Syariah

Mengenal Hadits Qudsi, Dimensi Unik Pewahyuan dalam Islam

Rab, 28 Februari 2024 | 17:00 WIB

Mengenal Hadits Qudsi, Dimensi Unik Pewahyuan dalam Islam

Ilustrasi membaca Al-Quran. (Foto: NU Online/Suwitno)

Hadits adakalanya dapat diterima dan diamalkan seperti hadits shahih dan hasan, adakalanya hadits dinilai dha’if sehingga pengamalannya perlu kehati-hatian atau bahkan jika parah maka tidak dapat diamalkan. Akan tetapi, ada hadits yang memiliki predikat antara dapat dierima atau ditolak, misalnya hadits Qudsi.

 

Hadits Qudsi sendiri merupakan satu istilah dalam ilmu hadits yang ditujukan pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad saw dari Allah (Mahmud Thahhan, Taysir Mushtahalah al-Hadits, [Beirut: Maktabah al-Ma’arif, 2004], hal. 158).

 

Meriwayatkan dari Allah dalam pengertian di atas maksudnya adalah mendapatkan makna dari substansi hadits tanpa melalui perantara malaikat Jibril, atau sederhananya tanpa melalui perantara wahyu sebagaimana Al-Quran.

 

Hadits Qudsi juga memiliki beberapa sebutan, di antaranya adalah al-hadits al-ilahi dan juga al-hadits ar-rabbani. Selain itu, menurut Mahmud Thahhan, hadits Qudsi jumlahnya tidak banyak jika dibandingkan dengan hadits Nabi pada umumnya (Mahmud Thahhan, Taysir Mushtahalah al-Hadits, hal. 158).

 

Salah satu contoh hadits Qudsi adalah riwayat Imam Muslim dalam Shahih-nya:

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ أَنْفِقْ أُنْفِقْ عَلَيْكَ 

 

Artinya, “Dari Abu Hurairah hingga sampai kepada Nabi saw, beliau bersabda: ‘Allah Ta'ala berfirman: ‘Wahai anak Adam, berinfaklah kamu niscaya Aku akan memberikan ganti kepadamu.’” (HR Muslim).

 

Beberapa karya dalam hadits Qudsi misalnya adalah “Misykatul Anwar fima Rawa ‘anillahi ta’ala minal Akhbar” karya al-Hatimi, “Al-Ittihafat as-Saniyyah bil Ahadits al-Qudsiyyah karya ‘Abdurrauf al-Munawi, dan lain-lain.

 

‘Ajjaj al-Khathib dalam Assunnah Qablat Tadwin memaparkan perbedaan hadits Qudsi dengan hadits-hadits Nabi pada umumnya, yaitu pada penisbatannya. Jika hadits pada umumnya dinisbatkan kepada diri Nabi, hadits Qudsi dinisbatkan maknanya kepada Allah ta’ala (‘Ajjaj al-Khathib, Assunnah Qablat Tadwin, [Beirut: Darul Fikr, 1980], hal. 23).

 

Lebih lanjut, ia menjelaskan hadits Qudsi memiliki perbedaan spesifik dengan Al-Quran, yaitu lafaznya dari Nabi saw sedangkan maknanya bersumber dari Allah, sedangkan Al-Quran makna sekaligus lafaznya berasal dari Allah.

 

Dikarenakan lafaznya bersumber dari Rasulullah saw, maka para ulama memperbolehkan periwayatan hadits Qudsi dengan maknanya saja, meski lafaznya tidak selaras. Berbeda dengan Al-Quran yang lafaznya harus sama persis ketika dibaca.

 

Kendati banyak para ulama kontemporer menyimpulkan bahwa hadits Qudsi maknanya berasal dari Allah dan lafaznya berasal dari Nabi saw sendiri, pendapat ini memunculkan perbedaan pandangan di antara para pengkaji hadits.

 

Pernyataan bahwa lafaz hadits Qudsi bersumber dari Nabi saw, bukan dari Allah, merupakan pendapat keliru tanpa dasar yang kuat. Jelas sekali ketika berbicara hadits Qudsi, Nabi saw langsung mengucapkan ‘Allah berfirman,’ artinya langsung secara lafaz dari Allah.” Demikian ungkap ‘Abdullah bin Yusuf al-Jadi’, Ketua Majelis Riset dan Fatwa untuk Eropa dalam karya

 

Kemudian sebagaimana kita tahu, hadits Nabi pada umumnya merupakan hukum atau kebijakan dalam Islam yang dikeluarkan Nabi saw selain Al-Quran. Jika kita mengatakan hadits Qudsi juga sama dengan hadits-hadits lainnya, maka apa gunanya penegasan Nabi saw dalam kalimat ‘Allah berfirman’ ketika mengucap hadits Qudsi?” (‘Abdullah bin Yusuf al-Jadi’, Tahriru ‘Ulumil Hadits, [Beirut: Muassasah ar-Rayyan, 2003], hal. 38).

 

Pendapat ‘Abdullah bin Yusuf di atas merupakan salah satu dinamika perdebatan dan diskusi dalam hadits Qudsi yang dapat memperkaya khazanah ilmu hadits di era kontemporer. Di sisi lain, Abu Syuhbah juga dalam Al-Wasith fi ‘Ulumi Mushthalahul Hadits telah memaparkan silang pendapat para ulama soal ini. Pendapat tersebut adalah:

 

Pertama, banyak ulama yang berpendapat bahwa hadits qudsi, baik lafaz maupun maknanya, berasal dari Allah SWT dan diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui salah satu cara wahyu, entah melalui percakapan, ilham, pintasan dalam hati, atau pun mimpi. 

 

Dengan demikian, hadits Qudsi selaras dengan Al-Qur'an, keduanya merupakan wahyu dari Allah. Perbedaan antara hadits Qudsi dan Al-Qur'an menurut kelompok ini meliputi:

 
  1. Al-Qur'an diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara jelas oleh Malaikat Jibril, sedangkan hadits Qudsi diwahyukan melalui wahyu yang tidak zahir, meskipun mungkin melibatkan percakapan, ilham, atau pencetusan dalam hati.
  2. Al-Qur'an adalah mujizat baik dari segi lafal maupun makna, sedangkan hadits qudsi tidak memiliki karakteristik mujizat yang sama.
  3. Shalat tidak sah kecuali dengan membaca Al-Qur'an, sementara shalat tidak sah dengan hadits qudsi.
  4. Al-Qur'an dianjurkan untuk dihafal dan dibaca sebagai ibadah, sedangkan hadits Qudsi tidak.
  5. Al-Qur'an disampaikan dengan mutawatir (berkali-kali tercatat dengan jelas dan pasti) dari Allah, sementara hadits qudsi tidak memiliki kesepakatan mutawatir.
  6. Al-Qur'an secara lengkap tertulis dalam mushaf, sedangkan hadits Qudsi tidak boleh ditambahkan dengan sengaja dalam Al-Qur'an.
  7. Al-Qur'an tidak boleh disentuh oleh orang yang berhadas besar, sementara hadits qudsi tidak memiliki ketentuan yang sama.
  8. Al-Qur'an hanya boleh dibaca dengan lafal yang diturunkan langsung dari Allah, sedangkan hadits qudsi dapat diriwayatkan dengan makna (terjemahan) dengan syarat tertentu.
  9. Al-Qur'an hanya dapat disebut sebagai wahyu turun kepada Nabi Muhammad SAW, sedangkan hadits qudsi tidak boleh disebut dengan istilah "Al-Qur'an."
 

Menurut pendapat pertama, adanya pembedaan yang spesifik ini untuk menunjukkan bahwa Allah SWT ingin menunjukkan sebagian ucapan-Nya bersifat mujizat, yaitu Al-Qur'an, sementara sebagian lainnya tidak mukjizat, yaitu hadits Qudsi, seperti halnya Taurat dan Injil yang diturunkan oleh Allah namun bukan sebagai mukjizat (Abu Syuhbah, Al-Wasith fi ‘Ulumil Hadits, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], hal. 218).

 

Kedua, pendapat ini menyatakan bahwa hadits lafadz Qudsi berasal dari Nabi, adapun maknanya diilhami oleh Allah SWT. Perbedaan antara hadits Qudsi dan hadits nabawi dalam hal ini adalah makna hadits nabawi adakalanya berasal dari wahyu atau ijtihad pribadi, sedangkan hadits Qudsi berasal dari Allah.

 

Sembilan perbedaan antara hadits Qudsi dan Al-Qur’an dalam pendapat pertama yang telah disebutkan di atas juga berlaku dalam pendapat ini, hanya saja secara spesifik ada tambahan poin kesepuluh, yaitu penegasan bahwa Al-Qur'an secara pasti (qath’i) berasal dari Allah, sedangkan hadits Qudsi lafaznya berasal dari Nabi Muhammad. (Abu Syuhbah, Al-Wasith fi ‘Ulumil Hadits, hal. 218).

 

Selain itu, ‘Abdullah bin Yusuf al-Ja’di juga memberi catatan tambahan terkait karakteristik hadits Qudsi, yaitu tidak selalu shahih bahkan tidak sedikit yang dha’if, tidak selalu konsisten lafadznya pada setiap jalur periwayatan, dan juga substansinya dominan berisi nasihat kehidupan, bukan hukum secara tekstual, meskipun secara tersurat dapat digali hukumnya. (‘Abdullah bin Yusuf al-Jadi’, Tahriru ‘Ulumil Hadits, hal. 39).

 

Dengan demikian, hadits Qudsi membawa dimensi unik dalam yang mencerminkan kompleksitas pewahyuan dalam Islam. Pemahaman yang mendalam terhadap hadits Qudsi menjadi penting bagi umat Islam untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas terkait pesan-pesan ilahi yang disampaikan melalui lisan Nabi Muhammad saw. Wallahu a‘lam

 

Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences.