Syariah

Melempar Jumrah bagi Jamaah Haji Lansia dan Penyandang Disabilitas

Jum, 16 Juni 2023 | 04:00 WIB

Melempar Jumrah bagi Jamaah Haji Lansia dan Penyandang Disabilitas

Ilustrasi jamaah haji sedang melempar jumrah. (Foto: Kemenag)

Melempar jumrah aqabah pada tanggal 10 dzulhijah dan jamarat atau tiga jumrah pada tiga hari Tasyriq hukumnya wajib, kecuali bagi jamaah haji yang melakukan nafar awal yakni meninggalkan Mina menuju Makkah sebelum matahari terbenam pada 12 Dzulhijah di mana kewajiban mabit di Mina pada malam ke-3 Tasyriq dan pelemparan jumrahnya menjadi gugur.

 

Dalam melaksanakan rangkaian ibadah haji sangat dibutuhkan kondisi tubuh yang fit. Namun, banyak jamaah haji yang mengalami drop, penyebabnya beragam; karena terlalu capek, faktor usia, kondisi hamil, cuaca ekstrem atau bahkan ia merupakan penyandang disabilitas dalam arti ia mengalami keterbatasan fisik sehingga menjadi problem dalam melaksanakan rangkaian ibadah haji, khususnya melempar jumrah. Dengan demikian, bagaimana solusi untuk orang yang tidak mampu melempar jamarat secara mandiri? Berikut penjelasannya.

 

Pada dasarnya melempar jamarat yang merupakan salah satu kewajiban ibadah haji harus dilaksanakan sendiri, jika ditinggalkan maka harus membayar dam sebagai gantinya. Terkait dengan seorang yang tidak mampu melempar jamarat secara mandiri, Imam An-Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya Majmu' Syarah Muhadzab menjelaskan:

 

قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ رَحِمَهُمُ اللَّهُ الْعَاجِزُ عَنْ الرَّمْيِ بِنَفْسِهِ لِمَرَضٍ أَوْ حَبْسٍ وَنَحْوِهِمَا يَسْتَنِيبُ مَنْ يَرْمِي عَنْهُ لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ وَسَوَاءٌ كَانَ الْمَرَضُ مَرْجُوَّ الزَّوَالِ أَوْ غَيْرَهُ لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ وَسَوَاءٌ اسْتَنَابَ بِأُجْرَةٍ أَوْ بِغَيْرِهَا وَسَوَاءٌ اسْتَنَابَ رَجُلًا أَوْ امْرَأَةً

 

Artinya: "Imam Syafi'i dan para ulama madzhab Syafi'i berkata : "Orang yang tidak mampu melempar jumrah secara mandiri karena sakit, tertahan dan semisalnya, maka ia boleh mewakilkan kepada orang lain, seperti yang telah diungkapkan oleh mushanif (Abu Ishaq as-Syirazi pengarang kitab al-Muhadzab). Sama saja apakah penyakitnya masih dapat diharapkan kesembuhannya atau tidak, dengan upah atau tanpa upah, mewakilkannya kepada lelaki ataupun wanita."(Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Muhadzab [Bairut, Darul Fikr:th.t] juz VIII halaman 244)

 

Lebih lanjut beliau menjelaskan permasalahan ini dalam kitabnya yang lain, Al-Raudhah sebagai berikut:

 

الْعَاجِزُ عَنِ الرَّمْيِ بِنَفْسِهِ لِمَرَضٍ أَوْ حَبْسٍ، يَسْتَنِيبُ مَنْ يَرْمِي عَنْهُ. وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُنَاوِلَ النَّائِبَ الْحَصَى إِنْ قَدَرَ، وَيُكَبِّرُ هُوَ. وَإِنَّمَا تَجُوزُ النِّيَابَةُ لِعَاجِزٍ بِعِلَّةٍ لَا يُرْجَى زَوَالُهَا قَبْلَ خُرُوجِ وَقْتِ الرَّمْيِ، وَلَا يَمْنَعُ الزَّوَالُ بَعْدَهُ. وَلَا يَصِحُّ رَمْيُ النَّائِبِ عَنِ الْمُسْتَنِيبِ إِلَّا بَعْدَ رَمْيِهِ عَنْ نَفْسِهِ، فَلَوْ خَالَفَ وَقَعَ عَنْ نَفْسِهِ كَأَصْلِ الْحَجِّ. وَلَوْ أُغْمِيَ عَلَيْهِ وَلَمْ يَأْذَنْ لِغَيْرِهِ فِي الرَّمْيِ عَنْهُ، لَمْ يَجُزِ الرَّمْيُ عَنْهُ. وَإِنْ أَذِنَ، جَازَ الرَّمْيُ عَنْهُ عَلَى الصَّحِيحِ

 

Artinya: "Orang yang tidak mampu melempar jumrah secara mandiri, baik karena sakit atau tertahan, maka dia boleh menggantikan pelemparan jumrahnya pada orang lain. Dan jika ia mampu, disunahkan mengambil kerikil pelemparan jumrah kepada orang yang menggantikannya kemudian bertakbir. Kebolehan mewakilkan hanya untuk orang yang tidak mampu karena sakit yang tidak bisa sembuh sebelum habis waktu melempar jumrah, sembuh setelah dilaksanakannya pelemparan jumrah yang diwakilkan tidak jadi masalah (tidak perlu mengulang). Tidak sah pelemparan jumrahnya kecuali sang wakil telah selesai melemparkan jumrah untuk dirinya sendiri. Jika berlawanan, maka pelemparan jumrah tersebut menjadi milik sang wakil seperti asalnya haji. Jika dia pingsan dan tidak memberi izin pada orang lain untuk melempar jumrah, maka tidak boleh orang lain menggantikan dirinya dalam melempar jumrah. Jika sudah memberi izin, maka boleh melemparkan jumrah untuk dirinya, menurut pendapat yang shahih." (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Bin Syaraf An-Nawawi, Raudalatut Thalibin [Bairut, al-Maktabah al-Islamiyah: 1991 M], juz III halaman 115).

 

Syekh Wahbah az-Zuhaili (wafat 2015 M) lebih luas menjelaskan siapa saja orang-orang yang dianggap tidak mampu untuk melempar jamarat secara mandiri kemudian diperbolehkan untuk mewakilkan dalam pelemparannya, sebagai berikut:

 

وتجوز الإنابة في الرمي لمن عجز عن الرمي بنفسه لمرض أو حبس، أو كبر سن أو حمل المرأة، فيصح للمريض بعلة لا يرجى زوالها قبل انتهاء وقت الرمي، وللمحبوس وكبير السن والحامل أن يوكل عنه من يرمي عنه الجمرات كلها، ويجوز التوكل عن عدة أشخاص، على أن يرمي الوكيل عن نفسه أولاً كل جمرة من الجمرات الثلاث ... الى ان قال وتوكيل المرأة غيرها في حال الزحمة الشديدة أولى من المرض في تقديري

 

Artinya: "Diperbolehkan mewakilkan pelemparan jumrah bagi orang yang tidak mampu melakukannya secara mandiri sebab sakit yang tidak bisa sembuh sebelum selesainya waktu pelemparan jumrah, dan bagi orang yang tertahan, lansia, serta orang hamil untuk mewakilkan kepada orang lain dalam semua pelemparan jamarat. Diperbolehkan mewakilkan kepada sejumlah orang,  supaya wakil terlebih dahulu melempar jamarat untuk dirinya. Berdasarkan dugaan, mewakilkannya seorang perempuan kepada orang lain dalam keadaan berdesakan ekstrem lebih utama dibanding keadaan sakit." (Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami Wa Adilatuh, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz III, halaman 2254 ).

 

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) Diperbolehkan mewakilkan pelemparan jumrah bagi seorang yang tidak bisa melempar jumrah secara mandiri; baik karena sakit yang masih dapat diharapkan kesembuhannya atau tidak yang penting kesembuhannya itu tidak mungkin terjadi sebelum waktu melempar jumrah usai, faktor usia atau lansia, tertahan, wanita yang sedang hamil dan terjadi desak-desakan ekstrem sedangkan dia seorang perempuan. (2) Yang mewakili boleh laki-laki ataupun perempuan, satu orang atau lebih, baik dengan membayar atau cuma-cuma. Dan pihak yang mewakili haruslah orang yang telah menyelesaikan jamaratnya sendiri. (3) Telah mendapatkan izin dari pihak yang mewakilkan.

 

Walhasil,  jamaah haji yang tidak mampu melakukan jamarat secara mandiri dengan banyak sebab sebagaimana penjelasan di atas termasuk juga penyandang disabilitas diperbolehkan mawakilkan pelemparan jamaratnya kepada orang lain dengan ketentuan-ketentuannya. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo.