Syariah

Menakar Ulang Sya'ban sebagai Bulan Turunnya Ayat Shalawat

Jum, 23 Februari 2024 | 14:00 WIB

Menakar Ulang Sya'ban sebagai Bulan Turunnya Ayat Shalawat

Ayat perintah Shalawat. (Foto: Istimewa)

Sudah maklum bersama, jika bulan Sya’ban merupakan bulan yang berada di antara bulan Rajab dan Ramadan. Diapit di antara dua bulan yang istimewa, bulan Rajab sebagai bulan haram dan Ramadan sebagai bulan turunnya Al-Qur’an, menjadikan Sya’ban seringkali terlupakan.


Padahal, bulan tersebut memiliki sederet keistimewaan, salah satunya menjadi bulan diturunkannya ayat perintah shalawat kepada Nabi Muhammad saw. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam kitabnya, Ma Dza fi Sya’ban. (Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Ma Dza fi Sya’ban, [1424 H], halaman 25-26)


وَمِن مَزَايَا شَهْرِ شَعْبانَ : أَنَّهُ الشَّهْرَ اَلَّذِي نَزَلَتْ فِيه أَيَّةُ الصَّلاةِ عَلَى رَسولِ اللَّهِ وَهِيَ قَوْلُهُ تَعَالَى: اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا 


Artinya: “Di antara keistimewaan bulan Sya’ban ialah bulan yang turun ayat shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawat lah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” 


Sayyid Muhammad bahkan membuat bab tersendiri dalam kitabnya tersebut, dengan nama Syahr As-Shalat ‘ala An-Nabi (bulan bershalawat kepada Nabi). 


Dalam bab tersebut, beliau menyebut tiga riwayat yang menjadi argumen dasar pendapatnya. Pertama, riwayat dari Ibnu Abi Shaif Al-Yamani, kedua dari Syihabuddin Al-Qasthalani, sedangkan yang terakhir mengutip dari Ibnu Hajar Al-Haitami yang akan penulis uraikan sumber ketiganya.


Setelah langsung melihat ke sumber primer yang menjadi rujukan Sayyid Muhammad, ada hal menarik yang penulis temukan dari tiga riwayat tersebut. Sekaligus menjadi tanya penulis, apakah keseluruhan riwayat tersebut menunjukkan keabsahan bahwa memang bulan Sya’ban sebagai turunnya ayat perintah shalawat.


Baik mari kita coba untuk membedahnya bersama....


Pertama, riwayat dari Ibnu Abi As-Shaif Al-Yamani dalam kitab Tuhfat Al-Ihkwan milik Imam Ahmad Hijazi Al-Fasyani. Ibnu Abi As-Shaif dengan terang mengatakan bahwa ayat tersebut –surah Al-Ahzab ayat 56– memang turun di bulan Sya’ban.


إِنَّ شَهْرَ الشَّعْبانِ شَهْرُ الصَّلاةِ عَلَى النَّبيِّ لِأَنَّ الآيَةَ . . . نَزَلَتْ فِيه


Artinya: “Sungguh bulan Sya’ban adalah bulan bershalawat kepada Nabi karena ayat tersebut (ayat 56 Surah Al-Ahzab) turun di bulan Sya’ban” 


Pelacakan penulis, Al-Fasyani menukil riwayat tersebut dari Ibnu Abi As-Shaif langsung dari kitabnya, Fadl Asy-Sya’ban (keutamaan bulan Sya’ban) dengan redaksi mirip dengan yang tertulis di atas. Namun, diawali dengan redaksi qila (sigat tamrid) yang berarti hujjah yang dibangun kurang kuat (marjuh).


Kedua, dari Syihabuddin Al-Qasthalani dalam kitabnya Al-Mawahib Al-Laduniyyah. Sayyid Muhammad menggunakan redaksi bahwa Al-Qasthalani mengutip perkataan sebagian ulama. Kemudian pengarang Ma Dza fi Sya’ban tersebut menuliskan ‘ibarat yang sama dengan riwayat pertama (Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Ma Dza fi Sya’ban, halaman 26).


Tatkala, penulis menelusuri kitab Mawahib-nya Al-Qashtalani, penulis temukan ‘ibarat yang lebih lengkap. Tidak hanya pendapat mengatakan turun di bulan Sya’ban melainkan ada dua pendapat lain. (Syihabuddin Al-Qasthalani, Al-Mawahib Al-Laduniyyah, Juz 2, [Kairo: Maktabah Taufiqiyyah], halaman 650)


كَمَا قَالَ أَبُو ذَرِّ الْهَرْوَى - : أَنَّهُ وَقَعَ فِى السَّنَةِ الثَّانيَةِ مِنَ الْهِجْرَةِ ، وَقِيْلَ لَيْلَةَ الإِسْرَاءِ ، وَقِيْلَ : إِنَّ شَهْرَ شَعْبانَ شَهْرُ الصَّلاةِ عَلَى رَسولِ اللَّهِ لِأَنَّ أيَةَ الصَّلاةِ – يُعْنَى إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ نَزَلَتْ فِيه. والله أعلم -


Artinya: “Sebagaimana Abu Zar Al-Harawi berkata bahwa perintah shalawat turun di tahun kedua Hijriah. Ada yang mengatakan pada malam Isra’ dan ada juga yang berpendapat bulan Sya’ban adalah bulan bershalawat kepada Nabi karena ayat tersebut (ayat 56 Surah Al-Ahzab) turun di bulan Sya’ban


Jika dilihat, pendapat turunnya di malam Isra’ dan pada bulan Sya’ban sama diredaksikan menggunakan sighat tamridh (pasif) dengan lafal qila. Bukan dengan sighat jazm (aktif). Dengan kata lain, pendapat tersebut bisa dibilang marjuh (tidak diunggulkan) karena tidak kuat. 


Lebih lagi, penempatan bulan Sya’ban diposisikan setelah dua pendapat (tahun kedua hijriah dan malam Isra’). Seakan menandakan bahwa pendapat tersebut memang tidak diunggulkan.


Ketiga, pendapat yang Sayyid Muhammad nukil dari Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Haitami. Nukilan ini setelah ditelusuri berasal dari kitab Ibnu Hajar yang berjudul Ad-Dur Al-Mandhud fi As-Shalat wa As-Salam ‘ala Shahib Al-Maqam Al-Mahmud.


Hanya saja, berbeda dengan dua pendapat sebelumnya, Al-Haitami tidak menyebutkan bulan Sya’ban melainkan hanya tahun kedua setelah Nabi hijrah. Tidak diperinci di bulan manakah turunnya ayat tersebut. Tambahnya, ada juga pendapat lain bahwa ayat tersebut turun pada malam Isra’. 


وَذَكَرَ أَبُو ذَرِّ الهَرَوِيُّ : أَنَّ الأَمْرَ بِهَا كَانَ فِي السَّنَةِ الثّانيَةِ مِنَ الْهِجْرَةِ ، وَقِيْلَ : فِي لَيْلَةِ الإِسْرَاءِ


Artinya: “Abu Zar Al-Harawi berkata bahwa perintah shalawat turun di tahun kedua Hijriah. Ada yang mengatakan pada malam Isra” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Ad-Dur Al-Mandhud fi As-Shalat wa As-Salam ‘ala Shahib Al-Maqam Al-Mahmud, 1426 H, halaman 80)


Baik Al-Qasthalani maupun Ibnu Hajar sama menukil perkataannya Abu Zar Al-Harawi. Al-Harawi sendiri merupakan seorang ulama abad 4 Hijriah yang bermazhab Maliki dan berakidah Asy’ari. Ia termasuk seorang hufaz dan tsiqat dalam riwayat. Artinya, kapabilitasnya dalam riwayat tak lagi diragukan. (Al-Khattabi, Sya’n Ad-Du’a, [Dar Ats-Tsaqofah Al-‘Arabiyah] halaman 44)


Semua riwayat yang menuturkan waktu di mana turunya ayat perintah shalawat berakhir pada dua tokoh ini, Ibnu Abi As-Shaif Al-Yamani dan Abu Zar Al-Harawi. Belum penulis temukan kelanjutannya. 


Menariknya, setelah penulis mencoba melacak di berbagai literatur tafsir, ternyata belum didapati sejauh ini kitab yang menukil bahwa ayat tersebut turun di bulan Sya’ban. Baik dalam literatur tafsir klasik maupun kontemporer. Begitu juga kitab tafsir yang disusun dengan metode nuzuli (berdasarkan turunnya ayat).


Sedangkan dalam kitab asbabun nuzul yang membahas mengenai kronologi turunnya ayat Al-Qur’an seperti kitab Asbab An-Nuzul karya Al-Wahidi tidak mencantumkan demikian. Al-Wahidi mengutip riwayat bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan pertanyaan para sahabat bagaimana tata cara bershalawat. (Al-Wahidi, Asbab An-Nuzul, [Dammam: Dar Al-Ishlah), halaman 361)


قَدْ عَرَفْنَا السَّلامَ عَلَيْكَ ، فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ ؟ فَنَزَلَتْ . . . إِلَخْ


Arinya: “Sungguh kami tahu bagaimana kami mengucapkan salam kepadamu (Muhammad), lalu bagaimana kami bershalawat kepadamu, lalu turunlah ayat ini


Al-Wahidi tidak menyebutkan kapan bulan dan tahunnya secara pasti peristiwa itu. Apakah itu turun di tahun kedua hijriah atau malam Isra’ ataupun yang terakhir di bulan Sya’ban. Padahal, karya Al-Wahidi tersebut bisa dibilang otoritatif dalam hal asbab an-nuzul selain juga muridnya, As-Suyuthi.


Lanjut, penulis juga mendapati sebuah keterangan berbeda. Ayat perintah shalawat turun pada peristiwa perang Ahzab atau Khandaq pada bulan Syawal di tahun kelima hijriah setelah Nabi menikahi Zainab binti Jahsy bukan Sya’ban. (Muhammad bin ‘Alan Ash-Shiddiqi, Futuhat Ar-Rabaniyyah ‘ala Adzkar An-Nawawiyah, Juz 3, halaman 299)


Sejauh ini, baru satu referensi tafsir yang didapati penulis, yakni kitab tafsir Ruh Al-Ma’ani karangan Imam Al-Alusi. Namun, dalam kitab tersebut juga serupa yakni tidak dicantumkan bulan Sya’ban melainkan hanya dua pendapat pertama.


وكانَ ذَلِكَ عَلى ما نُقِلَ عَنْ أبِي ذَرٍّ الهَرَوِيِّ في السَّنَةِ الثّانِيَةِ مِنَ الهِجْرَةِ، وقِيلَ: كانَ في لَيْلَةِ الإسْراءِ، وأنْتَ تَعْلَمُ أنَّ الآيَةَ مَدَنِيَّةٌ


Artinya: “Hal tersebut berdasarkan riwayat yang dinukil dari Abu Dzar Al-Harawi jika ayat tersebut turun pada tahun 2 Hijriah, ada juga yang mengatakan pada malam Isra’. Kamu tahu bahwa ayat tersebut tergolong Madaniyah” (Syihabuddin Al-Alusi, Tafsir Ruh Al-Ma’ani)


Pemilihan dua pendapat di sini membuat penulis bertanya, apakah pendapat terakhir bahwa ayat tersebut turun di bulan Sya’ban dinilai kurang kuat menurut Al-Alusi sehingga tidak dicantumkan dalam kitabnya. Sebagaimana yang ditulis oleh Ibnu Hajar yang hanya mencantumkan dua pendapat.


Walhasil, dapat penulis ambil benang merah bahwa kapan waktu turunnya ayat perintah shalawat terjadi silang pendapat. Ada yang kuat dan adapula yang lemah. Terlepas dari itu semua, kita tetap menghormati siapapun yang mengikuti salah satu pendapat tersebut karena mereka adalah para ulama yang kredibel dan otoritatif dalam bidangnya.


Tulisan ini penulis hadirkan sebagai bentuk upaya menambah wawasan dan khazanah keislaman. Sekaligus bisa memantik untuk diadakan kajian dan temuan-temuan selanjutnya. Wallahu a’lam.


Muhammad Izharuddin, Mahasantri STKQ Al-Hikam