan tradisi di Uzbekistan juga terbilang cukup unik. Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat di sana dikembangkan sedemikian rupa dengan nilai-nilai islami yang ada pada acara maulid nabi.


Negara pecahan Uni Soviet itu memang semula adalah negeri Islam. Setelah diduduki oleh Uni Soviet yang berpaham komunis, ulama islam di sana harus memikirkan berbagai strategi agar ajaran Islam tidak hilang. Setelah Uni Soviet runtuh di era tahun 90an dan Uzbekistan merdeka, geliat budaya Islam muncul kembali di sana. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menyisipkan tradisi islami dalam program-program yang dikembangkan oleh pemerintah yang berkuasa.


Karakter gotong royong masyarakat Uzbekistan dikenal melalui adanya semacam paguyuban yang berkegiatan secara komunal. Khusus untuk kaum wanita, perkumpulan warga di sana dinamakan mahalla dan telah diberdayakan sehingga mempunyai fungsi sosial yang vital. Pada momen-momen tertentu, mereka berkegiatan dan dipimpin oleh ulama perempuan yang disebut sebagai otincha dan mengisinya dengan kegiatan islami, termasuk pembacaan maulid nabi yang tentunya khusus untuk kaum perempuan.


Fenomena maulid khusus perempuan memang telah lama diteliti oleh para ahli. Salah satunya adalah Nancy Tapper (1983) yang berpendapat bahwa maulid memperkuat hubungan kesetaraan dan solidaritas di kalangan perempuan (Tapper, 1983, Gender and Religion in a Turkish Town: A Comparison of Two Types of Formal Women’s Gatherings, in Women’s Religious Experience by P. Holden, London, Croom Helm: halaman 71-88). 


Hasil penelitian di Turki tersebut ternyata juga sejalan dengan fakta di Uzbekistan, di mana pembacaan maulid khusus perempuan dihadiri oleh lansia dan para janda. Mereka memiliki waktu yang lebih luang karena biasanya sudah tidak bekerja. Mereka memiliki kesamaan nasib dan perasaan sebagai kaum perempuan yang memerlukan dukungan sosial. Tidak jarang, wanita lansia dan para janda ini mengalami kekurangan dalam hal makanan dan kesehatan.


Oleh karena itu, sebagai kelompok masyarakat yang perlu diperhatikan oleh warga lainnya, para lansia dan janda itu dilayani dengan baik oleh para wanita yang lebih muda. Sebagai aktualisasi nilai-nilai maulid untuk menyantuni lansia dan janda, wanita yang lebih muda menyiapkan berbagai makanan sebagai konsumsi untuk para lansia dan janda yang menghadiri maulid di sana. Dua peneliti yang bernama Deniz Kandiyoti dan Nadira Azimova menggambarkan suasana maulid khusus perempuan di Uzbekistan dalam publikasi hasil risetnya sebagai berikut:


Di Uzbekistan, maulid adalah acara komunal di mana otincha berperan penting bersama dengan kaum wanita yang menyiapkan konsumsi di mahalla. Bahkan ada petugas khusus konsumsi yang disebut sebagai dastarhanji. Meskipun kelahiran Nabi diasumsikan bertepatan dengan hari kedua belas Rabiul Awwal dalam kalender Hijriah, maulid dilakukan di sini selama empat bulan berikutnya dan melibatkan mahalla secara keseluruhan.” (Kandiyoti dan Azimova, 2004, The Communal and the Sacred: Women’s World Ritual in Uzbekistan, The Journal of the Royal Anthropological Institute, Volume 10 Nomor 2, Royal anthropological Institute of Great Britain and Ireland: halaman 327-349)


Karena acara maulid itu digelar khusus untuk perempuan, maka pelaksanaannya bukan di malam hari melainkan siang hari yang seluruhnya khusus untuk perempuan (dimulai sekitar tengah hari dan berakhir pada sore hari). Acara itu juga melibatkan tetangga dan kerabat, biasanya dalam kelompok yang terdiri dari sekitar dua puluh perempuan. Maulid dimulai dengan makan, dengan dastarhanji menyajikan setiap wanita dengan nampan berisi roti, manisan, dan buah-buahan dalam jumlah genap.


Gambaran aktivitas untuk mengawali maulid itu ternyata memang memberikan dukungan sosial berupa perhatian warga terhadap nutrisi lansia wanita dan para janda. Oleh karena itu, perlindungan sosial semacam ini merupakan bentuk nyata pengamalan ajaran maulid yang sesuai dengan akhlak Nabi Muhammad saw.


Setelah teh disajikan, otincha mengambil alih dan memulai pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an itu ditujukan untuk semua yang hadir dan personil yang menyiapkan acara agar rumah tangga serta leluhurnya mendapatkan keberkahan. Wanita lanjut usia berpartisipasi dalam maulid sementara wanita yang lebih muda berdiri dan melayani mereka.


Hal unik lainnya adalah pemberian hadiah setelah acara maulid. Banyak makanan dan kebutuhan pokok yang dikumpulkan oleh paguyuban mahalla kemudian didistribusikan untuk hadirin maupun yang tidak sempat hadir. Banyak kaum perempuan di Uzbekistan yang mungkin harus bekerja untuk ikut memenuhi kebutuhan keluarganya tidak sempat menghadiri kegiatan maulid itu. Biasanya wanita yang tidak sempat hadir maulid adalah wanita usia produktif yang bekerja membantu suaminya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.


Sebagai wujud solidaritas sosial, acara maulid memberikan bingkisan berupa bahan kebutuhan pokok seperti beras, roti, susu, bahkan permen dan kelengkapan kosmetik untuk kaum wanita dan anak-anaknya yang tidak hadir. Dengan adanya bingkisan itu, wanita yang bekerja juga mendapatkan bantuan sosial untuk dirinya dan anak-anaknya. Bahkan suaminya pun bisa ikut mencicipi hadiah yang dikirimkan ke rumah untuk istrinya itu. 


Selain memberikan rasa gembira, hadiah itu dianggap penuh keberkahan karena telah didoakan pada acara maulid nabi. Bahkan, di kalangan kaum muslimin Uzbekistan, makanan yang diperoleh dari acara maulid sering digunakan sebagai makanan yang berfungsi untuk penyembuhan holistik dalam rangka menjaga kesehatan jasmani dan rohani seluruh anggota rumah tangga.


Di Uzbekistan, praktik maulid nabi yang diadakan khusus oleh perempuan sarat dengan upaya nyata sebagai bentuk perlindungan dan kepedulian sosial. Ada inspirasi yang dapat ditiru oleh umat Islam di Indonesia dari kegiatan ini, dan itu juga bisa terwujud bila ada peran ulama, khususnya ulama perempuan yang mengarahkannya. Wallahu a’lam bis shawab.