Syariah

Memahami Hadits 'Menyusui Orang Dewasa Menjadikannya Mahram'

Sen, 23 Oktober 2023 | 18:38 WIB

Memahami Hadits 'Menyusui Orang Dewasa Menjadikannya Mahram'

Bergandengan tangan (Foto: NU Online/Freepik)

Aturan fikih menjelaskan bahwa batas umur menyusui anak yang menjadikannya mahram bagi seorang ibu adalah dua tahun, adapun setelahnya tidak menjadikan anak susuan tersebut lantas menjadi mahramnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 233:


وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ     


Artinya, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS AL-Baqarah: 233).


Dari ayat tersebut, para fuqaha berbeda pendapat mengenai batas 'dua tahun menyusui', apakah tepat dua tahun, atau lebih menjadi 30 bulan sebagaimana pendapat Zafar muridnya Abu Hanifah. Di luar perdebatan tersebut, para ulama sepakat persusuan setelah berumur dua tahun tidak menjadikan mahram. (Al-Nawawi, al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t], jilid IVIII, hal. 212).


Al-Muzani dalam Mukhtasharnya mengutip perkataan Imam Syafi’i terkait ayat di atas:


فَجَعَلَ الْحَوْلَيْنِ غَايَةً وَمَا جُعِلَ لَهُ غَايَةً فَالْحُكْمُ بَعْدَ مُضِيِّ الْغَايَةِ خِلَافُ الْحُكْمِ قَبْلَ الْغَايَةِ


Artinya, "Maka Allah jadikan dua tahun sebagai batas menyusui. Sesuatu yang dijadikan sebagai batas, maka hukum melewati batas tersebut kontra dengan hukum sebelumnya." (Al-Muzani, Mukhtashar, [Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1410] jilid VII, hal. 332).


Secara sederhana, perkataan Imam Syafi’i dapat kita pahami bahwa dua tahun adalah batasan persusuan yang menjadikan anak menjadi mahram, sedangkan setelahnya adalah tidak.


Di antara dalil-dalil lainnya terkait ketiadaan persusuan yang menjadi mahram di atas dua tahun adalah hadits dari ‘Aisyah ra:


دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي رَجُلٌ، قَالَ: (يَا عَائِشَةُ، مَنْ هَذَا)؟ قُلْتُ: أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ. قَالَ: (يَا عَائِشَةُ، انْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّ؛ فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ)


Artinya, “Rasulullah saw mendatangiku, sedangkan ada seorang laki-laki bersamaku. Lantas beliau bertanya, ‘Wahai Aisyah, siapa ini?’ Aku menjawab, ‘Dia saudara sesusuanku.’ Lalu Rasulullah bersabda, ‘Wahai Aisyah! Perhatikan siapa saja saudara-saudaramu, karena sesungguhnya susuan (yang menyebabkan hubungan mahram) adalah susuan yang dapat menghilangkan rasa lapar.’ (HR. Al-Bukhari).


Secara ringkas, Nabi saw mengisyaratkan bahwa persusuan yang menjadikan mahram hanya persusuan yang menghilangkan rasa lapar si bayi, yaitu selama dua tahun. Dari susu tersebut si bayi dapat menyerap nutrisi, menguatkan tulang-tulangnya dan mengisi badannya, sebagaimana penjelasan al-Munawi dalam Faydh al-Qadir. (Al-Munawi, Faydh al-Qadir, [Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1356], jilid II, hal. 60).


Kemudian hadits di atas dikuatkan oleh hadits lain riwayat Ummu Salamah dari Nabi saw:


لَا يُحَرِّمُ مِنَ الرَّضَاعِ إِلَّا مَا فَتَقَ الۡأَمۡعَاءَ فِي الثَّدۡيِ، وَكَانَ قَبۡلَ الۡفِطَامِ


Artinya, “Susuan tidaklah menyebabkan hubungan mahram kecuali air susu di payudara yang membuka rongga usus (mengenyangkan perut) dan dilakukan sebelum penyapihan.” (HR al-Tirmidzi).


Pengamalan hadits ini adalah bahwa persusuan yang menjadikan mahram adalah ketika anak di bawah dua tahun, sedangkan persusuan di atas dua tahun tidak sama sekali menjadikan seseorang mahram terhadap ibu susuannya.


Lantas, bagaimana dengan satu hadits dalam Shahih Muslim menyebutkan Salim budaknya Abu Hudzaifah yang menjadi mahram ketika disusui oleh isterinya Salim. Hadits tersebut adalah:


 جَاءَتْ سَهْلَةُ بِنْتُ سُهَيْلٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَرَى فِي وَجْهِ أَبِي حُذَيْفَةَ مِنْ دُخُولِ سَالِمٍ وَهُوَ حَلِيفُهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْضِعِيهِ قَالَتْ وَكَيْفَ أُرْضِعُهُ وَهُوَ رَجُلٌ كَبِيرٌ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّهُ رَجُلٌ كَبِيرٌ


Artinya, “Sahlah binti Suhail datang menemui Nabi saw, dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh saya melihat di wajah Abu Hudzaifah (ada sesuatu) karena keluar masuknya Salim ke rumah, padahal dia adalah pelayannya.’ Maka Nabi saw bersabda, ‘Susuilah dia.’ Sahlah berkata, ‘Bagaimana mungkin saya menyusuinya, padahal dia telah dewasa?’ Maka Rasulullah saw tersenyum sambil bersabda, ‘Sungguh saya telah mengetahuinya kalau dia telah dewasa.’ (HR. Muslim).


Apabila kita memahami hadits di atas secara tekstual, maka kita mendapati bahwa orang dewasa boleh menyusu pada seorang wanita agar menjadi mahramnya. Sehingga ketika menjadi mahram dari wanita tersebut, hukum-hukum fikih yang berlaku antara seorang ibu dan anak susuan pun berlaku, termasuk ketika keduanya bersentuhan.


Tentunya kita harus memahami hadits ini secara bijak dan menempatkan pada posisi yang seharusnya. Imam al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim mengutip perkataan al-Qadhi ‘Iyadh:


لعلها حلبته ثم شربه من غير أن يمس ثديها ولا التقت بشرتاهما 


Artinya, “Mungkin Sahlah memerah susunya, kemudian Salim meminumnya tanpa menyentuh payudara dan kulitnya, mereka pun juga tidak bersentuhan." (Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, [Beirut: Dar Ihya Turats al-‘Arabi, 1392], jilid X, hal. 31).


Penjelasan al-Qadhi ‘Iyadh menegaskan tidak adanya persentuhan secara langsung, akan tetapi Sahlah memerahnya terlebih dahulu. Jadi sama sekali tidak ada persentuhan antara keduanya. Kemudian, dalam penjelasan setelahnya Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan boleh jadi ada persentuhan, namun itu rukhshah dan khusus bagi kasus Salim dan Sahlah saja, adapun setelahnya tidak boleh.


Kekhususan mengenai hadits di atas memang diakui oleh para ulama. Pasalnya, yang mengatakan hadits di atas hanyalah ‘Aisyah saja, sedang isteri-isteri Nabi yang lainnya, termasuk Ummu Salamah, menolak dan menjelaskan kalau kasus itu adalah kekhususan (khususiyah) yang dikhususkan Nabi saw. Para isteri Nabi saw berkata:


وقلن لعائشة والله ما ندري لعلها رخصة من رسول الله صلى الله عليه و سلم لسالم دون الناس


Artinya,  “Mereka [isteri-isteri Nabi] berkata pada ‘Aisyah, ‘Demi Allah kami tidak tahu persoalan ini, barangkali kasus tersebut adalah kekhususan (khusushiyah) yang dikhususkan Nabi saw pada Salim, tidak pada seluruh manusia.” (Ibnju Hajar al-‘Asqallani, Fath al-Bari, [Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379], jilid IX, hal. 133).


Al-Suyuthi mengakui adanya pendapat ‘Aisyah berdasarkan hadits di atas yang menyatakan mahramnya persusuan orang dewasa. Kendati demikian, seluruh ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan setelahnya menyatakan tidak muncul kemahraman dari susuan kecuali bagi anak dua tahun atau dua tahun setengah apabila merujuk pada pendapat Abu Hanifah dan Zafar. (Al-Suyuthi dll, Syarh Sunan Ibn Majah, jilid I, hal. 140).


Terkait hadits di atas, Imam Syafi’i pun mengakui bahwa hadits tersebut merupakan rukhshah khusus bagi Salim. Ibnu al-Mundzir malah menyatakan kalau hadits ini mansukh hukumnya. (Al-Khathib al-Syirbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t.], jilid III, hal. 414).


Adapun pendapat yang mengatakan bahwa persusuan orang dewasa menjadikannya mahram salah satunya adalah pendapat Ibnu Taymiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya. Berdasarkan hadits ‘Aisyah di atas, ia secara tegas mengatakan kemahraman susuan orang dewasa apabila ada hajat dan kebutuhan yang penting.


Pemahaman hadits yang tidak kompleks akan membawa pada pemahaman yang rancu dan menyalahi jumhur ulama. Faktanya, ada sebuah fatwa yang muncul dari Ketua Jurusan Hadits, Fakultas Ushuluddin Al-Azhar Kairo berangkat dari hadits ini. 


Fatwa tersebut berisi kebolehan seorang pegawai perempuan yang bekerja berduaan di satu ruangan dengan laki-laki, untuk menyusui temannya yang laki-laki kemudian meminta surat resmi dari pihak yang berwenang supaya keduanya dapat berduaan sebagaimana mahramnya dan dapat membuka jilbab.


Tentunya pendapat tersebut menyalahi jumhur ulama, sebab persusuan yang menjadikan mahram disepakati hanya pada anak dengan batas usia dua tahun saja. Bahkan penjelasan ulama mengenai hadits Salim pun, proses persusuan yang terjadi tidak secara bersentuhan langsung.


Kiranya kita perlu hati-hati dalam memahami hadits. Merujuk penjelasan para ulama hadits dan juga pendapat fuqaha merupakan jalan tepat untuk mendapatkan pemahaman hadits yang utuh. Wallahu a’lam.