Syariah

Pembukaan Lahan Tanpa Seizin Pejabat Berwenang dalam Kajian Fiqih 

Kam, 18 Agustus 2022 | 09:00 WIB

Pembukaan Lahan Tanpa Seizin Pejabat Berwenang dalam Kajian Fiqih 

Regulasi dan fiqih mengatur pembukaan lahan negara termasuk ketentuan perihal izin.

Ketika negara bangsa mulai berdiri pasca-tumbangnya kekhalifahan Turki Utsmani, maka wilayah kedaulatan suatu negara yang meliputi bumi, air serta udara, ditetapkan menurut ketentuan hukum internasional. Oleh karena itu, pembukaan lahan harus dengan seizin ototritas setempat.


Semua wilayah yang masuk dalam ruang jangkauan Zona Ekonomi Eksklusif suatu negara, bersifat dikuasai oleh negara. Di Indonesia sendiri, ikrar penguasaan tersebut ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945. 


Karena seluruh wilayah sudah diakui sebagai hak milik negara, maka secara otomatis, terjadinya perpindahan hak milik dan pengelolaan di dalamnya meniscayakan introduksi kontrak jasa atau kontrak jual beli serta cabang-cabangnya. 


Imam Nawawi rahimahullah (w.   676 H) dalam Majmu’ Syarah Muhadzab, juz XV, halaman 208, menjelaskan: 


أما العامر فلاهله الذى قد ملكوه بأحد أسباب التمليك وهى ثمانية: ١ - الميراث ٢ - المعاوضات ٣ - الهبات ٤ - الوصايا ٥ - الوقف ٦ - الصدقات ٧ - الغنيمة ٨ - الاحياء. فإذا ملك عامرا من بلاد المسلمين بأحد هذه الاسباب الثمانية صار مالكه له ولحريمه ومرافقيه من بناء وطريق ومسيل ماء وغير ذلك من مرفق العامر التى لا يستغنى العامر عنها فلا يجوز ان يملك ذلك على أهل العامر باحياء ولا غيره فمن أحياه لم يملكه


Artinya, "Adapun wilayah yang berpenghuni maka tanah itu adalah milik warganya dan bisa dikuasai melalui salah satu dari 8 sebab, yaitu waris, pertukaran, hibah, wasiat, wakaf, sedekah, ghanimah dan ihyaul mawat. Apabila seseorang menguasai tanah berpenghuni itu melalui salah satu dari 8 sebab yang dimaksud, maka ia berhak memilikinya, batas-batasnya, dan segala manfaat yang terkandung di dalamnya, misalnya dibanguni bangunan, jalan, aliran air, dan lain sebagainya yang merupakan fasilitas yang dimiliki oleh wilayah berpenghuni yang tidak mungkin sebuah wilayah tanpanya. Tidak boleh bagi warganya menguasainya, baik dengan alasan ihyaul mawat atau alasan lainnya. Barang siapa beralasan ihyaul mawat, maka baginya tetap tiada hak memiiliki.” (Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, Majmu’ Syarah Muhadzab li al-Nawawy, Damsiq: Dar al-Fikr, juz XV, halaman 208) 


Negara bisa melakukan distribusi aset kekayaan yang dimilikinya - kepada seluruh warganya - melalui jalan iqtha'ul ardly (distribusi lahan). Akad yang berlaku dalam distribusi ini, adalah akad hibah kepemilikan. 


Tidak ada ihyaul mawat di dalam negara bangsa karena syarat muhyi -yang harus terdiri dari seorang muslim - tidak bisa dipenuhi oleh negara. Kondisi warga negara di negara bangsa (muwathin) yang meniscayakan terdiri dari beragam suku dan agama dan berstatus sama di hadapan hukum menjadi pembatal bagi terbitnya konsepsi ihyaul mawat..


Dampak secara langsung akibat tidak bisanya ihyaul mawat, adalah: 

Pertama, pembukaan lahan wajib dilakukan atas seizin pemimpin negara (Presiden) atau wakilnya yang terdiri atas pejabat yang berwenang


قال أبو حنيفة: إن إحياء الموات من مصالح المسلمين، لأن الأرض مغلوب عليها، فوجب ألا تملك إلا بإذن الإمام كالغنيمة (شرح صحيح البخارى لابن بطال ٦/‏٤٧٦ — ابن بطال (ت ٤٤٩))


Artinya, “Imam Abu Hanifah mengatakan: sesungguhnya ihyau al-mawat adalah bagian dari mashalihnya kaum muslimin. Karena tanah yang dihidupkan, diperoleh dari tanah tundukan. Itu sebabnya tidak bisa dikuasai tanpa idzin dari Imam, sebagaimana harta ghanimah.” (Ibn Bathal, Syarah Shahih Bukhari li Ibn bathal, Beirut: DKI, Juz 6, halaman 476)


Kedua, penggunaan tanah di negara bangsa tanpa seidzin dari pejabat yang berwenang adalah termasuk kategori perilaku ghashab. Muwaffiquddin ibn Qudamah (w. 620 H) menyampaikan:


الغصب هو الاستيلاء على مال غيره بغير حق، وهو محرم بالكتاب والسنة والإجماع (لمغني لابن قدامة ٥/‏١٧٧ — المقدسي، موفق الدين (ت ٦٢٠


Artinya, "Ghashab itu adalah menguasai harta milik orangg lain dengan cara yang tidak benar. Hukumnya adalah haram berdasar Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Ijma.” (Muwaffiquddin ibn Qudamah, Al-Mughny li Ibn Qudamah, Damsiq: Dar al-Fikr, Juz 5, halaman 177).


Ibn Maudud al-Mushily (w. 683 H), di dalam Al-Ikhtiyar li Ta’li al-Mukhtar, juga menyampaikan bahwa ghashab secara syara, adalah:


أخذ مال متقوم محترم مملوك للغير بطريق التعدي (الاختيار لتعليل المختار ٣/‏٥٨ — ابن مودود الموصلي (ت ٦٨٣))


Artinya, “Mengambil harta berharga yang mulya milik pihak lain dengan jalan melampaui batas.” (Ibn Maudud al-Mushily, Al-Ikhtiyar li Ta’lil al-Mukhtar li Ibn Maudud al-Mushily, Kairo: Dar Ibn Hazm, Juz 3, halaman 68)


Ketiga, memindahmilikkan tanah yang dikuasai negara atau pihak lain tanpa mengikuti prosedur yang berlaku, adalah menyerupai kasus pidana pencurian (sariqah), perampokan (qathiu al-thariq), atau bahkan bughah (pemberontak).


السرقة  …. في الشَّرعِ: عبارةٌ عن أخذِ الواجدِ منْ مِلكِ غيرِهِ نصابًا فأكثرَ من حرزِ مثله خفيةً بقصدِ السرقةِ (التدريب في الفقه الشافعي ٤/‏١٧٩ — سراج الدين البلقيني (ت ٨٠٥))


Artinya, "Pencurian….secara syara’ adalah suatu ungkapan yang menggambarkan tindakan seseorang yang mengambil harta milik pihak lain sebesar 1 nishab pencurian (¼ dinar) atau lebih dari tempat penyimpanan secara sembunyi-sembunyi dengan niat mencurinya.” (Sirajuddin al-Bulqiny, At-Tadrib fi al-Fiqh al-Imam al-Syafii, Kairo: Dar al-Hikmah, Juz 4, halaman 179).


Bagaimanakah gambaran dari ketiga kejahatan ini? Tunggu kupasannya di tulisan mendatang.


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur